Lemparan pertama
Bertarung lawan gejolak hati
Lemparan kedua
Menjebol dinding-dinding abai
Lemparan ketiga
Silakan gandeng tawanya lagi
Empat hari aku memilih membatasi komunikasi dengan Radite. Ini bukan soal cemburu, hanya mencoba berdamai dengan gejolak hati. Memang hanya sekali Radite menolong Q di depan mataku, tapi kenapa rasanya ada ketakutan berlapis kalau dia bisa berbuat lebih di belakangku? Apa aku mulai takut kehilangan? Apa tanpa kusadari mode coba dulu menjalani hubungan dengan Radite sudah berubah menjadi mode serius?
Kamu bisa sendiri tanpa bergantung pada Radite, Sahya! Sangat bisa! Jangan serius jatuh cinta! Sakit ujungnya!
Setelah kamis dan jumat lalu aku absen gara-gara menemani mama, seninku disambut tanggungan pekerjaan yang menumpuk dan menunggu untuk dilembur. Radite ternyata sudah menempati kursinya, lebih tepatnya kursi kepala bagian engineering. Entah karena dia mulai sadar statusnya atau memang itu caranya menghormati pilihanku untuk jaga jarak sementara sehingga meninggalkan meja di sampingku.
Genta, dia punya indra yang tajam pada kekalutanku. Berulang kali dia bertanya aku ada masalah apa. Jawaban mamaku sakit ternyata belum mengenyangkan rasa ingin tahunya.
“Eh Sahya, itu Bandit habis kamu apain kok tumben dari pagi nggak ngoceh?”
“Sariawan semulut kali,” jawabku tak acuh.
“Jabang bayi! Mainmu kok ganas sekarang? Digigiti sampek sariawan?”
Aku langsung mencubit lengan Genta sampai mengaduh dan minta ampun, baru kulepaskan. “Aku di rumah sakit. Dia main sama siapa bukan urusanku.”
“Oalah itu ta masalahe?” Genta bersiul riang. “Breaking news ini. Mas Acok kudu tau kalau ada yang cemburu-cemburuan.”
Cubitanku kembali bersarang di titik yang sama di lengan Genta. Teriakannya kali ini minta pertolongan pada Radite. Laki-laki yang dipanggil memang mendekat, tapi tanpa ekspresi.
“Malam ini kalian berdua ada rencana lembur?”
Aku dan Genta saling pandang. Rasanya aneh mendengar Radite bertanya formal, tanpa gurauan seperti itu.
“Aku nggak ada. Nggak tau kalo Sahya,” jawab Genta masih dengan lirikan penuh arti padaku.
“Kalau Sahya lembur bisa minta tolong temani dulu sampai aku balik? Aku mau ke Gresik.”
Setelah Genta mengangguk, Radite kembali ke mejanya, mencangklong tas dan pergi begitu saja. Genta mendadak memukul lenganku.
“Kupingku nggak salah denger? Nggak ada Sahyang-Sahyangan lagi? Wes ... indikasi berat ini.”
Genta pantang menyerah membuatku jengkel sepagian. Dia tidak peduli dengan pekerjaanku yang seabrek dan terus mengganggu dengan pertanyaan kenapa yang terdengar seperti nada alarm pagi hari. Berkali-kali dimatikan, berkali-kali bunyi lagi. Misinya satu, harus dapat jawaban dariku. Dan ... lepas istirahat siang, aku menyerah. Ruangan DE berubah jadi ruang konseling abal-abal. Untungnya hanya ada aku dan Genta, Pak Mul izin pulang setengah hari. Sesi curhat pun dimulai.
Aku belum pernah selonggar ini menceritakan privasi perasaanku pada orang lain. Unek-unekku mulai dari pertemuan awal dengan Q sampai empat hari lalu meluncur tanpa rem. Aneh, dulu saat bersama Wirya, sebisa mungkin aku mengunci rasa kecewaku rapat-rapat. Kai, yang kuanggap sahabatku saja tidak tahu alasanku ingin putus dengan Wirya sampai kami lost contact. Kenapa dengan Genta bisa selepas ini aku mengungkapkan perasaan yang bisa jadi bahan tertawaan?
“Gini Sahya, pelan-pelan kenali jeroannya Bandit kayak apa. Wajarlah kamu gitu. Udah jadi pacar. Minta di-bending emang otaknya si Bandit.”
Jawaban Genta di luar prediksiku. Kupikir dia akan meledekku, menganggapku kekanak-kanakan karena memilih berjarak sementara waktu dengan Radite hanya karena memergoki pertemuan Radite dan Q. Aku merasa dikuatkan dengan respons Genta. Apa ini salah satu alasan kenapa tim DE solid seperti keluarga?
“Menurutku ya Sahya, Bandit itu sebenarnya nggak cocok jadi kabag. Cocoknya jadi Helper. Hatinya gampang meleyot. Nggak bisaan. Dulu jadian sama Q aja gara-gara kasian. Makanya aku puas buanget waktu mereka putus, sampek aku bikin traktiran buat temen DE.”
“Beneran Setan kamu ya Mas. Orang putus malah dirayain.”
“Dih ... Bandit tuh gitu-gitu pantes dapet cewek yang lebih baik dari sekadar cewek panggilan. Dia aja yang terlalu yakin Q bisa berubah, jadi lebih baik kalo dibantu perekonomiannya. Mana buktinya? Diporoti tok Bandit. Kan mending duitnya buat nyawer tim DE yang bantu proyeknya. Pikiren wes, Q punya dua om di sini yang relasinya nggak sekecil kaleng sarden, jadi kenalannya pasti banyak. Bisalah dimanfaatkan buat dapat kerjaan halal. Ini malah om-omnya sepakat jodohin Q sama Bandit. Nutupin belangnya Q. Mereka tahu Bandit tuh loyal sama orang yang punya tanggungan keluarga. Makanya Bandit dimanfaatin. Brengsek nggak? Intinya aku, Mas Acok, Pak Syaqar, Pak Manu, Pak Mul jadi tim suksesmu sama Bandit sampek gol.”
“Gol apa?”
“Merit lah.”