Reliquia

Agung Pratama
Chapter #3

BAB 3 - Amarah dan Rindu

Di dalam gua misterius suhunya sangat dingin, Ristia sampai geletar hebat, seragam penjelajah yang ia kenakan tidak mampu menganulir temperatur rendah yang memadati gua tersebut.

"Seragam penjelajah lencana Palladium pasti mampu menahan suhu minus di dalam gua ini," ujar si pirang, mulutnya menghembuskan semacam udara nafas karena terlalu dingin.

Meski dilanda hawa dingin yang mencatuk kulit, Ristia kukuh melanjutkan pencarian sumber aura hitam.

Si pirang menemukan stalagmit dan stalaktit yang warna dasarnya berubah-ubah: merah, biru, kuning, hijau, oranye, ungu, dan terus berulang. Tidak hanya itu, ada pula serbuk kecil berkilauan di langit-langit gua, seperti bintang di angkasa malam. Panorama tersebut membuat si pirang ternganga kagum.

----

Ketika melangsungkan penyisiran di setiap sisi gua, Ristia menjumpai kristal besar berwarna hijau yang terpancang di dinding gua. Di bagian dalam kristal tersebut terdapat bintik-bintik hitam yang bergerak-gerak. Aroma material hijau itu juga berbau anyir. Si pirang belum pernah mengenal kristal hijau itu sebelumnya, ia ingin tahu, apa manfaat material itu? Bagaimana strukturnya? Tingkat kepadatan? Dan ketahanannya terhadap lingkungan? Namun, ia tidak bisa melakukan penelitian sekarang, sebab kondisi suhu tidak mendukung.

Maka dari itu Ristia berniat mencungkil salah satu kristal untuk dijadikan sampel. Nantinya sampel tersebut akan dibawa ke pusat observasi untuk diteliti lebih lanjut. Jika penemuannya itu benar-benar berharga, maka si pirang akan menerima gelar Sang Penemu dan mendapat bayaran sepadan.

Aku harus mencetak lebih banyak gelar lagi agar cepat naik ke lencana Platinum. Batin Ristia. Ketiga medali kecil yang tercantum di kerah bagian kanan adalah bukti bahwa dirinya telah memikul tiga gelar, yaitu: Sang Pencari, berlambang mata elang. Tri Darma Jana, berlambang tiga pedang. Adi Bakti Suryo, berlambang bintang induk beserta gandum.

Ristia melepaskan kapak tambang modifikasi yang terikat di sisi kiri ransel, lalu ia menatap alat tersebut dengan senyuman, kemudian berkata dengan suara rendah, "Sudah tiga tahun lamanya engkau menemani perjalananku. Banyak hal sulit yang kita lewati bersama. Suka dan duka. Aku tidak akan pernah melupakan momen itu."

Si pirang menerapkan ancang-ancang. Pandangannya terfokus pada target, kedua tangan pun memegang erat gagang kapak tambang, ia menghantam kristal tersebut berulang kali dengan sekuat tenaga, suara nyaring akibat benturan menggema keras juga menusuk telinga. Namun, alih-alih tercungkil, ujung kristal justru retak dan mengeluarkan cairan hijau yang berbau busuk, enceran tersebut lumer ke tanah, lalu menggumpal.

"HAH?" Si pirang terkejut. Siapa sangka, ia melihat kepala seorang pria di dalam cairan hijau.

Sontak, Ristia langsung melompat mundur ke belakang dan mengambil sikap waspada, ia melihat sekeliling dengan hati-hati, lirikan matanya amat tajam, alis beserta dahinya berkerut serius.

Di mana dia? Tanyanya dalam hati.

Tiba-tiba saja terdengar suara langkah kaki dari arah kanan—dari kedalaman gua. Ristia menoleh ke arah sumber suara, dan seekor laba-laba jumbo berkaki enam serta bermata lima datang menghampiri si pirang.

Monster berkulit hitam sekaligus berbulu lebat itu spontan melancarkan serangan. Ristia berhasil mengelak gigitan si laba-laba besar, namun ia terkena benturan tubuh sang monster dan terpental jauh hingga menabrak dinding gua.

Serangga jumbo itu berdesis, membuka mulut lebar-lebar, kemudian berlari ke arah si pirang yang terkapar lemas.

Ristia bangkit di saat yang tepat, lalu ia menghantamkan ujung kapak tambang ke kepala serangga tersebut, kemudian ditusuk dengan belati.

Laba-laba besar itu pun meronta-ronta kesakitan. Si pirang sampai terangkat ke atas karena masih memegangi gagang belati yang masih terbenam erat, beruntung ia berhasil mendarat di atas tubuh monster itu dan meninju-ninju abdomen si serangga dengan sekuat tenaga.

"Mati kau!" Ristia mencabut belati yang tertancap di kepala laba-laba, kemudian ia menujah dan merobek abdomen monster penghasil jaring itu secara agresif.

Serangga jumbo itu berontak hebat, berdesis kesakitan, kemudian tewas dengan kondisi mengerut akibat kebocoran enceran. Isi abdomen atau perut laba-laba berupa cairan hijau beserta potongan tubuh manusia.

"Ya Tuhan." Ristia amat terkejut dan mual ketika melihat belahan organ tubuh manusia yang tak terhitung jumlahnya.

Gadis berambut pirang itu bergegas meletakkan kembali kapak tambang di samping ransel dan menaruh belatinya di dalam sarung, kemudian ia meneruskan pencarian sumber aura hitam tanpa memberi penghormatan terakhir kepada para korban.

Sesungguhnya aku ingin sekali mendoakan mereka yang menjadi korban keganasan laba-laba kuno, namun aroma busuk dari cairan hijau itu membuatku sangat mual, aku tidak tahan. Batin Ristia, sambil menutup mulut—menahan muntah.

Saat rasa mual hilang, si pirang memainkan pensil di buku catatannya, ia menulis tentang kristal hijau yang sebetulnya merupakan kotoran atau feses laba-laba jumbo berjenis Marantatul.

Di buku mana pun tiada data mengenai tinja laba-laba kuno yang barusan Ristia bunuh, dengan kata lain, ia mengungkap sebuah fakta yang sangat menarik, namun temuannya itu sama sekali tidak berharga, gelar Sang Penemu hanya angan-angan semata.

----

Semakin dalam menyusuri gua, makin banyak beraneka ragam rintangan. Ristia terpaksa melintasi celah sempit yang merupakan sarang serangga kecil, ia juga harus memanjat batu besar, berayun di akar pohon untuk melewati lubang besar, dan berenang melintasi kawah berair bening yang sangat dalam dan dingin.

----

Lihat selengkapnya