Ruang Penyangkalan
Dilarang masuk
Sedang ada pertengkaran
Antara ego dan perasaan yang tertusuk
Hitungan jam di hari liburku terasa diperpanjang. Bukan lagi sehari 24 jam, tapi 36 jam. Tidak ada beda antara di rumah dan di kos. Sendirian. Mutia langsung main ke rumah temannya begitu selesai sarapan, sedangkan mama pergi ke rumah Bu RT seperti biasanya.
Sepi. Hanya ada suara dari channel musik di Youtube yang beralih acak menemaniku membersihkan rumput di halaman. Telingaku kembali berdenyut karena ingat sengatan ucapan Radite. Aku apatis? Harusnya dia di sini lebih lama dan lihat kondisiku sekarang. Sampai tengah hari pun aku merasa sendirian. Ada atau tidak ada aku di rumah, sama saja. Apa yang harus kudengar dari mama dan Mutia? Apa yang harus kubicarakan dengan papa yang memilih berpura-pura tidur?
Sepertinya tidur sampai berganti hari jadi ide yang bagus. Lagi pula beberapa waktu ini aku juga kurang tidur. Baru saja aku beranjak masuk rumah, nada dering di ponselku mengganti lagu Alone milik Alan Walker yang sedang berputar. Radite meneleponku. Selain menyampaikan kabar jika dia sudah sampai tujuan, dia menanyaiku hal di luar nalar.
“Sudah dapat cerita apa lagi dari mamamu? Atau adikmu? Atau kamu lagi sesi curhat sama papamu?”
“Nggak ada. Papa istirahat. Mama sama adik langsung keluar abis kamu berangkat. ”
“Tahu tujuannya?”
“Tahu.”
“Ngapain?”
“Ya mana aku tahu, Bang. Mama ke Bu RT paling juga nggibah. Mutia ke rumah temennya paling juga asyik fangirlingan sama artis K-Pop.”
“Nah kan ngegas lagi. Nggak pengen kepoin yang dilakukan mamamu sama adikmu? Kayak kamu kepoin aku lewat Setan.”
“Siapa yang ngepoin kamu, Bang Dit?”
Aku melepas teriakan bersama kekesalanku. Di seberang sana Radite puas menertawakanku, kemudian mengakhiri panggilan setelah mengatakan tujuannya telepon cuma mau memastikan aku tidak tidur sebelum azan zuhur.
Niatku memejamkan mata terus terusik dengan pertanyaan Radite soal kepo dengan kegiatan mama. Kalau diingat-ingat lagi, tiap aku pulang mama selalu keluar dan beralasan ke rumah Bu RT. Iya, aku tahu di daerah sini mama hanya akrab dengan Bu RT saja. Tapi kenapa setiap aku pulang ditinggalkan demi acara menggibah para ibu? Atau jangan-jangan ke rumah Bu RT cuma alasan mama saja? Sebenarnya dia ....
Aku langsung berdiri dan mengambil hoodie di gantungan baju. Kenapa keanehan itu baru kusadari sekarang? Apa tiap hari mama terus keluar rumah? Sepanjang menyusuri jalan paving menuju rumah Bu RT, aku terus membayangkan mama terlibat hal-hal buruk jadi harus menutupinya dariku. Bukan tanpa alasan aku khawatir seperti itu. Anggit dulu begitu atau aku sendiri. Semuanya membuat kami tertutup satu sama lain bahkan dengan keluarga. Apa mama begitu juga? Kalau dipikir-pikir, mama dapat duit dari mana selama ini buat bertahan hidup kalau aku absen mengirimi? Mama tidak pernah cerita dia bekerja. Kalau pun bekerja, siapa yang merawat papa?
Di depan pagar rumah Bu RT, aku mengendap-endap seperti sales yang dilema ingin menawarkan barang atau tidak. Dari luar aku melihat pakaian yang dipakai mama tadi pagi. Dia sedang membawa loyang kue, kemudian bercengkerema dengan dua perempuan lain. Suaranya terdengar sampai tempatku berdiri. Kalau bukan gara-gara penasaran dan menguntit mama, aku tidak tahu ternyata mama ikut membantu usaha keripik brownies milik Bu RT. Pantas setiap aku pulang, mama menghilang.
Aku heran kenapa mama bisa pilih kesibukan yang berhubungan dengan makanan padahal mama bukan tipe ibu yang suka masak apa pun. Waktu papa masih sehat, mama nyaris tak pernah menyentuh peralatan masak kecuali untuk menghangatkan makanan yang dibeli. Kalau pun ingin masak di rumah, aku yang disuruh.
Mama sudah terlanjur putus asa karena meskipun meniru resep di internet, tangannya tetap tidak bisa memberi rasa tambahan hingga mulut orang lain mengatakan enak. Kata mama, lebih mending tanganku. Bagiku itu cuma alasan klasik dibalik rasa malas. Kebiasaan itu belum sepenuhnya hilang sampai sekarang. Tanpa aku, mama selalu membeli makanan di luar. Itu sebabnya pengeluaran untuk mengisi perut justru jadi pemicu sakit perutku.
Selama ini mama belum pernah menceritakan kesehariannya membantu usaha Bu RT. Sudah berapa lama? Mama di sana bagian apa? Ya memang salahku juga tak pernah tanya. Mama mana pernah cerita kalau tidak lebih dulu ditodong pertanyaan. Tapi kalau mama bekerja dengan Bu RT dan punya pemasukan, kenapa masih minta ke aku yang jelas-jelas masih anak kuliahan?