RelationSHIP

Gusty Ayu Puspagathy
Chapter #20

PELEPASAN

Rahasia terlepas 

Belenggu memudar 

Rasa bersalah membatu, keras 

Benarkah bebas atau hanya menghindar? 

 

“Mbak, dari Mas Wirya.” 

Mutia memberiku buket bunga diselingi cokelat bernuansa merah hitam. Aku baru saja mengantar Radite ke tempat parkir dan Wirya ke sini? Apa dia memergokiku bersama Radite? 

“Orangnya jalan ke sana kalau mau nyusul, Mbak.” 

Mataku mengikuti arah yang ditunjuk Mutia. Itu arah kerumunan wisudawan dari fakultasku. 

“Kamu bilang apa ke Mas Wirya, Mut.” 

Tiba-tiba mama yang menyahuti, “Mama yang bilang kalau kamu masih ngobrol sama teman kantormu di parkiran. Wirya bilang cuma mau titip itu.” 

Apa perlu aku datang ke Wirya? Atau cukup mengucap terima kasih lewat chat

Sebuah jawaban muncul saat aku membaca kartu ucapan bertuliskan tangan di buket yang kupegang. Itu bukan atas nama Wirya, tapi Anggit. Ada tanda tangan basahnya di sana. 

Akhirnya, lulus juga. Kerja yang legal ya. Titip mama & Mutia. 

Anggit 

“Mas Wirya tadi ke sini sama siapa, Ma?” 

“Sendiri. Tapi katanya mau ketemu temannya dulu.” 

Setelah memberi tahu mama lokasi tempat duduk tamu undangan untuk acara wisuda, aku langsung bergegas mencari Wirya. Anggit juga teman Wirya. Siapa lagi yang ditemui Wirya kalau bukan masku? Apalagi Wirya yang jadi kurir pengantar buket milik Anggit. Aku harus bicara dengan Anggit soal kepergiannya selama lima tahun ini. Soal kasusnya. Atau soal kirimannya ke mama dan Mutia yang kuduga hasil kotor kelakuannya. 

Meski beberapa kali disapa teman seangkatanku di kerumunan para calon wisudawan, aku hanya memberi anggukan. Mataku terus menelusuri penyusup yang tidak berpakaian toga. Aku menemukan satu, teman seangkatan Wirya. Saat kutanyai, dia mengatakan Wirya barusan pergi, mau memberikan dua buket buat orang terdekatnya. Siapa orang terdekatnya selain aku? Ada satu perasaan asing yang tiba-tiba menyusup. 

Angin sedang malas bergerak mengipasi ribuan orang yang menunggu acara dimulai. Kelompok-kelompok calon mantan mahasiswa yang bangga dengan pakaian toganya, riuh mendengung dengan angan-angan mereka setelah kata lulus dipegang. Sedangkan otakku sibuk mendengungkan cari Wirya, cari Anggit. 

Aku menemukannya. Dia duduk di pembatas taman, memainkan ponselnya sambil memegang satu buket yang warnanya serupa denganku. Di sebelahnya banyak para pengantar berbaju aneka warna. Aku menyisir satu per satu, mungkin menemukan Anggit di sana. Anggit, ingatan tentang wajahnya ternyata mulai mengabur. Lima tahun mungkin banyak perubahan. 

Langkahku terpasak di tangga turun menuju tempat Wirya. Aku ingat janjiku beberapa waktu lalu, tidak akan menemui Wirya lagi. Hari ini apa aku akan menjilat perkataanku sendiri? Aku bisa bayangkan senyum kemenangan Wirya. Dia benar, pada akhirnya aku yang akan mencarinya. Ah bukan, tujuanku hanya mencari Anggit. 

Kakiku benar-benar menolak menemui Wirya. Bukan soal menjilat perkataan, tapi karena seorang cewek berkebaya peach menghampiri Wirya. Buket yang dipegang Wirya langsung berganti tangan bersamaan dengan jabat tangan. Itu ... siapa? Hanya punggungnya yang bisa kuperhatikan. 

Rasa penasaranku ternyata diperpanjang waktu. Sebuah pengumuman memberitahukan bahwa acara akan segera dimulai. Aku selamat dari rasa campur aduk yang susah kujelaskan. Cemburukah? Aku yakin tak punya rasa apa-apa pada Wirya kecuali utang budi. Bahagiakah? Mungkin, karena aku punya alasan kuat untuk segera pergi. 

Lihat selengkapnya