RelationSHIP

Gusty Ayu Puspagathy
Chapter #28

KONTAINER MASALAH

Dibawa gelombang 

Berayun-ayun sembilan tahun 

Kontainer di atas kapal 

Saksi bisu di lautan hidup 

 

Keputusan sudah diambil. Pak Syaqar, Pak Manu dan Acok jadi wakil divisi engineering yang berangkat membereskan proyek ‘buangan’. Radite akan wara-wiri di dua tempat, bisa tiga tempat jika memang dia masih diperlukan di Jakarta. Aku jelas jaga kandang dan diberi hak penuh untuk memutuskan sesuatu mengenai pekerjaan tim DE. 

“Apa pun yang kamu putuskan, aku yang tanggung jawab.” Begitu pernyataan Radite. 

Kenyataannya tidak semudah itu. Tanpa Radite, aku masih bisa berdiskusi dengan Pak Syaqar. Sekarang dua-duanya menghilang. Berkonsultasi lewat telepon rasanya mustahil karena perubahan di lapangan butuh diputuskan saat itu juga. Berembuk dengan Pak Mul rasanya percuma, dia selalu percaya padaku. Tipikal bapak-bapak penurut.  

Jangan tanya soal Genta, setiap diskusi dia malah membelokkan bahasan jadi urusan rekomendasi skincare terbaru untuk materi kontennya atau spekulasinya soal episode lanjutan One Piece. Baginya kerja jangan dibuat ngoyo karena ngoyo pun gaji tetap sama. Kecuali ada saweran, baru Genta tancap gas. Masalahnya tukang sawer langganannya lagi sibuk wara-wiri di tiga tempat berbeda dan sedang sepi proyek. 

Personil DE sudah sebulan tidak komplit seperti dulu. Ruangan hanya milik kami bertiga. Entah kenapa aku punya bibit benci yang tumbuh pada Pak Yanus. Maksud baiknya pada perusahaan ini justru mencekik kroco-kroco macam kami. Berkurangnya jumlah tenaga kerja berimbas pada overload-nya pekerjaan. Apalagi terdengar kabar kalau Tanjung Selaka akan ikut tender proyek pemerintah lagi. Sedangkan Radite melarang kami lembur.

Radite menyuruh kami kerja sewajarnya, tapi mana tega aku melihatnya lompat sana-sini dan memikul tanggung jawab anak buahnya jika ada pekerjaan yang belum beres. Lagi pula aku tak punya kegiatan lain membunuh sepi selain lembur. Jadi kuputuskan tetap lembur hanya berteman Genta sebab Pak Mul tak berani melawan perintah Radite. Pantas saja Radite menjuluki Pak Mul itu Mulihan. Memang kenyataannya bapak satu ini terikat oleh magnet kuat bernama rumah dan keluarga. 

Sejak terpisahnya anggota DE, Genta yang selalu jadi teman duet sekaligus pengantarku. Gosip pun bertiup di kantor. Katanya aku mencari korban baru setelah mengisap Radite. Korban daging yang lebih muda. Dasar mulut-mulut karet! Awas saja kalau ketemu, kutarik mulutnya buat ikat rambutku! 

Jam sepuluh aku baru masuk kamar kos. Kasur sudah memanggilku, tapi kakiku masih tegak menyangga tubuh yang berdiri kaku dekat jendela. Di seberang sana, ada kamar yang belum menyala selama delapan hari. 

Kapan dia balik? Kutanyakan itu pada dua boneka Olive yang rebahan di kasur. Senyum dua Olive itu seperti menggodaku. Mereka melontarkan tanya balik padaku, ciye, kangen ya? Aku menyangkal itu dengan menerjang ke kasur, membungkus dua Olive ke dalam selimut.  

Baru saja aku menang bergelut dengan Olive dan bersiap tidur, panggilan video dari Radite membuatku mengulum senyum. 

“Selamat ya, dapet predikat buaya di kantor.” Radite menjulurkan lidah, mengejekku. 

“Buaya juga pilih-pilih mangsa, Bang. Model kayak Mas Genta gitu susah ditelan.” 

Tawa Radite pecah di ujung sana. 

“Kapan balik, Bang? Tumben seminggu lebih nggak muncul di kos? Agak seret ya di Gresik sama Jakarta?” 

Lihat selengkapnya