Reliquia

Agung Pratama
Chapter #1

BAB 1 - Si Pirang

Hutan rimba, ditumbuhi sejuta pesona pohon rindang nan hijau serta bunga-bunga rupawan yang menghiasi semak belukar. Mendung hampir menguasai separuh langit, sinar sang surya pun tiada arti, suasana kian meredup seiring waktu berdetik. 

Tiga orang penjelajah, satu laki-laki serta dua perempuan, sedang beristirahat di pinggir sungai sembari menikmati hidangan daging panggang di dalam tenda terbuka.

Usai mengisi perut, bukannya mengucap syukur, dua orang—pemuda dan pemudi malah berdebat soal cita rasa makanan.

"Kurang ajar!" Bentak seorang gadis belia berambut hitam pendek. Mata hitamnya menajam penuh emosi, "garam halus lebih cocok ketimbang memakai lada." Dia mengenakan seragam hijau tua berkain tebal, dengan lencana emas berlambang kompas yang tercantum di bagian lengan kiri.

"Justru lada itu saat ditaburi ke daging maka akan menyerap sampai ke dalam," jelas sang bujangan berambut hitam penuh gaya, berkulit sawo matang, serta berkumis tipis. Badan kekarnya tegap—seolah menantang lawan debat, "jadi rasanya tidak setengah-setengah!" Dia mengenakan seragam dan atribut serupa seperti pemudi di hadapannya.

Mereka berdua selalu bertengkar karena masalah sepele. Batin seorang gadis berkacamata bening dan bermata biru. Rambut pirangnya elegan nan panjang, berjambul, serta terawat. Kulitnya seputih awan. Pakaiannya pun lengkap dengan atribut. Ia duduk manis, meratapi aliran sungai seraya menopang dagu, terkadang melempar batu ke air dan melirik kedua rekannya dengan tatapan sayu.

"Dih, kalau ladanya berlebihan dagingnya mana gurih, mikir dong!" Kesal gadis berambut hitam itu, sembari mengetuk bagian pelipis dengan jari telunjuk, menyuruh si pemuda untuk berpikir.

"Sok tahu, kalau tidak percaya tanya saja Ristia, dia kan jago masak, tidak seperti dirimu, dasar mulut trompet!" Sang pemuda menaruh lirikan panas kepada lawan debat—emosinya meluap hingga ubun-ubun kepala.

"Apa katamu?!" terkejut dengan pernyataan si lelaki, perempuan bermata hitam itu mengepal kedua tinjunya dicampur raut wajah kecewa.

Merasa situasi kian memanas, sekaligus namanya juga disebut, gadis bermuka lugu bernama Ristia angkat suara, "Masakan Devi tiada yang salah, kok. Memang sih kurang lada, tapi rasanya masih nikmat, terus tingkat kematangannya merata."

"Tuh, dengar!" tutur si gadis berhidung mancung, berbadan ramping nan tinggi, bernama Devi.

"T-Tapi. Ristia—kan kurang lada. Jadi, cita rasanya tidak maksimal," ujar si bujangan, merendah ketika melontarkan pembicaraan kepada si pirang.

"Kamu harus belajar menghargai usaha orang lain, meskipun itu tidak sesuai dengan hatimu, Riko," kata Ristia, sembari tersenyum manis pada rekannya yang keras kepala itu.

"…." Pemuda bernama Riko membisu seketika, mukanya memerah sipu karena begitu menghayati makna dari perkataan seorang gadis lugu yang sedang duduk.

Lihat selengkapnya