“Deya? Nama kau Deya?”
Hanya ada satu sekolah dasar di perkampungan nelayan pesisir selatan laut pulau F itu; SD Inpres 01 yang sudah berdiri sejak tahun 1987, dan tak pernah diperbaiki atapnya sehingga saat hujan deras murid-murid (dengan senang hati) tak bersekolah. Pada siang hari selepas jam sekolah, ruang-ruang kelas tanpa pintu dijadikan tempat untuk tidur siang oleh bocah-bocah lelaki yang ditugasi menggiring kambing dan sapi; halaman sekolah yang luasnya separuh lapangan sepakbola, dan dipenuhi rumput-rumput hijau yang sengaja tak dicabut untuk memberi makan binatang peliharaan warga; rumput-rumput hijau itu kian hari kian tumbuh subur, berpupuk tahi kambing dan sapi. Di sekolah itulah, sekolah tak berpintu dan tanpa batas pagar yang jelas, Dera diantarkan istri Om Harun, Bibi Mae, pada hari pertamanya sekolah.
Dera mengomel sepanjang jalan, menyuruh Bibi Mae "Pulang saja! PULANG SAJA! JANGAN BIKIN MALU! SAYA SUDAH BESAR!" Namun, Bibi Mae menjelma si tuli yang malah kian erat menggenggam tangan Dera, dan kian lekas melangkah sehingga dari kejauhan Dera terlihat persis anak monyet yang diseret induknya untuk berpindah tempat. Ketika menginjakkan kaki di tanah berumput halaman sekolah itu, di antara suara kambing yang mengembek dan sapi-sapi yang memamah biak dengan malasnya sambil memperhatikan kanak-kanak yang 'baru' yang datang dengan semangat 'baru' dan tekad untuk masa depan 'baru' yang lebih 'baru'— saat Dera berada di antara murid-murid lain yang juga diantarkan ibunya (lebih tepatnya diseret karena nyaris semuanya tak ingin bersekolah), barulah Dera tersadar mengapa Bibi Mae ngotot ingin mengantarnya ke sekolah. Bibi Mae ingin bercakap-cakap dengan sesama ibu. Juga, tanpa kehadiran Bibi Mae, mungkin saja ia kabur dari sekolah karena tak memakai sepatu; dilihatnya Bibi Mae mendekati Ibu Eva, wali kelasnya, dan berbisik-bisik menunjuk ke arah Dera. Ibu Eva mengangguk-angguk seolah maklum sambil memandang ke arah Dera; tak mungkin Dera bisa kabur, ia telah di'tandai' oleh Ibu Eva atas petunjuk Bibi Mae; tak mungkin juga ia bisa macam-macam di kelas. Pilihannya sudah jelas: bersekolah sebaik mungkin sebab ia dititipkan langsung oleh Bibi Mae kepada wali kelasnya, meski ia tak pakai sepatu, berbaris di antara anak-anak yang memakai sepatu.
Kikuk dan cemas, Dera memperhatikan teman-temannya yang lain. Ada dua murid lain yang bersendal jepit seperti dirinya. Seketika saja, tanpa perlu upacara perkenalan yang penuh basa-basi, Dera mengangkat mereka sebagai saudara; keluarga yang ia pilih untuk dirinya sendiri atas dasar kesamaan nasib; sama-sama pemakai sendal jepit. Tiba-tiba saja, ia tak lagi cemas dan kikuk. Ia siap menghadapi hari pertamanya di kelas. Sayang, Ibu Eva, si wali kelas, tak membiarkannya duduk berdekatan dengan dua saudara-nya itu, yang belakangan ia ketahui bernama Sulaiman dan Niko.
Dera yang memakai seragam yang ukurannya lebih besar dari ukuran tubuhnya dipasangkan untuk jadi teman sebangku seorang anak perempuan yang bersepatu dan berseragam baru; seragam anak perempuan itu benar-benar baru, terlihat dari warna yang putih cemerlang, kerah baju yang kaku, dan lambang OSIS yang benderang. Dera yang mengenakan baju seragam lusuh pada hari pertamanya itu segera mengelompokkan anak perempuan yang duduk di bangku sebelahnya sebagai “anak orang kaya”. Artinya, anak orang-orang yang tinggal di rumah milik sendiri, makan tiga kali sehari, dan punya pakaian yang serba baru, pakaian yang adalah miliknya sendiri. Dera minder. Ia anak orang miskin. Ada sesuatu di dalam kata 'miskin' yang ingin membuatnya mengecil agar tak terlihat, atau, menghilang saja sekalian.
“Bukan. Dera, pake Rrrrrr.... Rrrrrr.... E-nya sebut macam kau sebut Elang. E.E.Dera.”
Dera telah mengulurkan tangan untuk memperkenalkan namanya lebih dulu. Begitulah adab sopan santun yang diajarkan Om Harun, paman yang merawatnya sejak ia kehilangan ibu dan resmi jadi yatim piatu. DERA. DERA. Ia yakin menyebut namanya dengan benar. Namun, anak perempuan yang duduk di sebelahnya ternyata masih cadel. Masih berlidah ‘telor’ dalam bahasa orang-orang di kampungnya, dan karena masih berlidah 'telor', usaha si anak perempuan mengucapkan huruf R hanya akan menghasilkan bunyi huruf lain. Manapula, si lidah telor itu menyebut huruf 'E' pada namanya seperti huruf 'E' pada kata ‘enak’. Makin jauh sebutan yang keluar dari mulut anak perempuan itu dari penyebutan nama Dera yang seharusnya.
