Relokasi Rasa

anggi
Chapter #2

Kenalkan Aku Sebagai Calon Suamimu #2

“Siapa lagi sih?” Aileen baru akan kembali ke pantri saat terdengar bel berbunyi untuk kedua kalinya.

“Leen.”

Aileen ingin membanting pintu di depan hidung laki-laki itu, tetapi Gama lebih dulu menyelipkan kaki panjangnya di sela pintu. “Gama! Aku lagi marah, mending kamu jauh-jauh!”

“Sejak kapan aku takut sama kamu?” Gama lantas mendorong pintu yang sedang ditahan Aileen dengan sekuat tenaga.

Beberapa detik dihabiskan mereka berdua di ambang pintu. Aileen yang berusaha menahan pintu dan Gama yang tanpa kenal lelah berusaha mendorong pintu.

Pada akhirnya, Aileen kalah. Dan masih selalu kalah bila berhadapan dengan Gama. Inilah alasan Aileen membenci Gama, sejak kecil. Walau di awal pertemuan—kala itu mereka masih kelas 1 SD—keduanya sempat dekat dan sering bermain bersama. Akan tetapi semua berubah sejak Gama ternyata lebih unggul dari Aileen dalam segala hal. Aileen, si anak sulung yang terbiasa menjadi nomor satu, tidak pernah kenal arti kekalahan, maka kalah dari Gama adalah sebuah penghinaan bagi harga dirinya.

“Tunggu, Leen. Bukannya kamu masih tinggal sama orang tua kamu? Sejak kapan kamu punya apartemen? Dibolehin?” Gama mengabaikan keadaan ruang tamu unit itu yang seperti kapal pecah. Langkahnya lurus menuju pantri … yang ternyata keadaannya tidak jauh berbeda. “Disaster!” Gama terkekeh sambil menggelengkan kepalanya.

“Aku mau tinggal di mana bukan urusan kamu, Gam. Mind your own bussiness!”

Gama mendekati Aileen, berhenti tepat di depannya lalu memegang kedua lengan bagian atas wanita yang terlihat garang namun tetap menggemaskan baginya. “Kalo aku nggak kenal kamu, aku nggak akan mencet bel untuk kedua kalinya, Leen.”

“Ya trus kamu mau ngapain?”

“Ngopi di unitku yuk, Leen. Tadinya aku pengen ngopi di sini, tapi … kayaknya kurang kondusif ya suasananya.”

Aileen melirik ke sekitarnya dan menyadari kekacauan yang ia perbuat karena lepas kendali. “Ih males. Siapa juga yang mau ngopi sama kamu?”

“Mau kutelepon Ervin biar jemput kamu di sini?”

Seketika Aileen mendongak, menatap Gama dengan tatapan kesal karena membawa nama adiknya yang overprotective. Setara dengan overprotective-nya sang papa. Bukan hanya itu, Aileen juga kesal karena tinggi Gama yang jauh di atas dirinya hingga membuatnya harus mendongak.

Gama menelan salivanya dengan susah payah kala mendapatkan tatapan tajam dari Aileen. Dalam hitungan detik, Gama mundur. Ia tidak ingin debaran jantungnya terdengar oleh Aileen. “Ayo, Leen. Pilihan di kamu. Mau ngopi sebentar di sebelah atau … aku telepon Ervin.”

Dengkusan kesal dari Aileen membuat Gama terkekeh, lantas merangkul pundak Aileen seperti seorang teman.

Aileen mencoba mengedikkan bahu agar tangan Gama lepas dari pundaknya, tapi Gama tetaplah Gama, yang (hampir) tidak pernah menurut padanya.

Hanya beberapa detik, keduanya tiba di depan unit apartemen Gama. Gama menempelkan sidik jarinya ke handle pintu, membukanya, dan mempersilakan Aileen masuk. “Welcome. Nggak terlalu berantakan kan? Duduk aja, Leen. Kamu mau ngopi atau ngeteh?”

Aileen tidak menjawab, tetapi langkahnya mengekor Gama. Posisi ruangan di unit apartemen Gama sama persis dengan unitnya, yang berbeda hanya interior masing-masing unit. Jadi Aileen tahu kalau langkah Gama menuju ke pantri.

“Leen, mau minum apa?”

“Ada cola?”

“Serius kamu mau minum cola jam segini? Cewek biasanya nggak minum—”

“Aku bukan artis yang biasa ada di sekeliling kamu ya.”

“Aku boleh tersanjung nggak sih? Aku nggak nyangka kamu ternyata tau kerjaanku apa.”

Lihat selengkapnya