Dua rasa berseberangan
Satu suara terasa nyaman
Pesan yang sama
Perhatian yang berbeda
Melihat Kai berdiri di depan kontrakan Wirya rasanya seperti melihat intel yang pernah datang kemari. Aku sudah siap kabur tapi Wirya masih menggandengku.
“Oh, balik kucing ternyata.” Ucapan Kai masih terdengar pedas. “Makasih sepedanya, Wir. Jaketnya juga.”
Setelah menyerahkan jaket dan kunci sepeda motor pada Wirya, Kai melewatiku tanpa tegur sapa. Satu hal yang terlintas di otakku, utang kosku. Masalah uang dan utang serupa setan paling keparat yang bisa merusakkan hubungan.
“Kai, tunggu.” Aku menghadangnya. “Japrikan nomer rekeningmu sama jumlah utangku ya.”
“Nggak usah! Wes lunas.”
Ucapan dan wajah kecewa Kai berubah jadi pisau yang menyayat dadaku. Apa lagi salahku?
Malam ini aku dan Wirya tak terlibat banyak obrolan. Aku mengerjakan desain skincare yang akan kupalsukan. Wirya sibuk dengan tugas-tugas dari kampus. Sampai tengah malam, kami bertahan dalam keheningan. Aku di kamar dengan pintu setengah terbuka. Wirya bergelut bersama karpet dan bantal yang berantakan di ruang tamu. Benar-benar ganjil rasanya Wirya tak menanyaiku apalagi soal petang tadi.
“Sahya, kalau mau balik jangan terlalu pagi kayak kemarin. Rawan begal. Aku nggak bakal ngelarang kamu balik kapan pun. Tapi pekerjaan itu selesaikan di sini. Misalnya ada apa-apa, selesai di kontrakan ini juga. Biar kamu bebas di tempat barumu.”
Wirya tak melarangku? Wirya bilang biar aku bebas di tempat baruku? Apa bisa kupercaya? Tadi saja Wirya sudah melanggar janji saat Kai tahu tempat ini. Sejak awal kami bersepakat tak boleh ada seorang pun kenalan kami yang tahu kontrakan ini. Padahal bertahun-tahun Kai menanyakan padaku, tak pernah kujawab. Aku butuh tahu alasan Wirya.
Kutinggalkan laptop dan berdiri di ambang pintu kamar. “Kok Kai bisa tahu kontrakan ini?”
Wirya menelengkan kepala dengan malas ke arahku. “Ada masalah? Dia butuh motor. Aku pinjemin. Dia bilang mau balikin. Tak suruh langsung ke sini.”
“Dia juga pinjem jaketmu.”
“Ketinggalan di sepeda.” Wirya bertahan dengan jawaban singkatnya.
“Kayaknya sekarang kamu deket sama Kai ya?”
Ada yang mengusik pikiranku sejak kedatangan Kai tadi. Dia kelihatan tak suka melihat aku kembali. Ini bukan soal cemburu. Lebih pada rasa takut jika memang Kai dekat dengan Wirya dan nasibnya sepertiku.
Wirya sempoyongan menghampiriku dengan matanya yang redup. “Apa sekarang aku pernah nguliti kamu deket sama siapa? Cowok yang telepon kamu kemarin? Cowok yang bareng sama kamu tadi? Kai nggak cuma ngajarin kamu. Kai ngajarin aku buat nggak ngekang. Tidur sana wes malem. Kalau malam ini kurang tidur lagi, besok pagi mukamu jadi zombi. Aku nggak nyuruh lembur.”