Rani datang lagi dalam mimpi Dedes. Bugil. Tubuhnya yang singset langsing tak ditutupi sehelai benang pun. Ia berdiri di hadapan Dedes, bercekak pinggang sambil tersenyum sinis. Suamimu lho ketagihan main sama aku. Kasihan kamu, Des, harusnya kamu belajar dari aku, belajar menyenangkan suamimu di ranjang. Itulah tugas perempuan, jadi teman di dapur, di sumur, di kasur, dan kamu sudah gagal total. Tawa Rani melengking setelah mengucapkan kalimat itu; tawa hihi yang panjang, hihi persis suara tawa kuntilanak dalam film-film horor. Dedes terbangun oleh tawa yang memekakkan, memperhatikan foto dirinya yang dipajang di dinding, dan memutuskan bahwa Rani memang layak memenangkan Mas Panca, suaminya. Tangisnya melrdak. Air matanya leleh. Kerongkongannya tercekat. Dalam segalanya, Rani memang sang pemenang; wajah cantik, tubuh molek, sarjana yang baru lulus namun sudah diterima bekerja sebagai pegawai salah satu bank nasional; Rani memiliki semua yang tak ia miliki, semua yang tidak mungkin ia raih. Satu-satunya hal yang tak ia pahami adalah mengapa Rani bertarung untuk Mas Panca yang bukan apa-apa, bukan siapa-siapa, yang cuma anak band kere pengelola kafe bersama teman-temannya? Tidak adakah lelaki lain dalam lingkaran pertemanan Rani? Eksekutif muda, pengusaha, PNS? Siapa saja selain Mas Panca. Mas Panca adalah miliknya.
Apakah...Rani benar-benar cinta?
Cinta memang buta. Saking butanya, Rani bahkan mencaplok... Ah, sudahlah. Dedes mengecek ponselnya. Sebelum lelap malam tadi, ia sempat berbalas pesan dengan beberapa lelaki. Dera salah satunya. Lelaki seumurannya itu berjanji akan mengirimi uang, seperti yang sudah-sudah; dua kali Dera mengirimkan uang dalam jumlah yang lumayan membikin Dedes geleng-geleng kepala; entah lelaki itu tolol atau naif, Dedes tak dapat menebak dengan pasti. Setiap ketikan dan ucapan Dedes selalu dianggap sebagai perkara serius baginya, semua yang bagi Dedes cuma main-main, cuma coba-coba, baginya adalah sesuatu yang nyata.
"Eh, kita pacaran kah ini?"
Dera mengirimkan pesan nekat itu lima bulan lalu, lima menit lewat tengah malam.
"Pacaran ya, Bang? Terserah abang deh. Yang pasti abang sudah jadi obat penawar kesepian buat Dedes. Makasih ya, Bang."
Dedes membayangkan wajah Panca jika ia tahu istri yang belum resmi diceraikannya di pengadilan agama sedang main gila dengan lelaki lain. Cemburu-kah Mas Panca? Dedes berharap ia cemburu. Dedes berdoa agar api cemburu membara dalam dada Panca, berkobar-kobar, dan melalap habis segalanya yang terkait-paut dengan Rani hingga jadi abu. Bahkan, jika Panca membuat tato nama Rani dalam bilik jantungnya yang paling rahasia, Dedes berdoa agar api kecemburuan mampu melumat huruf-huruf itu selamanya.
"Fix, kita pacaran."
Dedes tak mengiyakan. Ia cuma mengirimkan emoticon: 🙂— terserah Dera mau mengartikannya bagaimana.
