Tubuhnya adalah malam. Gelap-pekat layaknya misteri, tapi juga menawarkan istirahat yang tenang-hangat umpama rumah, dan Rani tahu betul cara menjaga agar dirinya tetap memikat. Tak perlu banyak usaha, cukup dengan menjaga agar ia tak makan seperti binatang kelaparan saja sebab ia beruntung mendapatkan kode genetik bagus dari ibunya yang mewariskan bukan saja otak cerdas tapi juga pinggang singset, bokong padat, dan payudara membusung; triple threat, kata Ayu, teman kuliahnya di kota S pada pekan pertamanya sebagai mahasiswa—dan, Rani mempercayai itu. Di usianya yang menuju sembilan belas, ia sudah pernah seranjang dengan tiga lelaki, pacaran dengan tujuh lelaki, dan nyaris saja dilemparkan ke dalam jurang aib oleh salah satu mantan pacarnya yang ngambek karena diputuskan setelah ketahuan selingkuh. Ia sudah punya banyak pengalaman untuk bisa makin percaya diri, apalagi ketika ia dijuluki triple threat. Tapi, kota S bukanlah kota sekecil kota B. Julukan triple threat bukan-lah eksklusif miliknya saja. Ada puluhan triple threat di kota S, perempuan-perempuan muda yang lebih kota darinya, yang terlahir dari keluarga yang bicara dalam Bahasa Indonesia dan Inggris, seperti keluarga Ayu, perempuan-perempuan yang terbiasa membeli kebutuhan hidup sehari-hari di pusat belanja modern, bukan pasar tradisional, dan yang terbiasa membentuk tubuhnya lewat pilates atau angkat beban di pusat kebugaran dengan mesin-mesin canggih. Dibanding perempuan-perempuan yang lebih kota darinya itu, ia bukan apa-apa. Pupus sudah Rani yang dulunya populer, yang mudah mendapatkan cowok. Di kota S, ia menjelma tak ubahnya seekor capung yang terbang di antara pohon-beton, berharap dirinya dapat menjelma kupu-kupu cantik yang lalu lalang di antara bunga-bunga di taman.
“Begitulah memang perasaan manusia. Kita merasa kecil di tempat yang besar. Merasa besar di tempat yang kecil. Jadi, santai saja. Kamu tetap triple threat, kok. Ada saja kan cowok yang nge-chat?
Kafe Kotka, kafe langganan tempatnya ngopi di kampus dipadati mahasiswa dan mahasiswi lain, yang rata-rata adalah pasangan kekasih. Rani baru saja mengeluh tentang betapa ia bosan dan terbengong-bengong sendirian dalam kamar kos-nya di malam minggu kemarin karena tak ada yang mengajaknya nge-date. Kayak upil aja, Yu, nggak ada yang peduli.
“Ada sih yang nge-chat. Tapi kan aku maunya nge-date. Diajak ke mana kek. Kurang cantik ya aku?”
Rani memang merasa wajahnya kurang cantik bila dibandingkan mahasiswi-mahasiswi lain. Tak banyak lelaki yang memperhatikan wajahnya. Banyak yang hanya memperhatikan dadanya, atau malah bokongnya sambil bersiul-siul. Ia tak masalah diperhatikan dengan cara demikian. Ia suka dikagumi. Tapi, ketika tak ada yang mengajaknya nge-date, ia mulai ragu. Jangan-jangan lelaki-lelaki di kota S punya aturan main yang berbeda, mencari pasangan berdasarkan wajah saja, bukan yang lain-lain.
“Masa sih kamu memberi nilai dirimu berdasarkan hal receh begitu. Come on. You are not that idiot, right?”
Ayu menyeruput kopi susu. Ia tak paham mengapa masih saja ada kaumnya yang bergantung pada validasi dari laki-laki. Padahal, jaman telah berganti. Ia dan Rani tak hidup pada masa sebelum era digital.
“Tapi bosan lho.”
