Relung Samudera

Aruna Magda
Chapter #4

Kilas Balik

Fly me to the moon

And let me play among the stars.

Ia langsung kasmaran begitu melihat perempuan yang belum ia ketahui namanya itu; alir udara hangat mengalir dalam dadanya, dan jantungnya terasa membara oleh sukacita; ini cinta— Panca dapat mengenali rasa yang langsung menghantammya saat ia memandang ke kedalaman mata Dedes. Orang-orang menyebutnya 'cinta pada pandangan pertama', dan meski Panca tak percaya pada keberadaan 'cinta pada pandangan pertama' namun pengalamannya saat itu juga, yang terjadi padanya, membuktikan hal yang sebaliknya. Cinta pada pandangan pertama memang benar-benar ada.

Panca akhirnya percaya.

Tak ada debar tak beraturan, tak ada sensasi aneh serupa ada tangan tak kasat mata yang meremas isi perutnya, tak ada rasa terkejut karena ia begitu jatuh cinta pada perempuan itu; segala rasa yang pernah ia rasakan sebelumnya dengan perempuan-perempuan lain tak sama dengan yang ini. Dan, sebuah lagu terdengar olehnya; fly me to the moon... In other words, please be true. Ia yakin, perempuan itu takdirnya. Ia yakin perempuan itu akan menyelamatkannya dari kecenderungannya berganti-ganti perempuan karena ia mengejar sebuah rasa yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata; ia ternyata mencari sosok yang dapat menenangkannya. Dedes, nama perempuan itu.

“Jadul ya namanya.”

Panca mengirim umpan kepada Ci Melan, sepupu kesayangannya, sepupu yang sengaja ia kunjungi untuk bertukar pikiran soal rencananya buka kafe bersama teman-teman band-nya. Ci Melan menawarkan sebuah lokasi strategis, di tengah kota B, dekat alun-alun kota; tempat nongkrong anak muda. Dijamin laris kalau kamu pakai konsep kafe-kafe ala Amerika gitu, dicampur yang agak-agak indie. Musik indie, sastra indie... Pokoknya yang kesannya mapan sekaligus anti kemapanan gitu. Yakin deeeeh. Ia percaya pada intuisi bisnis kakak sepupunya itu. Cucu perempuan Margareta Tjoa tak mungkin salah melihat peluang. Nainai-nya pandai menemukan berlian, bahkan jika berlian itu terkubur dalam rawa-rawa dengan lumpur paling pekat sekali pun. Setelah menjadi janda, Nainai- nya membuka toko emas. Dari toko emas, berubah jadi toko perhiasan. Saat Nainai- nya meninggal, toko perhiasan Cahaya Terang telah punya tiga cabang di kota S, diteruskan oleh Koh Sandro, sepupunya yang tertua. Intuisi Nainai tampaknya menurun kepada Ci Melan. Ia gesit menghadapi perubahan. Bisnis toko pakaiannya menghasilkan omzet hingga puluhan juta per bulan ketika ia merambah toko online.

“Naksir kamu ya? Wes, ditahan-tahan dulu. Banyak yang lebih cantik, lebih tajir. Nanti aku kenalin anak-anaknya pengusaha di sini. Banyak yang lulusan luar negeri lho. Yang kayak Dedes itu nggak ada apa-apanya.”

“Tapi aku suka. Suka ya suka aja. Latar belakang nomor sekian. Yang penting frekuensinya cocok.”

“Hilih, bocah kampret sok membahas frekuensi. Frekuensi itu bisa disetel. Mau dinaikkan angkanya, atau diturunkan, tinggal setel. Yang penting itu kualitas yang disetel, bagus nggak? Frekuensinya cocok tapi bunyinya nggak enak, ya sama aja.”

Entah mengapa, ia malah semakin menginginkan Dedes. Dedes yang namanya kuno itu, Dedes yang tidak cantik, yang seluruh fitur wajahnya terlihat biasa-biasa saja sebab ia memang perempuan yang terlihat biasa saja di antara perempuan-perempuan lainnya. Dedes yang karena terlalu biasa malah membuatnya terpikat.

(***)

“Hah? Menikah? Sudah gila kamu ya? You are way too young. Pikir-pikir lagi deh. Jangan kompulsif. Mama tidak pernah mendidik kamu untuk buru-buru ambil keputusan sepenting ini dalam hidup. Coba ngobrol dulu sama bapakmu sebagai sesama laki-laki.”

Lagi-lagi, nasibnya jadi seperti bola ping-pong dilempar kesana kemari oleh bapak-ibunya, sama seperti ketika ia masih kanak-kanak, sama seperti ketika ia remaja.

