Basa-basi biasa, mulanya
Dari keluarga yang lama tak bersua
Ternyata ... pinjam uang
Pinjaman gagal didapat
Rahasia besar yang dipecahkan
Mutia memang bakat jadi pembawa berita buruk. Jumat sore, sepuluh menit sebelum jam pulang, aku baru membuka pesan suara dari Mutia yang sudah bertengger sejak sejam yang lalu. Bukan suaranya, melainkan suara papa yang lemah, patah-patah dan terdengar menyakitkan. Papa ingin aku cepat pulang. Siapa yang tidak berpikiran buruk saat mendengar itu?
Aku terpaksa izin pada Radite pulang tepat waktu. Dia ikut khawatir mendengar pesan suara kiriman dari Mutia tapi dia meminta maaf tak bisa mengantarku pulang. Aku paham dan aku memang tak ingin diantar Radite. Paham karena setiap Jumat sore akhir bulan begini selalu ada rapat evaluasi. Tak ingin diantar sebab aku tak mau Radite terlalu dalam mencampuri urusan keluargaku.
Hampir jam tujuh aku baru sampai rumah setelah bergulat dengan emosi berkepanjangan karena rantai kendaraan dan deretan pesan pertanyaan dari Mutia soal kapan aku sampai rumah. Kabar darinya soal mama dan papa yang mau nekat berangkat cari Mas Anggit menambah panas dadaku. Apa sih yang ada di dalam pikiran mereka? Memangnya mereka mau cari ke mana kalau tujuan saja tak tahu.
Begitu masuk ruang tamu, aku disambut dengan wajah lesu mama. Matanya sembab. Tangannya meremas-remas tisu. Beberapa kali mama berusaha menahan suara isak agar tak lolos dan didengar olehku. Perasaan canggung hadir di antara kami saat duduk berdampingan.
“Aku di sini kalau mama mau cerita. Kalau nggak mau juga nggak apa-apa, aku tetap leyeh-leyeh di sini.”
Aku tak tahu apakah caraku memancing obrolan sudah benar atau malah mengintimidasi mama. Satu hal yang kupelajari sejak aku mengenal Radite, dia berusaha jadi pendengar yang tidak mau memaksakan kehendak si pencerita.
“Kamu tumben nggak lembur?” tanya mama yang kutahu cuma basa-basi.
“Kerjaanku udah selesai, Ma. Lagian Bang Dit ngelarang aku lembur terlalu sering karena sekarang personil di divisiku berkurang. Cuma tinggal 3. Lainnya diperbantukan di galangan Gresik. Takut otaknya meledak kalau 3 orang ini dipaksa kerja melebihi batas.”
“Mas Radite apa lagi sibuk? Kok kamu pulang sendiri?”
Mulutku hampir menyemburkan pernyataan kalau biasanya aku juga pulang sendiri. Hanya gara-gara aku menjalin hubungan dengan Radite bukan berarti bisa seenaknya minta antar jemput. Namun aku kembali mengempiskan balon egoku. Mama sedang kalut. Bukan waktunya aku menyiramkan bensin pada bara yang menganga merah.
“Bang Dit lagi ada rapat, Ma. Biasa, akhir bulan. Nggak bisa ditinggal. Dia titip permintaan maaf. Kalau senggang pasti main ke sini kok.”
Mama tersenyum mendengar jawabanku. Sebuah senyum yang diikuti dengan ucapan yang membuatku tercengang. Kata mama, aku sekarang lebih terbuka, sedikit-sedikit mau menceritakan apa yang kualami.
Rasanya aku ingin menyelam ke dalam diriku. Apa benar aku sudah bisa terbuka ke mama? Perlahan kuingat, mulai mama di rumah sakit sampai hari ini, memang aku berusaha mengajaknya bicara sekadar mengalihkan pikirannya dari Anggit. Hal remeh pun aku ceritakan. Sampai aku berani mengungkapkan kecemburuanku pada sikap Radite. Hari-hari belakangan ini memang ada warna beda dalam hidupku, termasuk saat ini.
Pancinganku ternyata mulai menarik kenyamanan mama untuk mulai bercerita. Katanya siang tadi budeku datang. Mendengar itu posisi dudukku langsung menegak. Bude yang selama ini hilang tanpa kabar mendadak muncul. Seperti basa-basi biasa antar keluarga yang lama tak bersua, bude menanyakan kabar keluargaku, mengorek-ngorek info yang dia butuhkan dan terakhir mengungkapkan niatnya pinjam uang.
Entah dari mana bude tahu soal aku, tapi mama bilang bude tahu hubunganku dengan Radite. Bahkan bude menyindir mama kenapa tidak meminta biaya pengobatan papa pada calon mantunya yang sudah mapan. Tanpa sadar aku meninju keras bantal kursi di pangkuanku dan mengumpat.
“Umur aja yang tua. Tapi pikirannya nggak bisa pecah. Mentolo tak gerinda kepala sama mulutnya bude. Gara-gara dia juga kan, Ma, papa kehilangan pekerjaan?”
Mama menegur ocehanku. Mama bilang aku tak tahu apa-apa soal masalah itu. Emosiku kembali memanas. Aku tak tahu karena tak ada yang cerita. Coba dulu mama dan papa terbuka padaku. Saat itu aku sudah SMA, bukan seorang bayi. Aku sudah bisa diajak diskusi.
Ilmu pengendalian emosiku menghadapi keluarga memang masih tahap pemula. Kubayangkan Radite di sisiku. Dia pasti berbisik agar aku mendengar penjelasan mama dulu. Kukecilkan setelan gas emosiku dan menyilakan mama meneruskan cerita.
Kudengarkan cerita dengan separuh lubang telinga tertutup rasa muak. Bagaimana tidak muak kalau mama menyampaikan hidup bude yang katanya sekarang tidak bisa lagi membayar sopir pribadi, cuma tinggal di apartemen sewaan karena rumahnya disita bank dan nasib suaminya yang tidur di hotel prodeo. Harusnya bude juga ikut meringkuk di sana sebagai pasangan setia. Bukan berkeliaran cari belas kasihan.