RelationSHIP

Gusty Ayu Puspagathy
Chapter #26

PROTOTIPE RASA

Kapal kenangan 

Berlabuh, menyimpan rasa 

Hendak berlayar 

Jangkar tertambat, pada ketakutan 

 

Prototipe leissure boat yang didominasi warna putih biru masih mengisi ruang kosong di atas lemari pakaianku. Sarang laba-laba dan debu jadi selimut penutupnya dari hawa dingin kamar yang jarang tersentuh.

Empat belas tahun kapal ini berlabuh di sini. Kenangannya masih terasa meski samar. Aku merusakkan pendahulunya, menabrakkan hingga pecah bagian lambung kapalnya. Aku mencoba memperbaiki, padahal aku tak tahu apa pun. Dia yang kulupakan wajah dan namanya mengajariku dengan sabar. Kapal ini utuh lagi, menjadi wujud baru. Sayangnya, sekali pun aku belum pernah mencoba melayarkannya. 

Setiap kali aku ingin mencoba, perasaan takut itu muncul lagi. Tak ada dia yang membantuku seperti dulu. Bagaimana kalau hal yang sama terulang? 

Belenggu itu harus hilang. Aku bukan lagi anak kecil sepuluh tahun tanpa pengetahuan. Aku bahkan punya kemampuan lebih dari sekadar memperbaiki sebuah prototipe kapal. 

Kusingkirkan selimut debu dan sarang laba-laba. Setelah sekian lama, aku tahu besar kemungkinan kapal ini gagal berlayar. Sistem di dalamnya mungkin saja rusak. Tapi kapan lagi aku mencoba? Rusak pun tak masalah, aku sudah tahu cara memperbaikinya. 

Kupeluk kapal sepanjang lenganku ini. Waktunya bernostalgia ke waduk. 

*** 

Panas sedang mengamuk tepat di atas kepala. Cuma orang kurang acara seperti aku yang nekat menantang. Sepi. Hanya ada seorang pemancing di seberang waduk, duduk menunggu di bawah rindang pohon. Ah, aku iri. Harusnya aku yang di sana. Tidak ada peneduh lain di sekitar waduk selain pohon itu. Boleh tidak aku berharap pemancing itu kejatuhan sarang lebah, disengat di bagian kepala, jadi bisa segera pulang ke asalnya dan aku merebut tempatnya. 

Doa orang yang menganiaya diri di tengah terik matahari sepertinya mudah menguap dan cepat didengar. Pemancing itu mendadak berdiri, berjalan pergi, tapi alat pancingnya tetap stand by di bibir waduk. Lelaki itu memandang ke arahku. Apa dia merasa kalau aku penyembur doa jahat buatnya? 

Jangan memperhatikannya, Sahya. Jangan. 

Aku menurunkan kapal dari pelukanku. Kupasang baterai baru pada alat pengendalinya. Pelan-pelan kuapungkan kapal. Terus kuamati, bisa jadi ada bagian yang bocor dan menenggelamkannya sebelum berjalan. 

“Kurang kerjaan, Sahyang?” 

Aku nyaris terjungkal ke waduk mendengar suara itu. Jadi dia si pemancing? Kenapa sarang lebah belum jatuh di kepalanya sih?  

“Bang Dit belum balik?” 

“Belum dapet ikan.” 

“Maksudku balik ke Surabaya, Bang. Ngapain juga di sini?” 

“Kan masih libur. Balik cepet juga mau apa. Mending mancing sambil nostalgia masa kecil.” Radite melirik ke arah kapal yang kuapungkan. “Kayaknya ada bocor itu di haluannya.” 

Fokusku beralih. Benar kata Radite. Kapal ini trim ke depan. Meskipun sudut kemiringannya masih kecil, indikasi sudah terlihat dari perbedaan garis saratnya. Sejeli itu mata Radite. 

Aku mengangkatnya, rembesan air yang keluar dari sisi depan kiri lambung kapal jadi pembuktian ucapan Radite. 

“Kapal lama ya?” tanyanya. 

Aku mengesah. “Aku pernah cerita soal ini ke Bang Dit waktu di North Quay.”  

“Oh yang itu.” Radite meminjam kapalku, mengamatinya sambil berjalan menuju satu-satunya tempat teduh. “Nggak masalah. Cuma bocor dikit. Dempul aja. Belum pernah nyoba di lintasan?” 

Lihat selengkapnya