Mau ikut bapak ke rumah Nainai, atau di rumah saja bareng ibu?

Ngomong dulu sama bapakmu.

Minta ijin dulu sama ibumu.

SIGH.

“Kok ngobrol sama bapak? Kan mama tahu bapak itu kolot. Nanti jatuhnya malah hitung-hitungan tanggal lahir, cocok-cocokkan shio. Fyi, ini bukan minta ijin. Aku cuma ngasih tahu. Akad nikah bulan depan. Aku kirim undangan via email juga. No reception. Mau hadir, silakan. Nggak hadir juga nggak apa-apa. Aku orangnya simple, Ma. I deserve to make my own decision. Kan Mama yang ngajarin aku buat independen."

Bullshit. Pikir-pikir lagi. Terus kamu bilang akad? Pindah agama kamu? Aduh! Bulan depan akad, tiga bulan lagi apa? Talak? Cewek-cewek yang se-agama di kampusmu banyak, masa dulu nggak ada yang nyantol? Kepingin bisa kawin lebih dari satu kali ya? Akad? Gila kamu ya?!"

Nada bicara ibunya meninggi. Sekian tahun ibunya berperang dalam diam melawan Nainai-nya, menganggap Nainai-nya perempuan tua kolot yang memaksa-maksa anak lelakinya untuk tetap kerdil-bocah; dan tinggal dalam kotak berlabel “Seorang anak harus selalu patuh!” — ibunya malah menjelma Nainai, jauh-jauh hari setelah Nainai meninggal. Ibunya bahkan tak bertanya soal siapa perempuan yang akan ia nikahi. You are way too young? Bullshit. Usianya sudah dua puluh lima tahun dan Panca sudah bosan bermain-main.

(***)

Gendheng. Tuhan Yesus kamu jual buat perempuan. Kualat kamu nanti. Bapak nggak setuju. Bapak bakal minta kamu didoakan pendeta Martin. Kamu pasti dipelet, diguna-guna, makanya sampek bodoh gitu. Tolol. Sadar nggak sih? Nggak usah ngomong lagi sama bapak soal ini kecuali kalau kamu berubah pikiran.”

Panggilan telepon diputus secara sepihak oleh ayahnya, dan Panca teringat kepada Nainai-nya, Nainai yang ia cintai meski sempat tak ia sukai.

(***)

Kota S, 2004

“Panca jago nyanyi, nurun dari Nainai-nya lho Ma...”

Keluarga Tjoa berkumpul di rumah Nainai-nya, Margareta, janda Albertus Tjoa yang telah hidup sendiri sejak usia dua puluh delapan, sejak suaminya mati muda pada usia nya yang ke-tiga puluh tiga. Konon penyebab kematin Albertus Tjoa adalah minum teh yang telah diracun oleh seorang pedagang kompeni. Konon, sebab Margareta Tjoa tak mau membicarakan apa pun terkait kematian suaminya. Panca tahu kisah kematian Yeye-nya dari ibunya; perihal apa pun tentang Yeye juga tak pernah dibicarakan anak-anak Margareta Tjoa, termasuk oleh ayah Panca. Hanya foto hitam-putih Albertus Tjoa di altar sembahyang-lah yang jadi penanda bahwa sosok itu pernah hadir sebagai patriark keluarga sekaligus jadi pertanda kehadirannya dalam keluarga Tjoa. Barangkali karena tak pernah dibicarakan, ketika melihat foto Yeye-nya, Panca tak merasakan apa-apa. Tak ada perasaan terhubung atau ikatan dalam bentuk apa pun. Tidak juga rasa kasihan karena Yeye-nya mati muda, atau, karena ayahnya bertumbuh dewasa tanpa sosok Yeye-nya. Kosong. Nihil. Yang dilihatnya adalah sosok lelaki yang asing, yang seolah tak punya hubungan apa-apa dengannya. Mata Albertus Tjoa yang sipit memancarkan sorot tegas dari balik kacamata berlensa tebal, membuat ia terlihat lebih tua dari usianya saat meninggal; Yeye-nya terlihat seperti seorang pria yang sudah berusia empat puluh tahun. Panca juga merasa tak ada kemiripan antara ayahnya dengan yeye-nya, kecuali bahwa keduanya adalah sama-sama lelaki bermata sipit, berkulit putih. Tampang ayahnya persis Nainai; bentuk wajahnya bundar gemuk, wajah pembawa hoki, dan rautnya ceria. Yeye-nya berwajah tirus-oval, dan rautnya terlihat seperti lelaki serius yang setiap hari membaca lebih dari satu judul buku tentang kekacauan-kekacauan yang terjadi di seluruh dunia.

Lihat selengkapnya