Ristia tersadar di hamparan padang rumput yang amat luas, ia menyelak kedua matanya perlahan dan menyaksikan bentangan awan putih di langit biru. Dahi si pirang terbalut perban, tampak jelas bercak darah menodai perban putih tersebut. Ristia memutuskan untuk diam sejenak, ia melamun sembari menikmati deruan angin sejuk serta memperhatikan pergerakan awan dengan pikiran kosong.
Ketika si pirang tak sengaja menengok ke arah kiri, ia mendapati seorang wanita berekor sembilan serta bertelinga rubah—sedang duduk manis menghadap batu besar, dia terlihat sedang memakan sesuatu dengan sangat lahap.
“Siapa dia?” Tanya Ristia, lirih.
Wanita berbusana agak terbuka itu tiba-tiba melirik Ristia dengan buas, kedua mata birunya amat menyeramkan.
"J-jangan mendekat!" Sontak Ristia bangkit, ia langsung menghunus belati kemudian ujung senjata bercorak mawar itu diarahkan ke wanita misterius.
Si wanita setengah rubah tidak berniat melukai atau menyerang, dia pun meluruskan selisih paham dengan cara menyodorkan ikan mentah yang telah terkoyak, sembari seringai ramah. “Kamu mau?”
Ristia tertegun sedetik, kemudian ia berujar, “Ternyata kau hanya memakan ikan." Si pirang mengurungkan sodoran belati kemudian menunduk elok, ia menaruh kedua tangan di antara dua kaki dan menilik lenyai.
"Benar, ini ikan, tapi saya lebih suka memakan daging manusia ketimbang ikan karena lebih bergizi." Wanita misterius itu memancangkan senyuman lebar—dua taring tajam terlihat jelas di dalam mulutnya.
“Kau mau macam-macam denganku?!" Ristia kembali menyorongkan belati ke si wanita.
Melihat reaksi Ristia yang garang, gelak tawa wanita itu pun meletus, "HAHAHA...." Dia mengerenyot senang.
Si pirang melekukkan bibirnya ke bawah. "Apanya yang lucu? Sini maju! Terkam aku! Biar kubenamkan belati ini ke jantungmu!"
Wanita misterius itu tahu-tahu melempar sebuah keris hitam dan jatuh di dekat Ristia, "Kamu ingat keris ini?"
Ristia terkejut. "Kalau keris ini berada di tanganmu, itu berarti kamu—" si pirang teringat sesuatu dan ia membisu pucat.
Ukiran di relik yang mencitrakan sesosok siluman rubah ekor sembilan.
"Kamu baik-baik saja?" Siluman rubah itu memiringkan kepala sedikit, dia terpana dengan peralihan tingkah Ristia setelah melihat keris hitam.
Sebenarnya dia ini siapa? Apa tujuannya? Mengapa dia menyelamatkanku? Tanya Ristia dalam hati, ia menengok kanan-kiri, terkadang mendongak ke atas, menunduk ke bawah, dan memainkan jari-jemari.
"Sudah kuduga, kamu pasti kebingungan." Siluman berambut putih itu mendekati si pirang.
"Jangan mendekat!" Sergah Ristia, ia menghampirkan pucuk belati menembus leher sang siluman.
"Ti-tidak perlu takut. Aku akan menjelaskan semuanya padamu, sekalian berkenalan. Hehehe."
"Baiklah. Tapi jangan dekat-dekat!”
Ristia ingin sekali mengetahui jati diri siluman rubah dan kebenaran atas insiden abnormal yang dialaminya.
"Iya, tenang saja."