Engkau gemilang malam cemerlang
Bagaikan bintang timur sedang mengambang
Tak jemu-jemu mata memandang
Aku namakan dikau juwita malam
Panca menghafal lirik salah satu lagu yang akan ia nyanyikan bersama band-nya, BakmieDjawa, pada festival seni yang digagas klub feminis. KartiniDigital nama klub itu. Ini akan jadi penampilan perdana band-nya setelah dua tahun vakum; ada banyak yang bersifat ‘pertama’ dalam festival seni itu; untuk pertama kalinya klub dari kampusnya mengundang band alumni untuk tampil, pertama kalinya klub feminis mengadakan festival seni dalam kurun waktu satu dekade, dan untuk pertama kalinya festival seni itu menggabungkan seni musik, teater, dan sastra dalam pagelaran selama tiga hari.
“Konsepnya menarik. Melawan pelecehan seksual di kampus lewat festival. Makanya aku sih mau-mau aja waktu diminta tampil. Apalagi Ayu yang ngurusin acara. Kamu bisa kan, Cak? Brian sudah mau lho. Tinggal nunggu vokalisnya aja nih.”
Panca membaca pesan whatsapp itu berulang-ulang. Dulu, sebelum semua anggota band-nya memutuskan untuk vakum sementara karena Anggito dan Brian ingin fokus membangun karir sebagai pengacara di sebuah firma hukum yang sama, Panca sempat meminta hak untuk menggunakan nama BakmieDjawa sebagai nama band barunya. Namun, Anggito dan Brian keberatan. Alhasil, meski sepakat bersama untuk vakum, Panca memendam rasa jengkelnya. BakmieDjawa adalah nama yang ia usulkan. Asal muasalnya dari nama makanan yang paling populer di kampusnya, Bakmi Jawa buatan Pak No, pengelola kantin kampus. Gara-gara ditolak, ia memakai nama lain untuk nama band-nya; The Kerupuk; Panca memilih nama ini karena —sama seperti dirinya— dua personil band-nya yang baru, Abu dan San, bermental kerupuk; mudah ‘dikunyah’, tidak liat, dan anti melakukan perlawanan langsung terhadap ketidakadilan.
“Lihat lagunya dulu-lah. Kita kan sudah lama nggak main bareng. Latihannya gimana?”
Panca membaca daftar lagu yang diminta oleh panitia. Ada tiga lagu yang wajib dinyanyikan. Juwita Malam; lagu ini punya lirik puitis, dan membutuhkan penghayatan lebih ketika dinyanyikan agar rasa kagum seorang lelaki pada keindahan perempuan sampai ke telinga pendengar. Ia tersenyum-senyum membaca lirik lagu yang sungguh-sungguh menunjukkan betapa seorang perempuan suka dipuja sekaligus mudah dirayu; dan lelaki yang baik, tentu saja, adalah dia yang mampu memuja sekaligus merayu. Lagu ke-dua, Imagine dari Lennon; ini lagu standar kegiatan-kegiatan klub dengan ideologi yang —menurut Panca— nyeleneh. Lagu ke-tiga, We Are The Champion; lagu yang bisa mengobarkan semangat perjuangan. Dua lagu yang lain adalah lagu bebas pilihan band-nya.
“Dua lagu yang lain apa dong?”
“Liat nanti deh. Yang penting kamu bisa kan, Cak?”
“Aman. Segera cariin dua lagu, susun jadwal. Trus, kabarin aku latihan dimana.”
Jika penampilannya di festival itu akan jadi penampilan terakhirnya bersama BakmieDjawa, Panca ingin tampil sempurna.
(***)
“Kamu tahu nggak cerita tentang Medusa? Kita pakai itu sebagai tema festival kita. Aku sudah mikirin ini dari kemarin-kemarin sih. Kita gabungin aja-lah perlawanan kita dengan perlawanan Medusa.”
Pada tahun ke-duanya bergabung dengan KartiniDigital, Rani telah jadi anggota senior, semacam dewan pembina; KartiniDigital tak punya satu ketua organisasi sebab para senior yang mendirikan klub menilai kepemimpinan tunggal adalah produk dari masyarakat yang patriarkis. Sebagai gantinya, ada tujuh mahasiswi yang dipilih untuk jadi anggota senior. Tugasnya sebagai anggota senior tak ringan. Rani kebagian jatah menjadi public relations, memastikan keberadaan KartiniDigital ada gaungnya. Ini berarti ia harus memikirkan cara paling menarik untuk mengatakan kepada dunia “Hei, kami KartiniDigital, kami ada dan kami siap memperjuangkan nilai-nilai kebenaran yang kami yakini.” Berhari-hari, sejak ia diangkat sebagai senior, Rani memikirkan cara yang paling menarik. Ide untuk menghadirkan festival seni muncul ketika ia sedang menonton acara musik pagi di salah satu stasiun televisi.
“Nggak ada tokoh lokal, Ran? It’s weird to use a character from ancient myth yang nggak ada hubungannya sama sekali dengan kita. Apalagi dipakenya buat promosiin perjuangan kita. I got it sih, kan cocok juga sama protes soal pelecehan seksual di wilayah kampus. Masuk sih... Tapi... Let’s think about local she-roes aja dulu.”