Rasa manis bercampur pahit menari di lidah Ayu. Diperhatikannya raut Rani. Rupanya, teman sekelasnya untuk semua mata kuliah itu sungguh-sungguh. Sungguh-sungguh perlu dikeluarkan dari kegelapan alam pikirannya yang menularkan sumpek itu.
“Isi dengan banyak kegiatan aja. Ngapain kek. Ikut klub apa kek.”
Bola bergulir. Rani mengaduk cappucino di cangkirnya. Sebenarnya, ia tak terlalu menikmati acara minum cappucino karena seleranya adalah kopi tubruk dengan takaran 1:1, satu sendok kopi dicampur satu sendok teh gula. Tapi, ia berusaha menyesuaikan diri dengan pesanan Ayu. Ayu menyebut cafe latte, dan ia asal saja menyebut menu nomor dua setelah cafe latte.
“Liat nanti ah.”
Liat nanti berarti Rani tak punya pilihan sama sekali. Bola bergulir lagi.
“Ikut kajian dan klub feminis aja bareng aku. KartiniDigital. Mau nggak? Kita ngumpulnya di gedung Fisip. Tiap Rabu jam 5 sore. You need that club more than me. Walaupun aku nggak lahir besar di sini, aku baca buku. Jadi, aku gampang catch up segala sesuatu yang cultural gitu. Kamu? Baca buku nggak?”
Geregetan rasanya mendengar Ayu bicara dalam bahasa keminggris, namun, Rani tak bisa seenaknya berkomentar. Semua orang di kampusnya bicara dalam gaya yang sama; setengah Bahasa Indonesia, setengah Bahasa Inggris. Maka, dalam kenormalan yang ia anggap tidak normal itu justru dirinyalah si tidak normal yang berbahasa tak sesuai norma yang berlaku.
“Ih, jangan ngeremehin ya. Aku baca buku lho. Buku di perpus sekolah. Aku tahu banget siapa itu Kartini.”
Rani berbohong. Tak ada buku yang ia baca di perpustakaan selain buku-buku pelajaran. Ia tahu Kartini dari upacara peringatan di sekolah, dan dari quotes yang beredar di laman sosial medianya setiap tanggal 21 April; kesannya tentang Kartini tak terlalu bagus. Berdasarkan foto yang ia lihat, Kartini tak tampak menarik sama sekali. Ia terlihat seperti perempuan Jawa yang depresif, yang tak boleh bicara dengan suara keras karena dianggap tak sopan sehingga ia terpaksa menelan semua pendapat yang ia punya tentang apa pun. Rautnya murung. Warna kebayanya yang sering dilukis dengan warna terang bahkan tak menolong menghilangkan kesan murung di wajahnya. Apalagi, menurut yang ia baca dari riwayat hidup singkat yang sering dibagikan lewat postingan di sosmed, Kartini mati muda. Kian murung-lah segala sesuatu yang terkait dengan sosok itu; Kartini.
“Kamu pernah tahu soal feminisme?”
“Nggak.”
“Pernah dengar mungkin?”
“Nggak.”
“Ya udah. Makanya, ikut aku aja. Nanti jadi tahu.”
(***)
Segala sesuatu pada dirinya harus menyesuaikan diri dengan segala yang ada di kota S. Selera berpakaian, gaya bicara (yang keminggris), dan —menurut Ayu— pola pikir. Pola pikirnya kuno, masih terikat oleh konstruksi patriarki. Apa itu konstruksi patriarki? Tanya Rani kepada Ayu. Konstruksi patriarki itu apa pun yang membuat kamu berpikir bahwa kamu nggak cantik kalau nggak ada cowok yang suka sama kamu. Rani terkejut-kejut oleh jawaban Ayu dan mulai membayangkan ‘konstruksi patriarki’ sebagai sosok dalang yang menggerak-gerakkan dirinya selaku wayang. Ya, soalnya laki-laki memang sukanya sama perempuan yang cantik kan? Makin cantik, makin banyak yang suka. Gitu lho kenyataannya. Ucapannya membuat Ayu terpingkal-pingkal. Kamu kok naif sih?