RelationSHIP

Gusty Ayu Puspagathy
Chapter #29

KERAK

Otak sesak 

Pertanyaan beranak pinak 

Bisakah berkata tidak? 

Pada rasa yang mulai mengerak 

 

Aku dibuat sakit kepala saat tahu mama dirawat di ruang IGD. Otakku sudah berputar cari utangan di mana lagi karena mama tak pernah mau mengurus asuransi kesehatan. Minta klarifikasi pada Mutia jelas percuma, dia ikut saja ketika perawat membawa mama ke ruangan itu. 

“Kamu tuh kenapa sih, Mut? Giliran penting, ditelepon berkali-kali malah nggak diangkat.” 

“Mau ngangkat gimana seh, Mbak, kan mama kondisinya gitu. Aku sek sibuk minta tolong ke Bu RT, terus ikut ngantar ke rumah sakit. Sampek sini ditanya-tanyain sama petugasnya. Sekarang diomelin. HP-ku itu ketinggalan, Mbak.” 

“Terus infonya mama kenapa?” 

“Nggak tahu.” 

“Lah tadi pas ditanyain kok nggak balik tanya? Gimana sih kamu, Mut?” 

“Mbak Sahya ini kok nggregetno seh? Umur aja yang banyak, tapi nggak tahu sikon. Petugas administrasi mana tahu soal penyakit? Tanya sendiri ke dokternya sana.” 

Kami masih berdiri di depan pintu ruang IGD, diam-diam saling curi pandang. Aku tahu keresahan yang dirasakan Mutia lewat wajah sewotnya. Mutia lebih muda dariku saat dulu aku mengurusi papa yang mengalami hal serupa ini. Waktu itu aku masih dibantu mama, tapi Mutia pagi ini melakukannya sendiri. 

Kudekati Mutia dan merangkulnya. Adik yang selama ini sering kuanggap benalu, langsung menyurukkan kepala ke dadaku. Dia menangis sesenggukan. Takut soal kondisi mama. Kenapa aku tak merasakan hal itu? Kenapa air mataku mengeras dan menolak merembes? Sebeku itukah hatiku? 

“Mut, kamu mau balik atau ikut nungguin di sini?” 

“Kalau aku di sini siapa yang ngurusi papa? Kasihan papa, Mbak. Pasti kepikiran juga. Aku takut papa nggak bisa bangun lagi kayak kapan hari.” 

Mutia, tanpa sadar dia tumbuh mendewasa tanpa pernah kuakui. Di mataku dia masih bocah yang merenggut kebebasanku. Karena kelahirannya, aku terpaksa tinggal serumah dengan orang tuaku dan meninggalkan Mbah yang sudah merawatku sejak bayi dan menawarkan rasa bebas. Karena dia, aku harus berbagi jatah hidup, jadi sosok yang bertanggung jawab membesarkannya. Kekanak-kanakankah aku kalau menyimpan kejengkelan padanya di setiap ucapan? 

“Mut, makasih ya.” 

Mata bundar polosnya menatapku. Buram, berkabut air mata. Mutia tambah erat memelukku sampai satu perasaan pecah dalam dadaku. Kenapa baru sekarang bisa kulakukan mengucap kalimat sederhana itu? 

Aku menitipkan Mutia pada anak Bu RT yang tadi mengantar mama. Mutia bilang pasti akan stand by di dekat HP sewaktu-waktu aku butuh menghubunginya. Satu hal yang baru kusadari setelah Mutia pergi, HP-ku masih mengisi daya di kamar kos. Mampus! 

*** 

Setengah jam setelah Mutia pergi, seorang perawat keluar dari ruang IGD. Aku mencegatnya, menanyakan kondisi mama. Rupanya tekanan darah mama terlalu tinggi, juga ada indikasi penyumbatan pembuluh darah ke jantung. 

“Apa ibu Anda sebelumnya punya riwayat penyakit jantung?” 

Riwayat? Pertanyaan perawat itu menyengatku. Apa aku pernah tahu mama sakit? Apa aku pernah menanyakan kondisi mama setiap pulang atau saat telepon? Bagaimana kalau memang mama selama ini sakit tapi sengaja menyimpannya sendiri? Serenggang itukah hubunganku dengan mama? Kenapa? 

Gelenganku jadi jawaban keraguanku. 

“Kata dokter butuh observasi lebih lanjut. Saat ini ibu Anda masih belum sadar. Sabar dulu ya Mbak, semoga beberapa jam lagi kondisi ibunya sudah stabil.” 

Sebelum perawat itu berlalu, aku nekat minta izin meminjam ponselnya untuk menghubungi Mutia. Begitu tersambung, adikku mulai mencerocos, ganti menyalahkanku soal HP-ku yang ketinggalan setelah kuberitahu aku meminjam ponsel perawat di sini. Kusampaikan kabar soal mama padanya, tapi aku memaksanya untuk berbohong pada papa. 

“Bilang ke papa, mama baru sadar, tapi masih lemes. Udah gitu aja, biar papa nggak kepikiran. Dan satu lagi, tolong dong WA ke Mas Radite, suruh Bu Lasmi buat nyabut HP-ku di kamar.” 

“Makanya nggak usah nyalahkan orang. Mbak Sahya lebih parah kan?” 

Lihat selengkapnya