Takdir bicara
Lewat pertemuan
Lewat pergulatan
Lewat perubahan
Radite bilang, sekali lagi aku izin, surat peringatan pertama akan duduk manis di meja kerjaku. Biar saja kertas itu menggantikanku bekerja. Aku punya prioritas lain, mengunjungi Anggit.
Seperti pertama kali aku mengunjunginya, keberangkatan tengah malam jadi pilihanku. Tanpa perlu menutupinya dari mama dan papa, perjalananku jauh terasa lebih ringan. Mereka legawa dengan kejujuranku yang mengatakan bahwa Anggit memang di penjara.
Sengaja aku menghentikan Radite yang berniat menemaniku. Aku butuh ruang sendiri untuk memperbaiki apa yang sudah kulakukan. Mungkin Anggit tetap mengabaikanku atau justru marah dengan keterbukaanku yang sudah menceritakan kondisinya pada mama dan papa. Tak peduli. Aku hanya ingin jadi seorang adik yang merindukan kakaknya setelah melakoni perjalanan panjang.
Bukan hidup jika tak menemui kejutan. Aku melihat Wirya turun dari gerbong kereta yang sama denganku. Bedanya, aku pilih pintu bagian depan, dia bagian belakang. Untuk beberapa detik kami bertatapan dengan canggung. Ini pertemuan pertama kami setelah insiden di warung Mak Atika.
Wirya berjalan ke arah pintu keluar stasiun tanpa mengucap sehuruf pun padaku. Aku tahu tujuannya sama denganku. Perdebatan ego pun mulai semarak dalam otak. Mendekati Wirya bisa jadi merobek lukanya lagi, tapi dia adik Radite, sahabat Anggit dan orang yang pernah membantu hidupku bertahun-tahun. Mana bisa aku bersikap dingin padanya?
“Mas Wir, tunggu.” Aku mengejarnya. Wirya berhenti tanpa menoleh padaku. “Mau jenguk Mas Anggit kan?”
“Ya mau apa lagi emange?” Begitu aku menjajarinya, Wirya celingukan, mengawasi arah di belakangku. “Mas Radit mana?”
“Nggak ikut. Aku emang mau jalan sendiri.”
Napas Wirya terdengar begitu berat seolah sedang mendorong gerbong kereta. “Job-ku nambah lagi. Jaga adike sahabat plus calon istrinya mas.”
Perasaan canggung ini kembali datang. Rasa bersalah pada Wirya terus menjepitku. Aku sudah mengkhianatinya. Tapi ... perasaan tak bisa dipaksakan. Bertahun-tahun aku mencoba menumbuhkan rasa seperti yang tumbuh dalam hati Wirya padaku. Selalu gagal. Mungkin aku bisa menipu Wirya dengan pura-pura membalas perasaannya tapi aku tersiksa membohongi perasaanku sendiri. Aku bisa berjalan bersamanya sebagai teman atau partner kerja, tapi tidak sebagai pasangan. Benar kata Anggit dan Radite, aku dan Wirya memang serupa magnet di kutub yang sama, mustahil tarik-menarik. Aku harus lepas dari impitan rasa bersalah ini.
“Mas Wir, aku tahu salahku numpuk ke kamu. Aku ... cuma bisa minta maaf. Aku tahu susah menerima permintaan maaf dari orang yang sudah mengkhianati kepercayaanmu.”
“Ketempelan jin terowongan Mrawan kamu? Aneh denger omonganmu model begini.”
Wirya masih menyebalkan seperti biasanya, tapi begitulah dia. Aku hanya perlu mengubah setelan untuk menanggapinya.
“Aku wes diruwat, Mas. Makanya setelan pabrikku udah beda.”
Wirya melirikku dengan senyum yang masih terlihat menjengkelkan. “Berarti bener kata orang-orang yang jualan omongan ya, di tangan pawang yang tepat, harimau bisa berubah jadi kucing oren loreng yang jinak.”
“Berarti Mas Wirya kudu belajar jadi pawang ke masnya sendiri. Sekalian belajar akur.”