Saat menyeberangi sungai melalui jembatan, Ristia memulai percakapan sambil melihat ke arah kompas, "Molen, kamu mampu membaca pikiran orang lain, itu sangat luar biasa."
"Ah, biasa saja.” Molen memasang senyum, memicingkan mata.
Setelah memintasi sungai, mereka berdua memasuki hutan yang rimbun, di sana Ristia kembali berujar, "Sebenarnya saya ingin menguasai kemampuan membaca pikiran."
"Tidak bisa,” kata Molen, sambil menggelengkan kepalanya.
"Kenapa?"
"Setiap orang memiliki kemampuan khusus masing-masing, jadi mustahil jika kamu ingin menguasai keahlian orang lain."
"Saya tidak mengerti."
"Cobalah bercermin diri, adakah kinerjamu yang membuat orang lain kagum atau semacamnya?"
"Hmmm..." Ristia melambankan langkah kaki kemudian mematik dagunya, "Ada. Setiap menjalani misi pencarian pusaka, pasti kurampungkan dalam waktu singkat."
"Bisakah rekan-rekanmu melakukan hal yang sama sepertimu?"
Ristia menjawab, "Kurasa tidak. Terkadang mereka meminta bantuanku untuk merampungkan misi pencarian pusaka."
"Pernahkah mereka bertanya, adakah trik khusus untuk memudahkan menemukan pusaka?"
"Pernah, tapi saat kujelaskan, rekan-rekanku tidak mengerti."
"Nah, itu dia. Walaupun saya menjelaskan cara membaca pikiran seseorang kepadamu, kamu tidak akan mengerti dan tidak akan pernah paham, sama seperti rekanmu itu."
Ristia agak terakuk. "Sayang sekali." Sejumput senyum bermakna cua, si pirang enggan menggagahi keinginannya dan kembali fokus mengetuai perjalanan.
"Kamu tidak perlu kecewa, kalau ingin menguak rahasia seseorang, cukup bilang padaku," kata Molen sambil mengacungkan jempol.
.
.
.
Waktu terus bergulir. Sang bintang induk akan terbenam dalam hitungan detik. Ristia dan Molen mempercepat langkah serta menantang berbagai macam rintangan bersama-sama.
Saat melintasi suatu tempat di mana pepohonan besar tumbuh, Molen mengemukakan tanda tanya, "Rumahmu di mana? Masih jauh?" Dia tampak bersemangat dan segar meski mati-matian melewati rintangan mematikan.
"Menurutmu ini di mana? Ini masih di menara Reliquia, kita harus pergi ke pangkalan elevator dahulu, lalu turun ke kota." Wajah Ristia terlimpah peluh, ia terengah-terengah saat menjawab pertanyaan siluman rubah.
"Uh...." Molen mengerang jenuh, "Bulu ekorku semakin kusut nich." Dia ecek-ecek pilu untuk menarik simpati Ristia.
"Sabar, kita akan segera sampai ke pangkalan."
Siluman itu menghela nafas deras, dia mengerutkan kening serta menekukkan alisnya. "Tiada kah sesuatu yang menarik di hutan ini? Saya butuh hiburan agar tidak bosan, nanti buluku akan kusam."
Ristia pun belingsatan, ia mencoba mengedarkan pandangan ke sekitar, sembari memalangi kedua telinga dari rintihan si Molen.
Beberapa saat kemudian, si pirang melihat sesuatu dan menunjuk objek tersebut dengan jari telunjuk, "Molen, coba lihat itu.”
Molen menoleh ke arah yang dimaksud, alih-alih terpukau, dia justru waspada terhadap pohon yang bisa berpindah dari satu tempat ke tempat lain. "GRRRRR...." Dia berderam, kesembilan ekornya bergerak-gerak liar.
“Pohon itu dapat berpindah tempat karena akar-akarnya menggeliat di luar tanah," jelas Ristia.
"Kupikir karena sihir," ujar Molen, dia kembali tenang.
"Bukan."
"Apakah ada tanaman menarik lainnya? Seperti pohon yang dapat terbang di langit?"
"Ada, tapi hanya dalam imajinasimu saja."
"Ah! Jangan gitu dong."
"Sudahlah, ayo percepat langkah nanti keburu malam.”
.
.
.
Ristia kalang kabut menantang seluruh hambatan, ia terus berjalan tanpa mengenal lelah, namun pada akhirnya, ia mengalami keram kaki dan tumbang begitu saja di tengah-tengah perjalanan. Molen terpaksa menggendong Ristia, dan gadis berkacamata itu tertidur pulas dalam gendongan sang siluman rubah.