Utang rasa, balas jasa
Pemaksaan?
Dalam deret tulisan
Ada jawaban
Siapa yang berkorban?
Ma, Pa, ini Anggit. Sehat-sehat yo. Kalau akhir-akhir ini nggak bisa ngirim kabar, maaf. Tempat kerjaku sekarang nggak ada sinyal. Maklum daerah perbatasan. Aku ada di mes jadi nggak bisa seenaknya keluar cari sinyal. Aku ketemu kenalannya Sahya. Adikku hebat saiki, relasinya banyak sampek bisa ketemu aku masiyo nggak langsung. Ma, pa, aku pasti pulang tahun ini. Pokoknya papa kudu sehat biar bisa jadi wali nikahnya Sahya. Adikku emoh nek aku jadi walinya.
Rekaman itu sudah kuputar berkali-kali di samping telinga papa. Kuperhatikan setiap kali mendengarnya, papa berusaha keras menarik sudut-sudut bibirnya untuk membentuk senyum, tapi gagal. Mama yang duduk lemas di sebelahku terus mengusap matanya.
Malam ini adalah malam terakhir setelah lebih dari dua minggu orang tuaku tidur di rumah sakit. Sudah kuputuskan papa rawat jalan saja. Toh papa sudah sadar dan bisa menelan makanan yang dibuat lembek. Giliran aku yang belum bisa menelan kenyataan soal rincian biaya yang membengkakkan kepalaku.
“Nggak kamu pikir lagi Sahyang soal keputusanmu? Papamu butuh perawatan intens. Aku siap nanggung biayanya sampai kondisi papamu pulih.” Radite berusaha mendinginkan kepalaku dengan rangkulannya yang menenangkan.
Berhari-hari sudah aku memikirkan dari semua sisi. Tidak ada sisi yang menguntungkan. Ini bukan hanya perkara biaya. Melihat kondisi papa yang hanya bisa membuka mata dan belum bisa melakukan banyak pergerakan, memang butuh perawatan lebih lama. Tapi siapa yang terus-terusan menjaga papa? Mama kondisinya mudah drop akhir-akhir ini. Mana bisa mama beristirahat dengan nyaman di rumah sakit? Aku lebih memilih membayar perawat yang bisa mengontrol kondisi papa di rumah sampai pulih atau minimal sampai pada kondisi sebelum kedatangan bude.
“Aku udah yakin sama keputusanku, Bang. Terima kasih tawarannya. Kamu emang selalu ada pas aku butuh. Kayak pegadaian kan?” Kupamerkan cengiran yang membuat Radite nyaris mencium pipiku. “Tapi justru sikapmu itu yang jadi sumber masalahku.”
Radite sontak mengambil jarak, memosisikan diri di depanku. Dia menyuruhku menjelaskan semuanya.
“Jangan buat aku ketergantungan sama kamu, Bang. Kasih aku ruang buat menyelesaikan masalahku sendiri. Biarkan aku tumbuh. Kalau angin datang mematahkan ranting-rantingku, aku bisa menumbuhkannya lagi dengan cabang yang lebih rimbun. Kalau suatu saat ada kondisi yang membuat kita nggak bisa bersama, aku—”
“Jadi solusimu apa soal biaya orang tuamu?” Radite langsung memotong ucapanku dengan tampang seriusnya. Dia berubah jadi Radite yang siap melahap lawan debatnya.
Otakku benar-benar buntu. Besok pagi aku harus sudah mendapatkan uang untuk pembayaran. Pinjol lagi? No! Aku masih punya tanggungan yang belum selesai untuk pembayaran biaya rumah sakit mama waktu itu. Tabungan? Mana ada? Uang di rekeningku hanya numpang lewat.
Tanganku memijat kepala yang rasanya terus berputar. Radite menatapku, menunggu jawaban.
“Oke, aku terima bantuanmu. Tapi ini pinjamanku ke Pak Radite. Bukan ke kamu, Bang,” tegasku. “Aku anggap kalian sosok yang beda atas nama profesionalitas.”
Radite langsung bersedekap dan menyunggingkan senyum culasnya. Aku tahu dia sedang merencanakan sesuatu.
“Setuju. Aku mau pembayarannya bukan dalam bentuk uang, tapi jasa. Pertama, aku pengen kamu cari personil tambahan untuk divisi kita maksimal akhir bulan ini sudah ada. Kamu paham karakter tim DE kan? Mereka nggak bakal mau cari orang baru karena terlanjur nyaman dengan circle yang sekarang. Tugas keduamu, membuat tim DE cocok dengan pilihanmu plus yakinkan bagian rekrutmen kalau rekomendasimu memang yang dibutuhkan perusahaan.
“Ketiga, aku dapat proyek baru jangka panjang buat CDMA jadi kemungkinan bakal sering absen dan pasti ada konsekuensinya dari Tanjung Selaka. Mulai besok, tim kita udah komplit lagi. Kamu belajar jadi leader-nya DE. Ada atau tanpa aku, kamu belajar jadi pengambil keputusan tertinggi dan siapkan mental berdebat dengan para pimpinan saat rapat bulanan. Deal?”
Aku cuma bisa menepuk dahiku berulang kali. Radite memang lihai membuat kesepakatan yang bikin kepalaku makin nyut-nyutan. Siapa coba yang bisa kurekrut? Aku mana punya relasi? Bagaimana juga meyakinkan bagian rekrutmen? Aku yang ikut rapat bulanan dengan semua pimpinan? Makan gaji buta dong bapak Kabag satu ini.
“Terlalu berat ya, Sahyang?”
Aku memang belum memberi jawaban. Kalau aku bilang permintaan Radite membebani, mungkin dia juga merasa terbebani dengan apa yang dikeluarkan untukku.
Tiga kali tarikan napas panjang mulai bisa melancarkan ingatanku pada perubahanku setahun ini. Tak ada salahnya juga mencoba hal baru. Bukannya selama ini aku mulai bisa melangkah meninggalkan ketakutanku karena pemaksaan kehendaknya Radite?
“Kalau memang kesepakatan yang kubuat terlalu berat, aku bisa lakukan lebih selain bayar biaya rumah sakit.” Radite kembali menyalakan mode cengengesannya.
“Apa?” tanyaku curiga.