Di-otak Rani malah muncul kisah tentang Roro Jonggrang yang minta dibikinkan candi, Dayang Sumbi yang kawin dengan anjing, dan Dewi Sri yang jadi padi.
“Aduh, susah. Medusa lebih cocok. Ia diperkosa, lalu jadi monster, eh...malah jadi antagonis. Ini kan cocok dengan yang dialami survivor, Yu. Aku bahkan sudah mikirin bentukan posternya. Re-Imagining Medusa. Bagus kan kedengarannya? Konsepnya, kita menantang narasi-narasi soal ‘Medusa’ ini. Kita highlight fakta bahwa dia diperkosa. Dia mengalami ketidakadilan. Nah, banyak perempuan pasti bisa relate. Ini sih menurutku ya... Aku belum tentu benar. Makanya aku perlu masukan.”
“Ngerti sih. Tapi, apa benar-benar nggak ada tokoh lokal.”
Hening. Rani memeras otaknya. Tak ada nama yang muncul. Ia malah mengingat lagi lukisan Medusa yang dilihatnya lewat postingan seorang teman Instagram. Dalam lukisan itu, Medusa membuka mulutnya, dan kerongkongannya yang gelap-kuburan terlihat jelas-kelam, dan wajahnya memancarkan kengerian terhadap segala, bahkan mungkin dirinya sendiri.
“Nggak ada. Ini yang paling cocok, Yu. Cocok dengan yang kita perjuangkan. Aku bakal presentasikan konsepnya...”
“Oke. Aku ngurus bagian hiburan. Pentas musik. Biar Mas-ku pentas lagi. Nanti aku rayu deh.”
(***)
Tak ada gading yang tak retak, tak ada acara yang benar-benar sempurna. Masalah pertama muncul dari pihak kampus yang menolak menyumbang dana kegiatan. Masalah kedua muncul dari sedikitnya jumlah anggota KartiniDigital yang bisa dan biasa mengurusi panggung musik, termasuk mengurusi sound system untuk para penampil. Masalah keuangan dibereskan oleh banyaknya sponsor ysng bisa digaet oleh Rani dan tim-nya. Masalah kedua dibereskan Ayu dengan jalan meminta anak-anak dari Fakultas Teknik untuk membantu. Para pengisi acara pentas musik pada malam puncak sekaligus penutupan festival dipilih dari band kampus dan alumni. Dengan demikian, panitia dapat berhemat ongkos. Honor dapat disesuaikan dengan ‘kondisi’ panitia yang cuma serombongan mahasiswa over-idealis.
Sebelum penutupan festival, Ayu memperkenalkan Rani pada anggota band yang bakal mengisi puncak acara. BakmieDjawa nama band itu. Personilnya Anggito, Brian dan Panca. Dua alumni Fakultas Hukum, satu alumni Fisip. Rani memandang-mendengarkan Panca, dan berpikir : vokalis yang tampan, kenapa tidak berkarir di ibukota saja?
“Vokalisnya ganteng kan? Temannya Mas Anggito. Sering ke rumah dulunya. Tapi sekarang udah jarang. Nggak tahu kenapa. Sibuk kali ya. Dulu aku naksir berat sama dia. Tapi dicuekkin. Jutek. Galak. Sekarang sudah agak ramah.”
“Iya.”
Hanya orang buta yang menganggap Panca tak tampan, dan Rani tak buta. Jika ia masih tinggal di kota B, dan seandainya saja Panca bertempat tinggal di kota yang sama, Rani pasti sudah mengejarnya seperti ia seekor kelinci lucu yang perlu dijadikan binatang peliharaan. Sayangnya, Rani sadar betul, ia sedang berada di kota S. Di kota S, ia bukan siapa-siapa. Ada banyak perempuan lain yang lebih darinya, perempuan-perempuan yang cocok-tepat untuk Panca. Rani menyampaikan ucapan terimakasih karena BakmieDjawa sudah mau berpartisipasi dalam acara KartiniDigital dengan gugup sambil menjabat tangan Panca. Ia tak ingat apa yang diucapkannya; tiba-tiba saja Rani seperti kanak-kanak yang baru saja mencoba mengucap sebuah kalimat lengkap untuk pertama kalinya, dan karena baru pertama kalinya, ia jadi hati-hati sekaligus buru-buru, ingin semuanya cepat berlalu.
“Sama-samaaaa. Ini juga momen kita manggung bareng terakhir kalinya koook. Setelah ini sudah nggak ada lagi BakmieDjawa.”
Too much information; terlalu banyak informasi masuk ke kepalanya ketika Panca bicara. Baru beberapa pekan ia tahu keberadaan BakmieDjawa, baru saja ia melihat langsung para personilnya, tiba-tiba saja band alumni itu bakal tidak ada.
“Dari BakmieDjawa kita berubah jadi mie pangsit apa ya?”
Celetukan Anggito disambut tawa oleh Panca. Rani suka suara tawa Panca yang membawa riang. Suasana di belakang panggung jadi terasa lebih ceria.
“Bakso juga boleh.”