Give me a word, just a little.
Kalau ada yang bertanya apa yang dirasakan Lily saat hidup menjadi Puca, jawabannya adalah bahagia, sangat bahagia. Hidup dimana tidak ada orang yang sibuk menilai kita, punya teman yang baik nan tampan, disayang guru, dan kabar baiknya dia masih cantik, itu sudah cukup.
Tapi ketenangan memang awal dari badai. Awalnya saja manis, ternyata hidupnya si Puca ini sangat tidak menarik bagi Lily. Menurut Lily, kesalahan hanya pada Puca yang tidak bisa menghidupkan hidupnya yang berharga ini.
Belum juga genap tiga hari, kehidupan manis Lily berubah jadi tragis. Kelasnya dipenuhi anak-anak ambis, sepi karena semua sibuk belajar, padahal bel masuk belum bunyi. Sekali ada yang menjatuhkan pensil, tamatlah riwayatnya karena membuat kebisingan.
Lily masih kuat untuk diam, tidak tahu sepuluh menit kedepan. Mendengar bel masuk berbunyi, Lily begitu bahagia, itu berarti bel pulang semakin cepat berbunyi juga.
Seorang guru masuk membawa tumpukan kertas tugas. Setelah membaginya, beliau kembali keluar. Tugas dikerjakan dan dikumpulkan saat pulang sekolah, begitu amanatnya.
"Yes! Yok siapa mau bareng ke kantin?" Tidak ada yang menimpali ajakan Lily, menoleh pun tidak, "ngomong sama tembok nih gue"
Akhirnya dia pergi ke kantin sendiri. Lily teringat terakhir kali ketika dia makan di kantin, dia tidak bisa menikmatinya karena mulut julid orang-orang di sekolahnya. Jadi dia akan mengganti itu dengan makan-makan sampai puas di sini.
"Puca?" Bara menghampiri meja Lily setelah melihat temannya ini berlari tergesa.
"Bara? Ngapain ke sini?"
"Kirain ada apa, ternyata kamu lagi makan."
Terdengar seperti basa-basi, tapi ekspresi Bara seperti melihat Lily sedang makan beling, "Kenapa lo Bar?"
"Ngga, kaget aja kamu kan jarang ke kantin, biasanya bawa bekal sendiri."
"Emang gue sukanya ke mana?"
"Ke perpustakaan."
'What the hell, ngapain Puca main ke Perpustakaan, ngga puyeng apa' batin Lily.
"Ca, tentang lomba, ibuku bilang bisa bantu, gimana?" tanya Bara hati-hati.
"Oh lombanya bayar? Lo mau bayarin punya gue? Tapi Bar gue masih punya banyak u--" Sadar hartanya tidak di bawa, Lily mengurungkan niat untuk menolak.
"Ah iya, kalo bisa bayarin yah? Makasih Bara!" Lily melanjutkan makannya.
Sedangkan Bara disuguhkan pemandangan yang membuatnya berpikir keras. Bara merasa ada yang salah dengan Puca. Gaya bicaranya, cara dia makan, dan tadi Puca baru saja mengesampingkan harga dirinya untuk menerima bantuan darinya, jelas Puca akan menolak itu.
Mungkin Bara belum jadi sahabat yang baik, tapi dia lebih mengenal Puca lebih dari pada Puca sendiri.
Bara izin ke toilet sebentar, tapi nyatanya sampai bel pulang mereka tidak dipertemukan. Pulang sekolah pun Lily naik bus sendiri.
Keesokan hari Bara masih mengasingkan diri, bertemu pun hanya bertukar senyum tak berarti. Membuat Lily mencari kesalahan yang dia lakukan, mungkin jadi alasan Bara marah.