RelationSHIP

Gusty Ayu Puspagathy
Chapter #33

RUANG HAMPA

Asap masalah meliuk 

Terbang jauh 

Memudar sebab jarak 

Bara perkara menganga 

Tak tersentuh 

Bertahan dalam ego beku 

 

Selama empat hari ini, papa belum menunjukkan tanda sadar sepenuhnya. Hanya sesekali jemarinya atau ujung kakinya bergerak sangat pelan saat kuajak bicara. Mama dan Mutia masih saja meratap, tidak tahu harus melakukan apa. Kalau sudah begini, pundak dan punggungku yang harus ditambal lapisan baja agar kuat menyangga. 

Dokter yang menangani papa sempat kutanya soal pengobatan apa yang paling manjur untuk pasien macam papa. Dokter itu mengatakan jika semahal apa pun obat atau terapi yang diberikan, tidak bisa berpengaruh besar jika papa masih menyimpan beban yang terus-menerus menggerogoti kesadarannya. Otak papa lebih banyak digunakan untuk memikirkan masalah itu dibandingkan memerintah tubuh untuk sembuh. Satu hal penting yang kugarisbawahi dari obrolan empat mata dengan dokter, hati yang gembira dan pikiran yang lepas adalah obat paling mujarab. 

Aku akan mencabut akar masalah itu, Pa. Tunggu sebentar lagi. 

Mustahil mengesampingkan masalah papa meskipun di kantor. Berkali-kali aku kehilangan fokus dengan pekerjaanku. Berkali-kali pula aku memohon pada Radite untuk segera memberiku kontak kenalannya yang katanya bisa membantuku cari alamat Anggit. Sayangnya Radite menyuruhku tetap fokus dulu pada pekerjaanku selama di kantor. Masalah Anggit biar Radite yang cari jalannya. 

 Untungnya Genta dan Pak Mul bersedia membantu beban pekerjaanku. Entah itu inisiatif mereka karena aku bercerita soal kondisi papaku atau mereka dapat intimidasi tipis-tipis dari pak kabag untuk membantuku yang sedang kalut. Yang pasti mereka memberiku ruang saat aku mulai melamun, berandai-andai bisa memutar kembali waktu dan semua kejadian ini tak pernah ada. 

Begitu jam istirahat siang, Radite memaksaku makan siang bersamanya di luar kantor. Sejak membawa papa ke rumah sakit, makan dan tidur kucoret dari daftar rutinitas hidupku. Hanya karena Radite-lah aktivitas itu kembali kutulis ulang. 

Meskipun sudah kukatakan pesan makan online saja, Radite tak menggubris. Dia justru menggandengku erat ke luar ruangan, tak peduli banyak pasang mata yang memperhatikan kami dan menggoda dengan siulan, juga pertanyaan kapan disahkan? Sedangkan aku tak lagi punya energi untuk melepas Radite dan menahan rasa malu. 

Begitu sampai parkiran, Radite baru membebaskan lenganku. “Sorry ya Sahyang. Mungkin aku agak maksa tapi mumpung dia mau diajak ketemu sekarang.” 

“Dia siapa?” 

“Yang kumintain tolong cari info soal masmu.” 

Aku paham. Radite punya banyak relasi yang bisa diandalkan. Setahuku Radite pernah bercerita soal teman intel yang menolongnya mencari keberadaan adiknya. 

Mendung yang beberapa hari melingkupiku, pelan-pelan bergerak membukakan jalan bagi matahari yang bersinar. 

“Makasih ya ... Matahari,” ucapanku lolos begitu saja. 

“Matahari?” Radite mengernyitkan dahi. 

“Siapa yang sepuluh bulan lalu kenalan pakai nama itu?” 

Tawa Radite tak terbendung. Dia spontan saja menyebut nama itu hanya untuk mencuri perhatianku. Ya, misinya berhasil. Radite memang bandit yang bakat mencuri hati. 

“Ternyata udah hampir setahun. Kayaknya baru bulan kemarin lihat kamu pindahan ke kos depan.” 

Lihat selengkapnya