Kesepakatan dibuat
Dua hati berjabat
Tali masalah saling ikat
Bukankah ujian ego itu berat?
Kuputuskan kembali ke rumah sakit. Harusnya aku percaya pada keyakinanku yang sudah mengakar kalau Anggit tak perlu dicari. Apa susahnya sih Wirya memberitahu alamat penjara Anggit? Minimal nama kotanya. Selebihnya aku bisa kok cari sendiri.
Aku tak mau mempertaruhkan hubunganku dengan Radite hanya demi menemui Anggit. Cukup sudah kepergiannya dulu membuatku terpaksa dekat dengan Wirya. Aku masih punya satu pilihan mentok, mencari bude untuk menanyakan posisi pasti Anggit jika memang mama dan papa menginginkan itu. Tapi ... risikonya jelas ada dan kuyakin besar juga.
Sepanjang lorong rumah sakit, tubuhku berjalan seperti tanpa jiwa. Terbang sudah jiwaku mengintip apa yang akan terjadi pada papa dan mama setelah masalah ini. Sampai sebuah tepukan mengembalikanku pada kesadaran. Begitu menoleh, aku berharap bisa memutar waktu dan mempercepat langkah. Kenapa ada Q di sini? Entah kenapa aku langsung berpikir Radite sudah bertemu dengannya.
“Ada waktu nggak? Boleh ngobrol bentar?” pinta Q.
Aku mengangguk dan mengikuti ke mana Q membawaku. Di bangku taman rumah sakit yang berhadapan dengan paviliun rawat inap anak, kami duduk bersisian. Pikiranku terus berkata ada masalah apa lagi setelah ini?
“Jadi Radite beneran serius sama kamu?” tanya Q sambil mengelus perutnya yang makin membesar.
“Serius dalam artian apa?”
“Pahamlah arahku ke mana.”
Haruskah aku terus terang kami sekadar mencoba berjalan bersama dan aku belum kepikiran menjalin ikatan yang lebih serius? Ataukah aku harus meninggikan diri seperti caraku menjawab pertanyaan Wirya tadi?
Melihat aku terdiam, Q menceritakan hubungannya selama empat tahun dengan Radite. Pada awalnya Q menerima banyak perhatian, bahkan rasa peduli Radite sampai juga pada keluarga Q. Namun Radite perlahan mengikis perhatiannya dengan padatnya pekerjaan. Sampai Q memutuskan untuk lebih posesif pada Radite. Semua kegiatan Radite, aset dan pendapatannya, Q harus tahu. Q juga meminta hubungan yang lebih serius. Q pikir, ketika dia dan Radite sudah bertunangan, hubungan mereka akan kembali seperti di awal mereka kenal. Semakin Q berusaha mengetahui kehidupan Radite, lelaki itu makin menjauh.
“Radite emang nyukupin apa yang aku minta. Kecuali perhatian. Okelah, semua orang butuh duit dan kalau dikasih siapa yang nolak, iya kan? Tapi cewek mana sih yang nggak suka diperhatiin? Aku sampai curiga dia punya selingkuhan. Aku tanya omku di kantor ternyata emang Radite aja yang doyan kerja. Nggak doyan cewek. Cukuplah rasanya aku ngemis-ngemis ke dia minta perhatian. Padahal di luar sana ada banyak yang mau sama aku. Eh, giliran aku jalan sama orang lain, dia minta putus. Aku cari perhatian ke orang lain harusnya dia sadar alasannya kenapa.
“Ternyata setelah semuanya berakhir, baru aku tahu hubungan kami selama ini cuma berdasarkan rasa kasihan. Radite kasihan lihat aku yang jadi tulang punggung keluargaku yang semuanya nggak peduli sama aku. Terus waktu aku denger dari omku soal kedekatan Radite sama kamu, kayaknya kamu bakal jadi korban PHP Radite selanjutnya deh. Hati-hati aja, jangankan kita yang statusnya orang lain, sama adik kandungnya aja dia cuek. Setauku ya, Radite sering ngirimin duit ke adiknya tapi nggak pernah mau ketemu. Ke ibunya juga gitu.”
Nyawaku yang baru sebentar singgah, kembali lepas dari ragaku. Melayang mencari jalan yang lapang. Di sini terlalu sesak. Kenapa semuanya tumpah dalam 24 jam hidupku? Pernyataan mama soal bude, kenyataan soal kesehatan papa, masalah Anggit yang memaksaku kembali menjilat ludah menemui Wirya, sekarang soal Radite. Boleh tidak beban-beban ini mengantre dulu? Jangan memaksa masuk bersamaan.
Aku cuma bisa bilang pada Q kalau aku mencoba menjalani hubungan dua arah dengan Radite. Sebelum Q beranjak pergi, kusampaikan terima kasih karena dia sudah mengingatkanku soal Radite.
“Kadang, aku masih berharap anakku punya ayah seperti Radite versi pertama kami bertemu.”