Relung Samudera

Aruna Magda
Chapter #1

Akhir Pekan Ke-Tiga, Agustus

“Abang sayang, dah bangun? Kangen nih. Jangan lupa yang semalam ya. Kirimin dua ratus lima puluh. Dede malu kalo ga pegang duit. Apalagi nanti mau ke bioskop. Bisa ya, Bang.”

Dera terbangun... Salah. Dera terbangun oleh getaran notifikasi pesan masuk di ponselnya. Ponsel itu sudah bukan sekadar benda elektronik, benda yang digunakan untuk berkomunikasi saja; benda mati— tapi, ponsel itu sudah jadi benda hidup; sebagian dirinya yang lain terkurung di sana, dalam wujudnya yang paling sederhana; gambar dan sederetan kata-kata yang dirumuskan oleh dirinya sendiri untuk menjelaskan tentang siapa ia kepada dunia. Dedes, perempuan dari kota B yang telah dipacarinya selama lima bulan, kekasih yang sudah lebih dari seratus hari setia menemaninya kemana saja layaknya bayangan, mengirimkan sebuah pesan whatsapp. Dengan kesadaran yang masih terpecah antara dunia mimpi; samar-samar Dera ingat telah memimpikan almarhum ayahnya— dan kenyataan; Dera merasakan tubuhnya tergolek di atas kasur Sumatera, kasur tipis-murah yang dibeli dua bulan lalu, pada hari pertamanya menginjakkan kaki di IKN— Dera mulai meraba-raba dimana persisnya letak ponselnya. Ia tidur menghadap ke kiri untuk mencegah asam lambungnya naik di malam hari. Ponselnya tak ada di sisi tubuhnya. Ponselnya juga tak mungkin ada di balik punggungnya; ada Sulaiman, sahabat se-jiwa, kawan sekampung sekaligus rekan seperjuangan mengumpulkan rupiah yang sedang pulas. Suara ngorok Sulaiman persis babi yang sedang menguik-nguik kelaparan. Berisik. Namun, kuping Dera telah terbiasa mendengar bunyi-bunyian aneh. Di kampungnya, yang juga adalah kampung Sulaiman, separuh warga memelihara babi dalam kandang-kandang di samping rumah, dan suara-suara teriakan babi-babi ketika kelaparan itu telah jadi bunyi-bunyian yang juga karib selain bunyi kapal motor pengangkut ikan, dan aba-aba “Dorong!” atau “Tarik!” ketika ia melaut bersama pamannya, Om Harun.

Dera membalikkan tubuhnya. Telentang, ia merenggangkan tubuh sebelum meraba-raba kasur dengan tangan kirinya. Ponselnya ternyata diletakkan begitu saja disamping bantal.

Aduh! Apalagi ini? Ia mendengus, membuang rasa kesalnya saat membaca kata duit. Uang. Uang. Uang. Di dunia ini segalanya serba uang. Persis seperti lagu Rhoma Irama yang sering diputar "Bos" —mandornya di lokasi pembangunan — saat istirahat makan siang. Di dunia sekarang, uang jadi pedoman. Banyak orang berkata, uang berkuasa! Jika ia bisa bertemu Rhoma Irama, ia akan menepuk punggung lelaki yang dulunya tak pernah ia sukai lagu-lagunya itu untuk berkata “Bung, kau benar! Uang bukan hanya berkuasa. Tidak ada satu pun yang jadi tanpa uang. Begitulah kenyataan.” Beginilah kenyataan. Bahkan dalam urusan asmara, tak punya uang artinya segalanya ambyar; seorang lelaki tak mungkin menunjukkan kemampuannya menafkahi perempuan, dan meskipun jaman telah berubah; perempuan telah bisa menafkahi diri sendiri sehingga sekelompok perempuan yang masih merengek minta uang kepada pacarnya dianggap sebagai perempuan matre belaka— ada yang purba pada Dera; ia percaya, lelaki memang bertugas menghidupi, dan dalam kemampuannya menghidupi perempuannya itulah terletak kehormatannya, nilainya sebagai lelaki, seluruh harga dirinya.

Kalau saja ada uang... Dera menarik napas panjang. Tak perlu mengecek saldo-nya lewat aplikasi. Ia tahu, saldonya tinggal dua puluh lima ribu. Bulan lalu, ia kirimkan uang sejumlah dua juta rupiah ntuk keperluan bulanan Dedes. Di awal bulan, ia mengirim lagi dengan jumlah yang sama. Sisa tabungannya yang cuma tujuh ratus lima puluh ribu berpindah ke kantongnya untuk biaya hidup. Mestinya, upah dua mingguannya sebagai buruh bangunan di salah satu gedung IKN sudah dibayarkan di akhir pekan ke-dua bulan Agustus. Namun, setelah seminggu lewat dari jadwal yang seharusnya, belum juga ada tanda-tanda pembayaran. Sulaiman, dan para buruh lainnya mengatakan, keterlambatan pembayaran cuma akal-akalan ‘Bos’ agar para buruh yang kepepet berhutang kepada Si Bos. Pinjam sejuta berbayar seratus ribu sebab 'tidak ada hutang yang tak berbunga' rupanya memang telah menjadi motto hidup semua orang. Bagi Si Bos, nilai bunganya selalu tetap: sepuluh persen, dipotong dari upah yang telah sengaja ditahan sebelumnya.

“Kita ini orang susah. Sudah susah, dia jebak lagi kita dalam lingkaran setan!” Omel Sulaiman saat terpaksa makan malam dengan nasi hangat, kerupuk, dan kecap.


“Gimana, Bang. Bisa kan? Semalam abang udah janji sama Dede lho.”


Arrrrgh. Mengapa pula jari-jarinya dengan lancar mengetikkan janji? Dera Menghitung satu sampai sepuluh. Memastikan apa yang akan diketiknya berasal dari akal sehat, bukan semata-mata luapan emosi karena upah yang terlambat dibayar.

Lihat selengkapnya