RelationSHIP

Gusty Ayu Puspagathy
Chapter #34

HARGA TEMAN

Sewa kuping sepasang 

Tukar dengan perhatian 

Jasa dengarkan hati bimbang 

Bayar dengan pengakuan 

Tenang, 

Harga teman 

 

Aku terapung-apung di lautan masalah. Radite menyerahkan penuh kendali kemudi padaku. Dia hanya memberiku peta jalan menuju tujuan, selebihnya aku sendiri yang harus berlayar. 

Kenapa rute itu berujung pada Wirya lagi? Radite punya banyak relasi kan? Apa jangan- jangan dia sengaja menjebakku dengan hubungan rumit ini karena penasaran dengan masa laluku? Sekarang aku sudah terperangkap, terus apa? Radite meninggalkanku dalam jeda. 

Pikiranku mulai bersuara gaduh. Mereka mengulang ucapan Q soal Radite yang makin berjarak setiap Q ingin tahu soal sisi kehidupan Radite yang tak terlihat. Apa sekarang dia mulai menerapkan itu padaku? Kenapa dia justru pergi saat aku butuh teman bicara untuk berbagi beban? 

Pak Mul dengan tepukan lembutnya menyadarkanku kembali ke dunia nyata, tempat segala beban pekerjaan dan beban kehidupan menunggu untuk diselesaikan. 

“Radite mungkin cuma semingguan ikut mengawasi kru yang layar buat serah terima kapal di Bitung. Sudah, nggak usah galau. Kalau ada sinyal pasti kamu dihubungi. Doakan saja cuaca bagus jadi aman pelayarannya.” 

“Bang Dit ikut layar? Bukannya kesepakatan di rapat minggu lalu perwakilan dari QC yang berangkat, Pak Mul?” 

“Kemarin waktu kamu absen, ada perubahan mendadak Sahya. Anak QC yang dijadwalkan berangkat, jatuh waktu ngecek pekerjaan lapangan. Sendi kakinya geser. Rencananya diganti Nikolas, tapi dia kena masalah juga. Radite belum cerita ke kamu?” 

Aku menggeleng. Sejak pertemuanku dengan Wirya, Radite seperti memasang sekat komunikasi. Bahkan pesanku sampai hari ini belum berubah jadi centang dua. 

Awalnya kubiarkan saja karena perhatianku tersedot pada kondisi mama yang tak bisa ditinggal hingga aku terpaksa absen dua hari. Sedikit pun makanan tak ada yang bisa masuk ke perut mama lebih dari dua menit. Semuanya kembali. Bahkan air minum pun begitu. Kondisi mama lemah dalam pembaringan. Sedangkan papa masih bertahan dengan tidur panjangnya. 

“Pasangan lagi anget-anget telek ayam ya gitu, Pak Mul. Lost contact dikit pikirannya udah ke mana-mana. Cemburunya juga nggak masuk akal. Bisa jadi itu di otaknya Sahya lagi bayangin Bandit kesengsem sama iming-iming harta karun putri dugong terus ikut ke Fishman Island, lupa jalan pulang. Iyo kan?” 

Sontak tanganku memukul lengan Genta yang sudah mencerocos tanpa akal. 

“Radite itu aman kok, Sahya. Asal nggak ada hal yang buat dia cemburu. Agak ... bahaya dia,” ungkap Pak Mul. 

“Bener itu. Bandit kalo wes cemburu, wiiih ... keponya nggak ketulungan. Info kecil di lubang hidungnya semut aja dikorek. Terus ngamuknya itu byuuh ... kayak patung suro sama boyo. Diam, tapi posenya kepengen nyaplok. Tapi itu waktu sama yang dulu. Sekarang aman kan, Sahya?” 

Kepalaku seketika kaku, menolak mengangguk. Sentilan Genta jadi sengatan yang menumbuhkan ngilu di ulu hati. Bodoh sekali rasanya aku berpura-pura menutupi hubunganku dengan Wirya di masa lalu. Harusnya aku sadar Radite bisa dengan mudah mengorek segala hal tentangku atau Wirya. Mana mungkin seorang kakak tak tahu sedikit pun tentang adiknya? Dia yang menutupinya selama ini dariku. Mungkin, kali ini dia sudah tak tahan menyimpannya. 

Aku butuh telinga yang mau mendengar masalahku. Seseorang yang tak mengenal Radite. Tapi siapa? 

Perlahan aku menggulir daftar kontak di ponselku. Dari banyaknya deretan nama itu, ternyata sedikit sekali yang benar-benar kenal dekat denganku. Nama-nama baru yang kudapatkan selama bekerja sudah mengisi sepertiga dari jumlah keseluruhan di daftar kontak. Semua gara-gara Radite yang menyuruhku menyimpan kontak rekan-rekan sekantor, minimal tiga orang tiap divisi. Belum lagi para subkontraktor, supplier dan rekanan konsultan Radite di CDMA. Semuanya tidak mungkin bisa menyediakan telinga untuk mendengar sambatanku. 

Jariku mendadak berhenti di satu nama. Kai. Sudah lama sekali aku tak menyapanya walau hanya lewat pesan singkat. Bagaimana kabar Kai sekarang? Masih marahkah dia padaku?  

Lihat selengkapnya