RelationSHIP

Gusty Ayu Puspagathy
Chapter #21

AKAR

Mereka sebut masa lalu 

Itu akar masa depan 

Mereka bilang kecewa 

Itu akar pengharapan 

Mereka berkata tentang perhatian 

Itu akar kasih sayang 

 

Masalah wisuda ternyata berakar sampai ke kantor. Dua minggu setelahnya, saat aku memperbarui dokumen pribadi di ruangan personalia, aku sempat mengobrol dengan Doni. Sejak awal aku masuk perusahaan ini, dia satu-satunya tim personalia yang cukup sering berinteraksi denganku, juga dengan teman-teman DE. Mungkin memang ada pembagian jatah divisi mana yang ditangani tiap orang di bagian personalia. 

Doni mengatakan kalau hilangnya semua karyawan di divisi DE saat hari wisudaku itu jadi perhatian Pak Oefi, manajer personalia. Seingatku memang mereka berenam baru kembali bersamaan selesainya acaraku, sekitar jam setengah dua. Masih molor lagi gara-gara Radite ngeyel mengantarkanku balik kos. Padahal aku mati-matian mengusir mereka kembali ke kantor sebelum jam satu, tapi suara satu orang hanya serupa dengungan lalat bagi enam laki-laki yang kelihatan menantang aturan perusahaan. 

Pak Syaqar menjelaskan kalau kepergian mereka itu masih bertanggung jawab. Segala pekerjaan sudah mereka selesaikan lebih dulu sesuai target hari itu. Gambar-gambar yang harus dikerjakan orang lapangan juga sudah tersedia dalam map yang telah diberi kode. Revisi gambar yang diminta bagian QC juga sudah dikirimkan via surel. Bahkan pagi sebelum berangkat menemuiku, Radite sudah laporan ke semua divisi yang berkepentingan dengan tim DE hari itu, kalau tim DE hanya bisa ditemui sebelum jam istirahat. 

“Temen-temenmu dapat surat peringatan pertama, kecuali Pak Radite. Dia langsung peringatan kedua,” kata Doni. 

“Tapi pekerjaan mereka kan beres?” 

“Ini bukan perusahaan mereka, Sahya. Tau sendiri, telat masuk hitungan detik aja ada potongan harian. Apalagi kasus kalian. Oh ya, ada wacana kalian bakal pindah divisi.” 

“Maksudnya kalian itu siapa, Mas?” 

“Kamu sama Pak Radite.” 

Pindah divisi, informasi yang tak pernah kusangka-sangka sebelumnya. Radite sudah lama berada di DE, bahkan dialah orang terpenting saat ini. Kemungkinan terkuat aku yang dipindah. Rasanya aku ingin memprotes keputusan itu, tapi apa daya aku hanya karyawan baru. Paling tidak aku harus tahu alasannya kenapa aku dipindahkan. Karena kinerjaku yang kurang atau aku dinilai punya potensi lain di luar desain? 

“Mas Doni tahu alasannya?” 

“Kayaknya karena hubungan kalian. Tapi kalau nggak ada laporan, sebenarnya Pak Oefi nggak mempermasalahkan.” 

“Laporan apa? Aku sama Bang Dit eh maksudku Pak Radite biasa aja. Sama kayak ke Mas Genta, Mas Acok, dan bapak-bapak yang lain. Apa cuma gara-gara aku sering nebeng dia?” 

Doni mengeluarkan ponselnya, menggulir layar beberapa kali kemudian menunjukkan padaku foto wisudaku bersama Radite. Suaraku tercekik di tenggorokan. Bagaimana bisa Doni mendapatkannya? 

“Ada yang bilang kalau kalian pacaran gara-gara foto ini. Waktu wawancara kerja dulu sudah dikasih tahu kan salah satu aturan di sini?” 

“Sudah, tapi sejauh ini kami profesional, memenuhi target. Ya, itu pendapat pribadiku sih. Malah Pak Radite jauh melebihi target.” 

“Aku sih paham, Sahya. Pak Oefi juga. Makanya baru wacana, buat meredam mulut-mulut yang nggak suka. Tenang aja, udah empat tahun aku pegang karyawan divisi DE. Paham karakter mereka, tapi memang akhir-akhir ini Pak Radite agak beda.” 

Beda yang dimaksudkan Doni ini terkait kinerja Radite. Dulu Radite dipercaya memegang banyak pekerjaan, sampai dalam seminggu Radite benar-benar tidur di kos hanya dua malam saja. Perusahaan jelas suka dengan kinerjanya, tapi banyak yang mengkhawatirkan kondisi psikisnya. Itu sebabnya Genta dan Acok pasti menemani. 

“Belakangan Pak Radite mulai pelan-pelan injak rem. Tetap sering lembur tapi jatah tidur di kosnya bertambah. Mulai kamu masuk, dia tambah slow. Jam lemburnya cuma sampai tengah malam, hari lemburnya juga nggak tiap hari.” 

“Jadi ... menurut Mas Doni perubahan itu mengarah ke mana?” 

“Realistis aja ya, Sahya. Kita kerja karena butuh duit. Rela lembur buat nambah pemasukan. Tapi siapa yang mau menggadaikan sisi lain hidupnya di luar kantor untuk hidup 24 jam di sini? Kerja sewajarnya, selebihnya kejar bahagia. Kita cari duit, terus duitnya buat apa kalau nggak buat seneng-seneng? 

“Nah aku lihatnya Pak Radite itu sumber kebahagiaannya kayaknya justru karena kerja. Dia nggak punya sumber kebahagiaan lain di luar itu. Makanya waktu dia mulai berubah, aku tarik kesimpulan Pak Radite menemukan hal yang menarik di luar urusan kantor. Baguslah buat psikisnya. Yang nggak bagus itu banyak yang mikir kinerjanya menurun. Padahal yang dilakukan Pak Radite cuma nurunin speed-nya, disamakan dengan yang lain. Bukan karena nggak profesional gara-gara ada kamu.” 

Aku ternganga. Tak percaya. Jadi ada gosip di luar jangkauan telingaku soal kinerja Radite yang disangkutpautkan sama aku? Siapa sih orangnya? Elastis sekali mulutnya. 

Lihat selengkapnya