Jajaran kemasan berlabel
Perawatan wajah dan badan, katanya
Deretan lauk berjubel
Perbaikan gizi, bilangnya
Di mana tempat perawatan dan perbaikan hati? tanyanya
Radite tidak memberiku jawaban apakah aku dibolehkan absen lembur malam ini sampai seminggu ke depan. Dia seolah membiarkanku mengambil keputusan sendiri. Maka saat jam pulang datang, aku buru-buru membisiki Genta soal rencana berburu skincare. Ini kesempatan langka, aku harus bisa mencurinya.
Sebenarnya aku bisa saja main kabur tak mengerjakan permintaan Wirya, toh aku sudah dapat uangnya. Tapi ... ada rasa tak tega mengkhianati kepercayaan Wirya. Dia mungkin bisa mengerjakan sendiri, faktanya dia malah memberikannya padaku. Alasannya satu, kasihan dengan nasibku. Dia sudah paham aku pasti menolak sumbangan dalam bentuk uang. Jadi Wirya memberiku pekerjaan yang menurutnya bisa kukerjakan.
Genta memberi isyarat padaku lewat desisan kalau sudah siap kabur setelah mematikan komputernya.
“Bandit, pinjem Sahyangmu dulu ya bentar.”
“Balik jam berapa?” Radite masih berfokus pada komputer yang membagi layarnya jadi tiga tampilan kerja, piping isometric drawing, piping arrangement dan excel yang berisi perhitungan material.
“Habis magrib. Mau nitip ta?”
“Nitip jaga jarak.”
Jawaban Radite memicu suitan bersahutan di ruangan. Aku cuma bisa geleng-geleng karena sudah membiasakan diri dengan celetukannya.
“Kalau bisa pakai APD rangkap tiga. Safety can be fun,” tambah Radite tanpa menoleh sedikit pun.
Sontak Genta memukul lengan Radite dengan sebundel kertas di meja Radite dan menyebutnya edan.
“Eh, Setan, aku serius.” Radite baru memutar kursinya. “Kalau ketahuan pacarnya Sahyang, kasihan dia.”
Tanpa sadar mulutku ternganga. Radite selalu tahu cara memancing perhatian teman-teman DE agar bermuara padaku. Aku tak tahu harus menyahut apa, tapi aku tahu cara segera kabur dengan menggeret lengan Genta keluar ruangan.
“Itu omongannya Bandit beneran, Sahya?”
“Kan Mas Genta lebih paham dia kayak apa.”
Selesai. Genta tak bertanya lagi setelah mendengus sambil mengucap lirih, dasar Bandit!
Setelah berdiskusi sebentar di tempat parkir, akhirnya kami memutuskan berburu di daerah Pengampon dengan pertimbangan banyak pilihan outlet yang menyediakan produk impor juga.
Memang pilihan tepat mengajak Genta. Dia termasuk cowok langka yang peduli dengan perawatan diri. Dia punya stok pengetahuan berbagai macam produk yang dipakai di wajah dan badan. Dia tahu tekstur, aroma, sampai fungsi secara keseluruhan. Bahkan Genta menjelaskan manfaat tiap kandungan dalam produk yang dipegangnya dan alasan kenapa harganya dibanderol segitu. Dia sudah berubah jadi sales promotion yang sukses membuatku puyeng dengan pilihan mana yang akan kutiru.
“Mas Genta, kalau di online shop aku sering lihat ada yang jual share in jar. Lebih murah dan bisa buat coba-coba ya.”
Genta menyilangkan lengan di depan dadanya dan melarangku membeli seperti itu. Dia bilang barang seperti itu sudah tidak terjamin dari sisi kualitasnya. Bisa tidak higienis, barang kedaluwarsa bahkan bisa saja itu barang palsu. Ya, aku tak mungkin beli, justru berniat menirunya.
Sambil melihat-lihat tester krim wajah dan serum, aku minta Genta menyebutkan produk-produk yang biasanya dijual secara share in jar dan laris di pasaran. Aku berdalih tak punya pengetahuan apa pun soal itu. Dia percaya dan mulai menyebutkan satu per satu merek yang kebanyakan produk luar berharga mahal. Sekarang, aku punya bank data berjalan.
Begitu aku menemukan barang yang secara warna, aroma dan kekentalan serupa dengan sampel yang diberikan Wirya, kalkulator dalam otakku langsung bekerja. Jika ditotal, enam jenis krim wajah dan empat serum harganya menyedot lebih dari 50% gaji utuhku. Sekarang aku baru paham kenapa ada istilah cantik juga butuh modal.