Reduce harapan
Reuse kesempatan
Recycle perasaan
“Lembur apa kencan nanti malem, Bang?”
Pertanyaan Acok membuatku dan Radite menoleh berbarengan ke arahnya. Perhatian ke bekal makan siang kami terpaksa teralihkan.
“Heleh, lembur juga rasa kencan. Bedane opo?” sahut Genta dengan mulut penuh.
Radite langsung bergeser tempat dan iseng mengambil kotak makan milik Genta. “Bedane kalau Sahya tak ajak lembur pulang malem, dia ngantuk. Besok nggak bisa masak buat makan siang kita lagi. Paham?”
“Lho jadi yang masak buat syukuranmu jadi kabag DE ini Sahya, Dit?” tanya Pak Mul.
Kujelaskan pada mereka kalau Radite memang niatnya mengajak tim DE healing ke suatu tempat saat hari libur panjang minggu depan, tapi dia minta pendapatku dulu. Sebagai anak kos dengan gaya hidup minimalis serba tipis, diajak jalan-jalan pasti malas menolak. Hanya saja, empat bulan kenal Radite, aku tahu dia sengaja menghamburkan uang sekadar ingin merasakan momen kebersamaan yang jarang sekali dia dapatkan.
Berkebalikan denganku yang pantang membuang uang sekali lempar hanya untuk jalan-jalan, aku usul rencana Radite itu diganti dalam bentuk bekal makan siang selama seminggu saja karena akhir-akhir ini pekerjaan sedang padat merayap. Bahkan jam istirahat pun kami tak bisa keluar ruangan untuk beli makan siang. Pesan lewat aplikasi seringnya tak sempat.
“Kamu mau masak buat kami selama seminggu, Nduk?” tanya Pak Syaqar yang terbiasa memanggilku dengan sebutan genduk. “Nggak capek?”
“Ada tetangga yang siap nolong kapan pun kok, Pak.” Aku melirik ke Radite dan dibalas dengan cengirannya.
“Heleh modus itu, Sahya.” Genta masih berusaha merebut makan siangnya dari Radite, yang berakhir dengan makian karena Radite meletakkan kotak makan Genta di atas lemari dokumen.
“Jadi intinya kalau memang masih ada target pekerjaan yang belum selesai hari ini, silakan lembur tapi jangan pulang di atas jam sembilan. Kita rehat bentar sebelum on fire lagi. Perusahaan ini kemungkinan besar dapat proyek pembangunan kapal ferry yang desainnya kita kerjakan itu. Tinggal nunggu pendekatan sama pihak owner aja gimana soal ... ya kalian tahulah. Ini CDMA juga belum ada proyek lagi kecuali urusannya Sahya sama pihak syahbandar,” jelas Radite.
Semua berkata tak punya tanggungan dan siap pulang teng plas. Namun Radite menyarankan kami tetap bertahan paling tidak sampai jam tujuh, menghindari kecurigaan. Apalagi sejak insiden wisudaku, mereka harus bisa jaga sikap.
Radite kembali duduk di mejanya dan menyendok nasi. Genta tak berhenti mengomel soal kelakuan Radite yang tetap tak beradab pada Genta meskipun sudah jadi kepala bagian. Sebagai balasan, Genta memindahkan barang-barang Radite ke meja kabag yang masih kosong karena enggan ditempati Radite.
Sebenarnya, Radite hanya setengah hati menerima keputusan soal kenaikan jabatannya itu. Bagi Radite, jabatan adalah beban. Ada hal yang mengekang kebebasannya jika meninggalkan status karyawan biasa. Penolakan sederhananya adalah dengan menjaga kekosongan meja kabag. Tapi ... dia beralasan tak mau ada orang lain yang mengisi tempat di sampingku. Apa Radite pikir gombalannya bikin aku meleyot? Salah besar. Aku makin kebal dan menganggapnya rutinitas biasa tanpa ada rasa. Justru yang membuatku mati-matian memenjarakan perasaan saat Radite ada dalam mode serius dan benar-benar memperhatikanku.