RelationSHIP

Gusty Ayu Puspagathy
Chapter #17

MEJA MAKAN YANG HIDUP

Belasan tahun  

Meja makan berukir tak pernah hidup 

Belasan menit 

Rasa canggung lepas terungkit 

 

Minggu kedua bulan ini ada libur di hari Senin, jadi kuputuskan hari Sabtu pagi pulang ke rumah. Umpatan adikku memang ada benarnya. Aku jarang sekali pulang padahal jarak tempuhnya maksimal dua jam dengan kondisi jalan dari Surabaya ke Sidoarjo macet parah. Bukan karena faktor lembur pekerjaan, tapi memang itu kebiasaanku sejak kuliah. Rumah bagiku bukan tempat nyaman untuk pulang, hanya sekadar tempat berkunjung karena ikatan darah. 

Sepulang dari acara makan bareng—meskipun virtual—dengan ibunya Radite, aku terus membayangkan mamaku seperti itu. Hangat dan bisa memantik tawa. Yang kurasakan setiap mama telepon hanya kejengkelan. Entah soal sambatan kebutuhan adik, obatnya papa atau justru menguatkanku dengan tujuan supaya mama bisa lepas tangan. 

Sahya, adikmu besok mau blablabla, butuh ini sama itu, bagaimana ya? 

Sahya, obatnya papa yang ini sudah habis, sudah waktunya kontrol juga.  

Mama yakin kamu bisa, soalnya mama sendiri sudah usaha. Ya bagaimana lagi, Sahya. 

Pola omongan mama kalau dipetakan seperti itu. Monoton. Cuma adikku yang betah. Atau jangan-jangan Mutia pura-pura betah karena masih anak-anak? Seandainya dia seusiaku atau Anggit, apa dia kabur juga dari rumah? Kuliah atau kerja di luar provinsi, mungkin? Meninggalkan mama dan papa sendirian? Terus ... siapa yang bantu mama buat merawat papa? Siapa yang jaga mama di masa tuanya nanti? Aku? Karena tempat kerjaku terhitung dekat dengan rumah? Enggak! Lebih baik aku kirim uang saja daripada mengurus mama sama papa tiap hari. 

Sabar, Sahya. Sebentar lagi wisuda. Sebentar lagi dapat ijazah. Sebentar lagi aku bisa melamar pekerjaan jauh dari rumah. Jauh dari Wirya.  

Pesan terakhir Wirya masih terus menggangguku. Dia membalas pesan yang kutempelkan di pintu kamarnya lewat Whatsapp. 

Nyari kamu? Kamu yang nanti bakal nyari aku. Dari dulu kan gitu. 

Sebentar lagi pola itu akan hilang. Aku bakal lepas dari ketergantungan dibantu Wirya. Lihat saja. 

*** 

Sabtu pagi sebelum matahari terbit aku sudah siap menunggu jemputan ojek online di depan gang. Ini bukan masalah mengejar tarif hemat, tapi aku mau menghindar dari segala kemungkinan bertemu Radite. Aku merasa garis nasib sepertinya suka mempertemukan lilitan hidupku dengannya dalam satu titik. 

Sialan! Harusnya aku menghapus anggapan itu. Katanya semakin dipikirkan, semakin cepat terjadi. Itu sinkronisasi kerja otak, keyakinan dan permainan takdir. Ternyata ... pagi ini benar-benar terjadi. 

Sebuah mobil Veloz putih keluar dari gang dan berhenti di depanku. Berbarengan dengan ojek motor yang menjemputku. 

“Sahyang.” Radite keluar dari mobil dan buru-buru mencegahku mengambil helm dari pak ojek. 

“Kenapa sih Bang? Aku mau pulang.” 

“Tak antar. Sejalan kok.” 

Aku mau nekat naik di boncengan pak ojek tapi Radite lebih dulu menyodorkan uang dan meminta maaf soal dirinya yang terkesan mengambil paksa aku. 

“Oh santai Mas. Bapak juga pernah muda dan pernah bertengkar sama pacar. Semoga cepat akur Mas.” 

Respons pak ojek itu bikin aku mendelik dan Radite tertawa. Memangnya kami kelihatan kayak pasangan yang lagi bertengkar hebat semalaman? Begitu pak ojek itu tancap gas, aku juga ikut tancap gas menyemprot Radite. 

“Bang Dit beneran pasang CCTV di mana-mana buat ngawasin aku? Kurang kerjaan ta? Seumur-umur aku nggak pernah cancel ojol lho. Kamu ngerusak reputasiku, Bang.” 

“Memang kamu nggak cancel kan? Pak ojeknya lho santuy, kamu kok ngegas pagi-pagi. Aku cuma bantu bapaknya biar cepet dapet orderan lagi. Ini mau lanjut debat apa jalan?” 

“Bang Dit kalo cuma mau nganter aku pulang, mending nggak usah.” 

“Ge Er. Memangnya yang mau pulang kamu tok? Aku juga masih punya kampung buat pulang.” 

Seketika aku tersentak. Aku tahu sedikit tentang orang tua Radite, tapi aku belum tahu soal keluarganya yang lain, bahkan soal kampung halamannya. Wajar kalau dia mau pulang kan? Selama dia hanya mengantarku dan melanjutkan perjalanannya berarti memang dia tidak menguntitku. Kenapa aku bisa punya pikiran Radite selalu mengawasiku dan selalu ingin dekat denganku? Otakku sepertinya butuh direparasi segera. 

Lihat selengkapnya