RelationSHIP

Gusty Ayu Puspagathy
Chapter #23

GELOMBANG

Berawal dari riak 

Membesar, gelombang pasang 

Membawa beban tanpa moral 

Bermain cinta, lepas peran 

Bermain peran, saling cinta  

 

Aku bertahan lebih lama di kantor hanya karena ingat perkataan Pak Syaqar tadi siang soal menolong Radite. Genta dan Acok ternyata sama seperti Pak Syaqar yang pilih tutup mulut dan memberi isyarat agar aku menyaksikannya sendiri, lagi-lagi dengan alasan untuk menolongnya. Acok bersedia mengantarku kalau memang niat memata-matai, tapi aku menolaknya. Aku pilih caraku sendiri. 

Satu per satu layar komputer mati setelah jam yang terpasang di ruangan menunjukkan pukul tujuh. Semua sudah bersiap pulang kecuali aku dan Radite. Dia belum kembali ke ruangan, katanya masih ada rapat. Pikiranku sibuk cari alasan apa supaya Radite mengizinkanku ikut dengannya nanti. 

“Bareng Bandit?” tanya Genta yang kujawab dengan anggukan. “Ihhh ... gitu bilangnya udah sepakat nggak mau pulang bareng. Munafik ah kalian. Tinggal jadian susah amat. Belum putus ya dari pacarmu?” 

Acok yang sudah mencangklong tas dan berjalan ke pintu keluar, balik badan dan menggeret Genta. “Penyakit kepomu kurangi po’o. Pikiren nasibmu yang nggak laku-laku padahal wes pasang banner diskon gede.” 

“Kampret Mas Acok,” umpat Genta. 

“Sukses ya, Sahya. Pesenku ikuti kata hati aja. Misanya Bang Dit balik kucing, Genta belum sold out dan masih diskon seumur hidup. Maklumi aja kabagmu yang punya sifat sentimental gede ke cewek.” 

Ucapan Acok kembali menggiring rasa penasaranku. Ikuti kata hati? Balik kucing? Sentimental ke cewek? Maksudnya siapa? 

Dua orang itu pamit pulang dulu, tapi tak berapa lama Genta mengirimkan pesan padaku. 

Apa pun yang terjadi, dengerin penjelasan Bandit dulu. 

*** 

Setengah jam kemudian, Radite baru kembali. Dia nyaris terlonjak saat tahu aku menata beberapa dokumen gambar di lemari pojok tanpa penerangan. Mungkin di matanya aku berubah jadi penunggu gaib ruangan design engineering. 

“Niat banget lembur sendiri.” 

“Niatku bukan lembur, tapi nungguin kamu, Bang.” 

Radite menertawakanku. Dia bilang aku mulai berani membalas godaannya. 

“Jadi belanja kan Bang buat masak besok?” 

Radite melirik jam tangan dan kelihatan sedang memikirkan sesuatu. 

“Kalau memang nggak bisa, aku jalan sendiri aja. Asal nanti gantiin duitnya. Kan situ yang punya hajat.” 

“Iya iya, Sahyang. Aku anter. Masih ada waktu kok.” 

Tangan Radite nyaris menyentuh pucuk kepalaku tapi aku lebih dulu menghindar. Masih ada beberapa pasang mata di ruang lain yang bisa jadi melihat kami berduaan saja. 

Aku tahu ini berisiko. Kalau memang ini salah satu cara untuk menolong Radite, aku mau melakukannya. Radite sudah sering membantu kami dan sepertinya teman-teman lain mengandalkanku. 

“Janjian sama Pak Gadang ya? Bakal pulang subuh lagi dong.” Radite tak bisa menyembunyikan kekagetannya. “Aku nggak tahu Bang Dit punya acara apa sama Pak Gadang tapi khusus malam ini aku pengen ikut. Inget, Bang Dit udah nazar bikin makan siang buat temen-temen DE selama seminggu. Aku mau bantuin tapi kalo Bang Dit pulang subuh ya alamat aku masak sendiri. Tega?” 

Demi apa aku berani ngomong setegas itu? Aku yang selama ini hanya ikut arus, melakukan apa yang diinginkan orang lain, detik ini punya sedikit kuasa intimidasi. Apa hanya gara-gara tak terima Radite pulang subuh? 

“Makasih ya Sahyang perhatiannya. Cuma urusan ini aku nggak mau melibatkan kamu. Apalagi kamu cewek.” 

Lihat selengkapnya