Lelaki itu rupanya yakin mereka telah resmi pacaran. Keesokan harinya ia menelepon di pagi hari, siang hari, sore hari, sekadar menanyakan kabar dan mengecek apakah Dedes sudah makan atau belum. Tak jarang, ia mengajak sleep call, dan Dedes tak pernah menolaknya, bukan karena ia jatuh cinta, tapi karena ia butuh seseorang untuk mengalihkannya dari ingatan tentang Mas Panca dan Rani. Kian hari, Dera kian berani. Ia bicara tentang angan-angannya untuk menjadi seorang suami, dan berbicara tentang menafkahi. Tiba-tiba saja ia mengirimkan dua juta rupiah untuk belanja bulanan. Siapa yang sanggup menolak? Untuk itu, Dedes tak pernah lupa berterimakasih sekaligus meladeni semua video call, pesan suara, dan pesan teks yang masuk lewat whatsapp-nya. Pertukaran itu terasa adil. Ia berikan waktunya untuk ditukar dengan uang. Setidaknya, ia tidak harus menjual foto-foto vulgarnya, atau, mengirim foto-foto mesum, atau...menerima kiriman foto-foto alat kelamin lelaki-lelaki yang tak tahu batasan. Jika pesan yang dikirim Dera vulgar, dan Dedes menegurnya, maka Dera akan berhenti. Meski begitu, Dera tak pernah pergi. Ia selalu datang lagi lewat pesan teks, pesan suara, dan potongan-potongan video lucu yang sanggup membuat Dedes terpingkal-pingkal. Dera seperti payung pada harinya yang selalu hujan, harinya yang selalu diisi bayangan Panca dan Rani yang sedang bermain asmara di ranjang.
Meski bukan satu-satunya payung, Dera adalah payung yang selalu ada, selalu di sana, selalu dapat ditemukan untuk dipakai. Lelaki-lelaki lain ada untuk bermain-main dengannya, namun Dera ada untuk tujuan yang lebih serius, tujuan yang tak berani dibayangkan Dedes sebab tubuhnya masih mendamba Panca, lelaki yang jatuh ke dalam cengkeraman Rani, sahabat Dedes sejak SMA.
(***)
Setelah cukup berbalas pesan lagi dengan Dera dan menagih janji kiriman uang semalam, Dedes bergerak menuju kamar mandi. Dari meja riasnya, ia mengambil sabun mandi dari sebuah plastik.
Harmony aroma jeruk. Dedes membuka kemasan sabun mandi itu. Tak semua orang mengingat merk sabun mandi, apalagi yang jarang diiklankan di televisi. Tapi, Dedes mengingat bau sabun mandi itu seperti ia mengingat tanggal ulang tahun Kim Soo Hyun, aktor favoritnya. Sejak menikah, dan diminta Mas Panca untuk menjadi ibu rumah tangga saja, Dedes mesti menghemat semua pengeluaran, termasuk untuk kebutuhan kamar mandi. Ia yang biasanya mandi menggunakan sabun cair Biore, mengganti sabunnya dengan sabun Harmony beraroma jeruk. Setahun lamanya, ia dan Mas Panca memakai sabun yang itu-itu juga, bukan saja karena harganya yang jauh lebih murah, tapi karena Dedes jatuh suka pada aromanya, dan Mas Panca tak banyak protes soal pilihan itu. Tiga ratus enam puluh enam hari, bau tubuhnya dan bau tubuh Mas Panca membaur, bercampur aroma jeruk, dan Dedes menyimpan pengetahuan itu, pengetahuan soal bau tubuhnya dan bau tubuh Mas Panca begitu saja dalam otaknya. Belakangan ia tahu dari ibunya bahwa ada hal-hal yang begitu saja diketahui manusia tanpa pernah disadari prosesnya, tanpa pernah dipikirkan— pada waktu-waktu itu Dedes benar-benar tak memikirkan perkara sabun dan bau tubuhnya dan suaminya sama sekali. Ia baru sadar telah menyimpan pengetahuan itu di dalam dirinya justru setelah ia kehilangan sesuatu 'yang biasanya' itu.
Oktober 2023. Aroma mawar, menguar dari tubuh Mas Panca. Barangkali mandi di kafe sehabis nge-band; Dedes mencari-cari pembenarannya sendiri. Namun, aroma mawar itu tidak pernah pergi. Malah muncul lebih sering. Mulanya sebulan sekali, lalu seminggu sekali pada hari Sabtu, dan akhirnya menjadi setiap hari. Mas, mandi dimana? Pertanyaan itu muncul pada pekan ke-dua belas setelah Dedes tak tahan lagi menghirup aroma mawar, aroma yang berbeda pada tubuh lelakinya, aroma yang membuat ia ingin muntah; otaknya membayangkan yang tidak-tidak, dan tubuhnya tiba-tiba menolak ketika Mas Panca ingin memeluknya; ada bangkai yang disembunyikan, entah dimana, hanya busuknya yang tercium.
