Berawal dari mata sepet
Laporan WC sumpet
Ada tetangga otak cupet
Berpikir tentang hubungan petak umpet
Lalu datang kenyataan yang bikin biarpet
Maksimal seminggu, itu janjiku menyelesaikan pekerjaan yang Wirya beri. Aku cukupkan tiga hari. Minggu pagi aku keluar dari kontrakan Wirya dan berjanji dalam hati tak akan kemari lagi. Dia masih tidur meskipun sudah jam enam lebih. Sejak aku bertemu Kai, Wirya terlihat menepati janjinya, tidak mengekang kapan pun aku mau datang dan pergi. Anehnya sikap Wirya justru memancing percik perasaan bersalahku jika pergi tanpa mengucap terima kasih. Demi meredam perasaan itu sebelum membesar, aku meninggalkan pesan tertulis di pintu kamar Wirya.
Thanks for everything. Cari aku=kecewa.
Misiku hari ini tinggal balas dendam tidur seharian di kos. Hampir dua puluh empat jam mataku belum beristirahat. Memang tidak ada suruhan lembur, tapi keinginan segera lepas dari Wirya membuat wajahku hari-hari ini mirip zombi, seperti kata Wirya.
Pemandangan tumpukan botol dan jar calon kemasan obat serta kosmetik di dekat pintu kamar kos menyapaku. Mereka menunggu ditempeli label yang baru kukirim ke percetakan langgananku. Tunggu saja, sebentar lagi mereka akan minggat dari hidupku.
Tombol kipas nomor 3 kunyalakan, gerakannya langsung menyapu udara panas di kamarku. Akhirnya aku rebah, melepas nyawa. Tapi ... rasanya baru sebentar aku tertidur, pintu kamarku terus-menerus diketuk. Magnet di kasur masih kuat menarik tubuhku. Aku baru benar-benar lepas dari medan magnet itu waktu kudengar suara yang makin memelas di balik pintu.
“Mbak, tolong ....”
Sumpah, jika permintaan tolong itu hanya jebakan Radite yang menyuruh penghuni kos ini untuk memanggilku, dua minggu aku akan berpuasa mengobrol dengannya.
Saat membuka pintu, ada penghuni kos baru yang kutahu mahasiswi magang. Dia menghuni kamar yang bersebelahan dengan kamar mandi. Dia tampak basah kuyup.
“Mbak, bisa minta tolong? Itu kran wastafel jebol. Pipanya juga bocor. Sudah disumpal tapi kalo ada yang nyalain air pasti jebol lagi. Terus itu, WC-nya sumpet. Airnya meluap. Jijiklah mbak kalo sampek airnya keluar dari kamar mandi.”
Kenapa harus aku yang dibangunkan buat dengar sambatan soal kran jebol dan WC sumpet? Rasanya ingin mengumpat cewek di depanku, tapi dia sepertinya sudah berusaha mengatasi sendirian. Entah ke mana penghuni lainnya.
“Wes bilang ibu penjaga kos?”
“Lagi pulkam, Mbak. Tapi aku dikasih kontaknya bapak kos sini. Disuruh laporan sendiri.”
“Ya wes sana hubungi.”
“Mbaknya aja boleh? Paketanku habis Mbak. Pulsa biasa juga habis buat telepon Bu Lasmi yang ternyata pulkam. Aku juga sungkan kalo nelpon langsung bapak kos. Ayolah Mbak, please. Kalo airnya meluap kita juga yang repot ngepel terus.”
Pikiranku langsung membayangkan bagian air WC meluap sampai masuk kamarku plus semburan dari kran wastafel. Penghuni kamar bawah mustahil betah tidak menyalakan pompa air selagi di kamar mandi.
Dengan malas aku mengetikkan nomor-nomor yang diucapkan cewek yang tak pernah kutanyai namanya itu sambil fokus menginterogasi sejak kapan kran jebol dan WC sumpet. Perhatianku baru kembali ke HP waktu panggilan tersambung dan terdengar suara di seberang sana.
“Apa, Sahyang?”
Aku membeliak mendengar panggilan itu. Cewek yang berdiri di depanku bergidik sambil mengucap tanpa suara, kok gitu bapak kosnya? Sayang-sayangan? Lidahku terlalu kaku untuk memberi jawaban.
“Tumben nelpon biasa ke nomer yang ini? Beda provider lo Sahyang. Salah pencet? Nyawamu belum utuh ya?”
Panggilan itu langsung diakhiri. Dua detik kemudian ada panggilan video dari Radite.
“Bener kan baru bangun? Pantes salah server. Cuci muka dulu sana.”
“Nggak bisa. Kran jebol. Air di bak mandi abis. WC sumpet. Meluap,” laporku.
“Yang di mana?” Wajah Radite menampakkan kekagetan.
“Kamar mandi atas deket kamarku. Tanggung jawab! Cepetan ke sini!”
Begitu panggilan kuakhiri, cewek yang memperkenalkan diri bernama Yuni itu melongo melihatku.
“Mbak ... apanya bapak kos?”
Tatapan dan pertanyaan Yuni itu sungguh sangat menyebalkan, seperti minta klarifikasi apa benar aku selingkuhannya bapak kos? Tinggal tunggu waktu saja berita itu tersebar antar kamar. Tinggal tunggu hitungan detik saja sandalku siap menimpuk Radite. Kenapa dia tak pernah bilang kalau selama ini jadi bapak kosku?
***
Radite memang spesialis urusan mengganggu jadwal tidur pagiku di hari libur. Dia menyuruhku membantunya memperbaiki kran wastafel dan membersihkan pipa salurannya. Untung saja urusan WC dia sendiri yang menyelesaikan. Baru kali ini jadi anak kos yang ikut tanggung jawab memperbaiki fasilitas rumah kos yang rusak.
“Jasaku nggak gratis, Bang. Bapak kos macam apa kamu?” gerutuku.
“Bulan ini nggak usah bayar. Nanti aku bilang ke Bu Lasmi,” jawab Radite sambil membongkar pipa di bawah wastafel.
“Sebulan tok?”