“Ck!” Aileen menepis tangan Bara yang berusaha menggenggam tangannya di balik punggung. Matanya mendelik kesal sambil melemparkan kode kepada Bara untuk menjauhinya selagi ada orang lain di sekitar.
“Leen, yang kasus wanprestasi itu udah sampe mana?” tanya Direktur Utama Candra Group yang juga adalah papa Aileen sendiri.
Aileen bergeser untuk mendekat ke arah papanya. “Aman, Pak.”
“Dewan komisaris yang lain pasti bakal nanya progress-nya. Udah beneran nyiapin jawaban kan?”
“Saya sudah kerja di sini bertahun-tahun, Pak. Saya tau bagaimana caranya menghadapi dewan komisaris.” Kemampuan Aileen sebagai Direktur Legal di perusahaan memang tidak perlu diragukan lagi. Ia bukan sekadar anak pemegang saham mayoritas yang kemudian diberikan jabatan. Memulai karirnya dari bawah, bahkan fit and proper test pun ia jalani sebelum bisa duduk di kursinya sekarang.
Naren memutar kedua bola matanya kala mendengar jawaban si anak sulung yang selalu menggunakan bahasa formal selama berada di kantor. Ia lalu beralih kepada sosok laki-laki yang menjadi tangan kanannya selama ini. Bara, nanti kamu yang presentasi tentang persiapan merger Bumi Citra sama Acasa Candra ya.”
Bara berdeham pelan untuk membersihkan ternggorokannya. “Saya, Pak?”
“Iya, saya lagi males presentasi. Bisa kan?”
“Bisa, Pak.” Bara menoleh ke arah Aileen yang berdiri di sebelahnya, berjarak dua langkah di belakang orang paling penting di perusahaan.
Aileen balas tersenyum kepada Bara—si tangan kanan papanya sekaligus kekasih yang disembunyikannya selama empat tahun belakangan.
Ketiganya keluar dari lift saat pintu lift membuka di lantai tiga—tempat diadakannya Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) tahunan. Sekretaris mereka telah menunggu di dekat ruang rapat dan bergerak lincah untuk mengekor atasan masing-masing.
Belum semua anggota dewan komisaris hadir dalam ruang rapat. Bara yang melihat keadaan itu segera memanfaatkan situasi untuk mengirim chat kepada Aileen yang sebenarnya duduk di sampingnya. Hanya saja, kekasihnya itu memang belum mau membuka hubungan mereka di depan umum, sampai merasa benar-benar yakin bahwa hubungan mereka akan berlanjut ke jenjang pernikahan.
Bara: Leen, kamu marah?
Aileen memeriksa ponselnya yang bergetar, lantas melirik ke arah Bara sebelum mengetik jawabannya.
Aileen: Nggak
Bara: Bohong
Bara: Belakangan ini sikapmu aneh
Aileen: Perasaan kamu aja
Bara menghela napas, terpaksa pasrah karena Aileen memang bukan orang yang bisa dipaksa. Mungkin ia harus mengajak Aileen makan malam romantis agar sikap Aileen melunak kepadanya.
Aileen beralih menatap bahan meeting yang disiapkan sekretarisnya. Ia tidak pernah setengah-setengah dalam bekerja dan dalam melakukan apa pun, termasuk … dalam menjalin hubungan dengan Bara.
Baiknya Bara, buruknya Bara, akan ia balas setimpal.
“Maaf, Pak. Ini bahannya ada yang ketinggalan.” Erika berdiri di antara Bara dan Aileen.
Bara berjengit kaget lalu menatap Erika penuh ancaman manakala Erika menumpukan tangan ke atas pahanya. ‘Shit!’ rutuk Bara kesal.
Erika tersenyum sambil menggigit bibir bawahnya, menggoda iman Bara yang sudah setipis kertas.
Aileen menoleh ke arah mereka berdua dan di saat yang sama, Erika menarik diri, duduk kembali ke kursi di barisan belakang.
Ponsel Aileen kembali bergetar singkat. Dua buah pesan chat masuk ke ponselnya, dikirim oleh sekretarisnya yang juga dulu merupakan junionya di kampus, hingga hubungan mereka lebih seperti teman daripada atasan dan bawahan.