"Ngomong apa sih kamu?"
Panca menjawab sekadarnya saja, pertanda ia tak tertarik menjawab pertanyaan yang diajukan Dedes.
(***)
14 Februari 2024
Langit merah. Senja turun tanpa buru-buru. Dedes bergerak malas dari ruang tamu kontrakannya ke kamar tidur. Ia sudah merapihkan segalanya di dalam kamar itu; seprei dan sarung bantal berwarna biru bermotif Juventus diganti seprei satin berwarna merah muda. Produk-produk perawatan kulit yang sering dibiarkannya begitu saja di depan cermin meja rias ia singkirkan ke dalam laci. Sebagai gantinya, Dedes meletakkan lilin-lilin aroma terapi; lavender, untuk meningkatkan mood bercinta; tiga jumlahnya sebab —menurut video-video yang ia tonton di TikTok— tiga adalah angka keberuntungan; segala sesuatu yang baik selalu datang dalam jumlah tiga— Dedes ingat betul kata-kata pembicara dalam video yang ia tonton. Madam Yuki nama pembicara itu. Perempuan dengan wajah kejepang-jepangan, dan kelopak mata diberi warna merah dan hijau serupa merak-Geisha, perempuan dengan gelar psychic medium di bawah tulisan namanya itu mengatakan kalimat selanjutnya “...juga, segala sesuatu yang buruk.”
Namun, Dedes tak mendengar kalimat kedua, kalimat penutup Madam Yuki; peringatan yang mestinya membuat ia hati-hati. Pikirannya telah dibutakan cemburu oleh aroma mawar yang kian sering tercium. Juga, alih-alih mengendus darimana sumber aroma mawar itu, setelah menenangkan diri lewat istiqarah selama tujuh malam berturut-turut, Dedes mengambil keputusan bahwa dirinyalah yang harus berubah.
Jika seekor kucing memilih berburu tikus di gorong-gorong gelap entah di mana, maka kemungkinan besar kucing itu tak kenyang oleh makanan di rumah sendiri. Penalaran sederhana ini ia pelajari dari ibunya; laki-laki itu yang penting bisa diurusi perut dan bawah perutnya. Urusan perut bukan masalah buat Mas Panca. Cukup ada tempe dan teri goreng serta sambal bawang, makannya lahap. Cukup disediakan kopi pahit tanpa gula setiap ia bangun tidur, dan Mas Panca akan tersenyum manis. Yang menjadi mimpi buruk Dedes adalah harum mawar yang muncul sejak Oktober, sejak Mas Panca minta ijin manggung di pesta kostum di salah satu kafe milik temannya. Mas Panca pergi dalam kostum vampir, lengkap dengan taring, dan darah pada sudut bibirnya. Ia kemudian pulang tanpa riasan, namun membawa bau tubuh yang baru, dan Dedes tak tahu mana yang lebih ditakutinya; sosok hantu asing dalam riasan Mas Panca atau aroma mawar yang tiba-tiba saja hadir.
“Yang, hari ini manggung Valentine di kafe. Pulang telat lagi ya. Ga usah ditungguin, nanti kamu malah kurang tidur.”
Dedes tak membalas pesan singkat tersebut. Ia juga menahan keinginannya untuk menelepon. Yang dilakukannya adalah menukar seprei dan sarung bantal kembali seperti semula, meniup lilin di atas meja, dan berselonjor di atas kasur sambil memegang ponselnya. Ada perempuan lain, Dedes tahu betul hal itu, meski ia menolak mengakuinya.
(***)
“Kamu kok curiga?”
“Bagaimana nggak curiga? Kamu mulai jarang pulang, Mas.”
“Aku kerja. Jaga-jaga, siapa tahu kamu hamil. Butuh biaya lagi kan?
“Lho, harusnya lebih sering di rumah.”