Dera tak mau menyerah. Ia sebutkan namanya dengan terang jelas untuk kedua kalinya. Dera tak boleh diubah jadi Deya. Deya dengan bunyi 'E' seperti pada kata 'enak' membuat namanya makin terdengar tolol. Bagaimana kalau semua orang mengira namanya adalah Deya? Bisa mati ia karena diolok-olok. Samudera kok dipanggil Deya? Huruf 'E' nya benar-benar lain!
“Oooo... Deya?”
Anak perempuan itu tetap saja gagal menyebut R. Dera menyerah soal huruf R. Namun, ia berusaha lagi meluruskan bunyi huruf “E” yang juga keliru itu.
“E seperti kalau kau sebut Elang. Elang. Dera.”
“Deya. Deyaaaa. Itun. Saya Itun.”
Huruf 'E' pada namanya akhirnya disebutkan dengan benar.
“Siapa?”
Dera menyuruh anak perempuan itu mengulang “Itun” bukan karena dirinya punya masalah pendengaran,tapi karena nama itu benar-benar aneh. Kian aneh lagi karena nama lengkapnya Zaitun Maria. Mengapa bukan Maria Zaitun? Nyaris semua anak perempuan yang punya nama Maria memakai nama itu sebagai nama depan. Mengapa namanya disusun terbalik? Bertahun-tahun kemudian, Dera mendapatkan jawabannya dari mulut ayah Zaitun. Pada hari itu, hari pertama sekolahnya, ia cuma tahu teman sebangkunya itu bernama Itun, dan ia menganggap Itun seperti boneka bayi gendut-pirang; anak perempuan itu gemuk dengan pipi yang persis pipi boneka bayi gendut-pirang yang dijadikan pajangan rak televisi di rumah Om Harun. Sementara, bagi Zaitun, teman sebangkunya adalah anak lelaki kurus yang memakai baju lusuh kebesaran dan celana yang pada pinggangnya dililitkan tali rafia sebagai ganti ikat pinggang agar tak melorot. Anak perempuan itu, Zaitun, tak dapat menjelaskan dalam kata-kata mengapa dadanya terasa sesak, dan ia selalu seperti menahan tangis setiap ia melihat ke kedalaman mata Dera. Pada akhir hari pertamanya sebagai murid kelas satu SD, ketika Zaitun nyaris lelap di atas kasur, ia menggumam dalam benaknya: anak yatim-piatu... Katanya tadi dia sudah tidak punya bapa dan mama. Kasihan. Sementara di sudut lain perkampungan, Dera yang masih melek, menghitung berapa jumlah uang yang ia perlukan untuk membeli seragam baru, lengkap dengan sepatu dan tas. Banyak, pikirnya. Bantu bersih ikan di pasar ikan mungkin bisa kumpul uang. Setiap sore, ikan-ikan segar yang tak laku terjual hari itu akan dibersihkan dam dibelah dua untuk dijemur, dijadikan ikan asin. Para bandar ikan biasanya mengupah perempuan-perempuan, atau siapa saja yang ingin bekerja —termasuk anak-anak— seribu rupiah per dua ekor ikan. Dera berencana untuk bekerja sampai uangnya cukup untuk membeli seragam baru. Seragam miliknya sendiri. Ia tak tahan mengenakan baju seragam lusuh itu gara-gara teman sebangkunya mengenakan seragam yang benar-benar baru. Beberapa teman sekelasnya, tiga anak lelaki yang ia kenali sebagai anak-anak teman nelayan Om Harun, juga mengenakan baju lungsuran. Namun, baju mereka tak selusuh miliknya. Juga, anak-anak itu mendapat lungsuran dari kakak kandung mereka masing-masing. Sedangkan ia tak tahu seragam siapa yang dipakainya, meski ia yakin betul bahwa Bibi Mae pasti mendapatkannya dari kerabat ayahnya. Dera punya tiga sepupu laki-laki yang baru lulus SD dari pihak ayah, anak dari dua adik lelaki ayahnya. Dari pihak ibunya, Dera cuma punya sepupu yang berusia jauh lebih muda, tak mungkin bisa memberikan seragam lungsuran.
Dera tak menyukai adik-adik ayahnya. Mereka culas-licik. Mereka menuding ibunya sebagai suanggi, bersukacita atas kematian ayahnya, dan menelantarkannya ia dan ibunya seolah ia dan ibunya adalah dua ekor anjing kudisan dari neraka.
(***)
“Pagi Itun, sibuk?”
Itun mengganti foto profilnya. Kemarin, yang terlihat adalah lukisan seorang perempuan bertelinga kucing dengan wajah berbentuk segitiga, mata bundar berpupil hijau topas, dan bibir merah muda. Jauh betul dari wujud asli Zaitun. Tiba-tiba, sosok tersebut menghilang digantikan gambar perempuan kartun yang sedang minum kopi. Lagi-lagi, tak mirip Itun sebab perempuan dalam gambar yang dijadikan foto diri itu kurus dan berkulit putih. Mengapa menggambarkan diri sebagai orang lain?
Centang satu.
Dera membuka kotak percakapannya dengan Dedes. Memperhatikan lagi wajah itu, perempuan yang menjadi pemacu semangatnya, pemicu ia bergerak menuju sebuah titik yang pasti: pernikahan.
“Bang, bisa ga?”
Belum ada balasan dari Zaitun. Pasti masih tidur. Hanya keajaiban yang bisa membuat Zaitun bangun sebelum pukul delapan. Sementara itu, Dedes terlihat sedang mengetik sebuah pesan, dan Dera yang tahu betul bahwa pesan Zaitun yang berikutnya akan berisi rengekan-rengekan yang tak perlu, yang mengganggu, yang dipenuhi emoticon 🥺🥺😑😭 yang bisa membuat ia ikut-ikutan jadi senewen karena tak bisa langsung menepati janji, juga karena birahi yang belum tersalurkan di kamar mandi— buru-buru mengetik balasan.