Ristia berjalan santai di dekat gerombolan hewan kuno bertubuh besar, berkaki empat, bertaring tajam, dan berekor lima. Ia tidak peduli meski puluhan pasang mata mengamatinya dari berbagai arah.
Beberapa macam spesies binatang kuno akan padam luluh bila suhu udara menjadi dingin, organ sekaligus jaringannya akan cedera jika keluar dari zona hangat. Itulah mengapa si pirang tampak biasa saja melewati fauna-fauna ganas tersebut.
Usai mengamati kompas, Ristia memonitor perangkat pendeteksi ketinggian, yang disebut feetOmeter. Alat berbentuk oval tersebut amat mudah dioperasikan, gadis itu cukup memutar tuningnya berulang kali, hingga terdengar derit, lalu terpapar nominal angka 2788ft di layar, yang berarti dirinya berada di ketinggian 850 meter dari permukaan laut.
Gadis berkacamata itu melihat arloji, pukul 9.05 pagi, lalu ia memandangi langit yang mendung. "Tidak heran suhunya dingin, di ketinggian 700 meter ke atas, anginnya relatif kencang, ditambah pula awan mendung yang menghalangi sinar hangat sang bintang induk. Selain itu suhu di menara Reliquia sering berubah-ubah tanpa alasan pasti, terkadang panas, kadang dingin.”
Seragam yang dikenakan Ristia mampu menangkis suhu dingin hingga -10° sehingga tubuhnya imun terhadap hipotermia.
Kondisi seperti ini sangat menguntungkan, aku tidak perlu kejar-kejaran dengan para predator. Batin si pirang.
Perjalanan tidak semulus yang diperkirakan. Ristia menempuh jalanan berlumpur padat, berair, serta lembap, sepatunya sampai terbenam ke dalam kubangan dan tentunya sulit melangkahkan kaki.
Si pirang juga berani menantang maut, ia melintasi jembatan lapuk yang di bawahnya jurang gelap berkabut serta nekat mengusir kelabang jumbo yang menghalangi jalurnya, dan berhasil selamat walau mengorbankan bekal makanan sebagai pengalih perhatian.
————
Seusai bergumul dengan rintangan yang menumpahkan banyak keringat, Ristia disuguhkan pemandangan yang memijat mata. Lengan serta kakinya seolah melunak begitu melihat kerangka naga yang berkilauan, kerangka sebesar bukit tersebut dihinggapi beberapa burung kecil, para unggas itu mematuk-matuk permukaan tulang tanpa sebab, kemudian terbang menembus awan pekat.
————
Deruan air terjun berirama halus merupakan panorama yang Ristia sukai, pikirannya seakan menjernih ketika menghayati suara percikan air, dan juga merasa tenang mendengar aliran sungai berirama halus.
————
Mendayung perahu di danau membuat bulu kuduknya merinding, air yang tenang membuat suasana menjadi mencekam, namun kengerian itu berubah menjadi kekaguman ketika bunga-bunga rupawan muncul dari dalam danau. Tanaman itu selalu bergerak mengikuti perahu Ristia, seolah menyambut kedatangan seorang tamu. Si pemudi menyentuh salah satu kelopak bunga, tahu-tahu wajahnya terlukis di kelopak tersebut, ia sungguh terkejut sekaligus kagum.
————