Bulan menggantung pucat. Tetesan waktu terjatuh sedikit demi sedikit. Waktu terbahak melihat hatiku. Jam biru kecil di depan seperti mengejekku, aku beralih kembali menatap bulan. Aku telah mengkhianati waktu. Seharusnya hatiku sibuk dengan Tuhan, bukan dengan pemuda berkalung salib itu. Entah berapa detik waktu yang kubuang karenanya. Pikiran dan hatiku seperti sebuah permainan, nilainya sia-sia.
Ya Allah! Ampuni hamba-Mu ini!
Pintu kamar tiba-tiba terbuka.
Lisa datang dengan membawa plastik berisi snack dan waist bag di punggungnya. “Loh, udah dateng?” ujarku terkejut. Tak ada suara motor, aku rasa. Padahal motor Lisa adalah motor sport yang suaranya menguasai jalan. Dan tak ada suara bel juga.
Lisa melempar topi dan jaketnya asal lalu melempar tubuh ke ranjang. “Udah semenit gue nunggu. Kelamaan.” ujarnya sambil menutup mata, terlihat lelah. Aku hanya geleng-geleng melihat sahabatku satu ini. Sopan santunnya memang kurang diperbaiki, apalagi soal kesabarannya. Hari ini, Lisa menginap di rumahku. Abah, Umma, dan Raffa pergi ke rumah ‘Ammi karena pamanku itu sakit keras dan tak ada yang menemani.