RelationSHIP

Gusty Ayu Puspagathy
Chapter #36

PENJARA RINDU

Di balik tembok rindu 

Ada ego yang tumbuh 

Kukuh 

Hancurkan! 

Dengan tembakan pelukan 

Dan meriam pengakuan  

 

Rekaman suara bude kuputar berulang-ulang. Aku tak bisa mengirimkannya pada Elok. Ini masalah keluargaku. Membiarkan orang lain tahu sama saja mengumbar borok yang sudah menular. 

Rencanaku sudah bulat, tidak akan melibatkan Elok. Aku bisa cari Anggit sendirian. Tiket kereta api sudah kupesan, keberangkatan tengah malam ini. Pertimbanganku, besok Senin adalah hari paling aman untuk mendatangi lapas yang menampung Anggit. Mutia bisa kusuruh menjaga mama dan papa. Urusan izin lagi ke kantor ... ya sudahlah sepertinya aku harus terima nasib dapat surat peringatan. 

Aku masih punya waktu tiga jam sebelum keberangkatan. Kesempatan ini kupakai untuk melatih respons komunikasi papa. Kuceritakan soal pekerjaanku, soal Mutia yang bisa diandalkan saat aku tak ada dan soal janjiku mencari Anggit tanpa memberitahu kalau Anggit memang benar ada di penjara. Papa memandangiku. Bibirnya bergerak tapi suara yang keluar hanya dehaman. Aku yakin papa sedang merangkai kalimat panjang yang sulit terucap untuk saat ini. 

Tiga hari ini papa sudah bisa membuka mata. Meskipun gerak tubuh dan bicaranya sangat susah, paling tidak aku lega masih ada harapan yang terpancar dari tatapan papa. Harapan itu perlahan mengusir rasa takut kehilangan yang terus menyergapku tanpa aba-aba belakangan ini. 

Dulu, rasanya aku ingin menjauh dari mereka, tapi kenapa sekarang ingin sekali melompat ke masa lalu dan menebus waktu yang hilang? Bayangan keluarga yang tertawa bersama di ruang tamu atau bertukar cerita di ruang makan, itu yang selama ini kuinginkan ada di rumah. Kenapa hal sederhana macam itu rasanya sulit terwujud? 

Dua jam lagi, masih ada waktu untuk berkemas dulu. Aku cuma butuh sedikit kebohongan dengan mengatakan kurang enak badan, jadi malam ini aku bisa beralasan istirahat di rumah. Sayangnya rencanaku terancam gagal total saat seseorang menyembul dari balik pintu ruang inap. 

“Bang Dit?” Aku tak bisa menyembunyikan wajah kagetku. 

“Ekspresimu loh, kayak lihat setan gundul gitu?” Radite mendekatiku seolah sekat yang terbangun tinggi selama sepuluh hari ini hanya ilusi saja. “Gimana kondisinya papa sama mamamu? Udah tidur ya mereka?” 

Mama yang mendengar suara Radite langsung menyibak kelambu pembatas dan menyapanya. Sambutan riang mama berbanding terbalik dengan sambutanku. Aku masih mematung di dekat pintu, berpikir untuk kabur dengan konsekuensi orang tuaku mempertanyakan alasanku, lalu merasa terbebani jika tahu yang sebenarnya atau bertahan dengan risiko Radite mengetahui rencanaku mencari Anggit plus aib keluargaku. 

Radite sepertinya menikmati kebersamaan dengan orang tuaku dan Mutia. Dia tak memperhatikanku. Ini saat yang tepat buat kabur. Namun tas ransel Radite yang tergeletak di luar pintu tiba-tiba menahan langkahku. Dia baru datang dari Bitung langsung menyempatkan ke sini? Aku sadar sepenuhnya, bukan aku tujuan Radite. Dia merindukan kebersamaan dengan keluargaku.

“Mau pulang?” Radite mendadak muncul di belakangku. “Aku dapat izin mamamu buat nginep semalam di rumahmu.” 

“Eh? Berduaan? Nggak ah. Bahaya.” Kusilangkan tangan di depan dada. 

“Aku bayar sewa semalam wes.” 

“Pokoknya nggak, Bang. Aku takut digerebek warga apalagi Pak RT tahu kalau di rumah nggak ada siapa-siapa.” 

“Terus kalau habis digerebek biasanya diapain?” 

“Ya mana aku tahu! Nggak pernah gitu. Cuma dulu katanya ada yang kegerebek, ujung-ujungnya disuruh kawin.” 

“Ya wes, nggak masalah.” 

“Nggak masalah gimana maksudmu, Bang?” 

Kadar kekesalanku naik beberapa tingkat saat melihat cengiran Radite dan alisnya yang naik turun. 

“Sahyang, aku kangen.”  

Radite mendekat nyaris memelukku tapi aku lebih dulu menjaga jarak dan membelakanginya. 

“Mana ada orang kangen tapi nggak ada kabar, nggak pernah telepon, sengaja nggak bales chat, sengaja nambah pikiran anak orang.” 

Tawa lirih Radite menggelitik telingaku, menambah level kekesalanku padanya. 

Lihat selengkapnya