Di luar gelanggang, di luar kesepakatan
Di sana tempat pihak ketiga
Satu klausul berkata,
Libatkan!
Makan siang ditutup dengan live performance sumpah serapah seorang perempuan? Ini sekadar prank kan? Aku tahu siapa kandidat yang punya stok ide di luar nalar seperti ini. Radite.
Pantas saja pagi tadi dia tidak tantrum meskipun tahu aku pindah sementara di ruang marketing. Ada beberapa dokumen yang harus kuselesaikan bersama Nikolas terkait persiapan serah terima kapal dua minggu lagi. Saat aku ingin menembusi beberapa surat yang masih tertahan di kantor Syahbandar, Nikolas ikut denganku dengan alasan dia juga punya urusan di sana. Karena kami harus menunggu sampai lewat jam istirahat, Nikolas mengajakku makan siang.
Sudah lima bulan aku di Tanjung Selaka, relasiku di tiap divisi lumayan berkembang daripada masa kuliah. Yah, meskipun keberadaanku selalu jadi sorotan karena aku satu-satunya tim engineering perempuan. Aku juga terpaksa sering turun lapangan untuk menyelesaikan permasalahan ketidaksesuaian desain dan kondisi di lapangan gara-gara Radite. Ocehan orang-orang lapangan yang tajam lambat laun terserap dan tanpa sadar melatih lidahku untuk berani bicara. Jadi tidak ada rasa canggung seperti di awal dulu, termasuk dengan Nikolas. Namun obrolan santaiku dengan Nikolas berubah saat dia menggiring ingatanku di Double U.
“Radite nggak curhat sesuatu waktu pulang duluan sama kamu, Sahya? Soal tunangannya mungkin?”
Aku berusaha cuek dengan tetap santai menyendok kuah gulai ayam, tapi takdir berkonspirasi dengan mulut dan tenggorokanku hingga aku tersedak. Bahkan hidungku rasanya panas dan sepertinya memerah.
“Kamu nggak apa-apa, Sahya?”
Nikolas pindah ke sisiku dan memberiku sebotol air putih. Aku memberi isyarat tangan, tanda kalau aku baik-baik saja.
Setelah meneguk separuh gelas, baru aku bisa bicara lagi. “Pak Radite malam itu nggak cerita apa-apa, Pak. Cuma bilang capek, pengen cepet sampai kos.”
“Malam itu Q cerita soal Radite yang tiba-tiba menjauh, terus lost contact, bahkan dia bilang Radite memblokir nomer Q, akun medsosnya juga.”
Ragu-ragu aku bertanya, “Mulai kapan, Pak?”
“Bener-bener hilang ya sekitar empat bulan ini.”
“Empat bulan?” Pikiranku mulai mundur membayangkan satu hal, tapi segera kuhapus. “Selama itu apa nggak ada usaha ketemu langsung sama Pak Radite?”
“Q kerja di Bali. Susah ambil libur. Radite juga gitu. Dia bisa 24 jam nonstop kerja kalau kumat jadi Superman. Pak Gadang dan Pak Franky sudah nyoba bujuk Radite buat ambil cuti, bahkan sudah dipesankan tiket biar bisa ketemu Q, hasilnya ditolak. Baru di Double U itu Q bisa datang. Tapi kamu tahu sendiri respons Radite. Malah pilih pulang dulu sama kamu daripada tunangannya. Kamu nggak ada hubungan apa-apa kan sama Radite?”
Gulai ayamku seketika hambar. Q dan Radite masih bertunangan? Siapa yang bisa kupercaya? Omongan Genta atau Nikolas? Sejauh ini Radite belum terbuka soal statusnya. Bertanya pun aku tak punya hak. Mungkin dia tak nyaman, seperti aku yang terus-terusan menutupi hubunganku dengan Wirya. Tapi ... aku penasaran. Sangat. Bagaimana kalau aku kebablasan dan dituding jadi orang ketiga?
Ingat Sahya, Radite masih punya tunangan.
“Nggak ada, Pak. Cuma rekan kerja. Pak Nikolas tahu sendiri kan kedekatan tim engineering seperti apa.”
“Tahu. Tapi Radite kelihatan banget tertarik sama kamu. Aku kenal Radite dari zaman kuliah. Tahu sifatnya kalau udah naksir cewek. Pantang nyerah. Dia pasti blak-blakan ngasih tahu orang terdekatnya soal cewek yang disuka. Dia masih begitu meskipun umur udah mulai masuk tahap pra-jompo.”
Coba mengelak, Sahya. Cari jawaban buat menyangkal. Bohong nggak masalah. Pekerjaanmu yang bakal terancam kalau isu kedekatanmu sama Radite muncul lagi. Putar otak, Sahya. Cari celah. Cari alasan masuk akal.
“Pak Nikolas tahu soal saudaranya Pak Radite?”
“Adiknya maksudmu?”
“Iya. Dia sahabat dekat saya. Jadi ... ya begitu. Pak Radite juga dekat dengan saya jauh sebelum masuk Tanjung Selaka,” kilahku.
Nikolas mengangguk, senyumnya melebar seperti mendengar undian kemenangan yang jatuh padanya. Dia menggeser kursinya lebih dekat ke arahku. Canggung sekali berada sedekat itu dengan pria yang jadi primadona cewek-cewek lantai tiga.
Aku pura-pura mengecek ponsel, alarm dalam diriku terus bergetar sebagai tanda peringatan bahaya. Nikolas mulai menempelkan telapak tangannya ke pundakku.
“Kalau dipikir-pikir ya masuk akal juga. Adiknya Radite katanya memang masih kuliah.”