Rumus ditulis
Dihitung dan dijabarkan
Sebuah konstruksi direncanakan
Pembangunan berkelanjutan
Proyek bahtera rumah tangga, katanya
Kalender merah hari Jumat dan Senin seperti mukjizat luar biasa bagi proletariat, tapi tidak berlaku untukku. Libur panjang justru membuatku bingung. Terlalu lama di rumah malah membuat tekanan darahku naik cepat. Berencana lembur tapi Radite melarang semua tim DE menghabiskan liburan di kantor. Mengajak Radite jalan ... duh, butuh obat penguat saraf malu. Untungnya dia lebih dulu mengabari kalau mau ke luar kota. Mungkin dia akan menemui Q.
Kenapa rasanya hidupku tersedot dalam ruang hampa ya? Tanpa siapa-siapa.
Sebuah pesan dari Mutia menyelamatkanku dari kebosanan. Dia minta ditemani liburan ke rumah mbah kung. Tanpa pikir panjang, aku menyanggupi. Aku meminta Mutia langsung menemuiku di Bungurasih saja Jumat siang. Kami menempuh perjalanan menuju pesisir selatan Jember tanpa banyak pembicaraan.
Di dalam bus, Mutia cuma melirikku, kemudian kembali tertunduk saat aku memergokinya. Terus begitu. Dia kelihatan ingin membicarakan sesuatu, tapi ditahannya. Apa aku terlihat semenakutkan itu?
“Pengen ngomong apa kamu, Mut?”
Mutia gugup. Dia terus memainkan jari-jarinya.
“Mbak Sahya jangan marah ya kalo aku cerita.”
“Marahnya nggak mungkin sekarang lah. Aku juga ngerti ini kendaraan umum.”
Mutia mendecak kesal. “Mesti Mbak Sahya gitu. Ini soal Mas Anggit. Dia udah lama nggak ada kabar. Mama bingung. Kalau malem sering nangis. Papa juga sering nyuruh aku nelpon Mas Anggit, tapi nggak bisa. Papa kayaknya kepikiran juga.”
“Ya iyalah, Mas Anggit kan di pe—” Seketika aku menutup mulut.
Wirya bilang Anggit di penjara. Lalu siapa yang selama ini mengirimi mama pesan? Siapa yang mengirimi jatah uang jajan Mutia? Memangnya dia dapat kemudahan akses di penjara? Kenapa aku luput memikirkan itu?
“Mut, coba lihat nomernya Mas Anggit.”
Mutia menyodorkan ponselnya yang menampilkan deret nomor yang bagiku tak asing. Begitu kuketik nomor itu di ponselku, sebuah nama membuat mataku membulat seketika. Wirya.
“Ini bener, Mut?”
“Iya. Ya cuma itu nomernya Mas Anggit.”
“Mulai kapan dia berhenti menghubungi?”
“Kayaknya sih habis Mbak Sahya wisuda.”
Seketika aku tak punya daya untuk mengangkat kepala, terjatuh di sandaran kursi penumpang depanku. Kubentur-benturkan kepala. Kenapa Wirya masih meninggalkan masalah di hidupku? Kenapa dia sok peduli dengan pura-pura jadi Anggit buat menghibur mamaku? Kalau sekarang Wirya berhenti jadi Anggit, siapa yang disalahkan? Aku lagi? Apa mama sama papa harus kuberitahu soal Anggit di penjara? Tapi bagaimana kalau mama mengalami seperti papa dan kondisi papa memburuk?
“Mbak, ngapain seh? Kasihan yang duduk di depan kalo Mbak Sahya terus-terusan mukulin kepala ke kursi.”