Kota B adalah puteri yang tertidur, lelap dalam senyap pada jam empat dinihari. Ketika Rani turun dari mobil sewaan, persis di depan rumahnya, lampu teras mssih dinyalakan, dan ibunya segera membuka pintu rumah bahkan sebelum Rani membuka pagar. Tak tampak sesiapa di jalanan. Tak juga tampak kendaraan bermotor. Seekor kucing jingga meloncat dari pagar tembok rumahnya ke arah jalanan. Seingat Rani, orangtuanya tidak memelihara kucing. Barangkali kucing tetangga, pikirnya, meski ia tak yakin ada kucing peliharaan yang kurus dan tak terurus seperti si kucing jingga itu. Kemungkinan lainnya, kucing liar. Namun, kucing liar di kompleks perumahannya dikandangkan di sebuah lahan kosong, di blok paling timur, oleh relawan pencinta kucing.
“Kok ada kucing, Bu.” Rani spontan membuka pembicaraan. Jika ada perkara aneh di sekitar rumahnya, ia memang cenderung tak tahan untuk tidak mengomentari.
“Nggak tahu. Emang ada?” Ibunya memperhatikan sekeliling. Tak terlihat apa pun. “Kamu sengaja bahas kucing biar nggak ditanyain macam-macam ya? Nggak pernah pulang. Ngapain ajaaaa kamu?”
“Sibuk, Bu. Banyak tugas. Kalau mau nilainya bagus ya nggak bisa pulang terus-terusan."
Alasan yang disampaikan Rani itu-itu juga, itu-itu saja sebab ibunya menjelma perempuan sederhana dengan pertanyaan-pertanyaan yang itu-itu juga, pertanyaan yang mengisyaratkan bahwa di mata ibunya, Rani masih anak perempuan yang perlu diawasi meski bagi Rani, ia adalah perempuan dewasa yang sudah mengisi otaknya dengan asupan bergizi; pengetahuan-pengetahuan baru soal dunia yang serba luas, dan nilai-nilai yang sesuai dengan perkembangan jaman, dan kesadaran-kesadaran yang baru tentang siapa itu perempuan, bagaimana menjadi perempuan, dan apa yang mesti ia lakukan sebagai perempuan. Seniornya dalam grup KartiniDigital telah membekalinya dengan macam-macam pengetahuan tentang keperempuanan yang jauh berbeda dari keperempuanan yang dihidupi oleh ibunya; ibunya, Sandrina, adalah seorang mantan santriwati yang berdagang hijab dari rumah untuk ‘mendukung ekonomi keluarga’ adalah jenis perempuan yang taat kepada suami. Meskipun memiliki penghasilan sendiri dalam jumlah yang lebih besar dari ayah Rani yang seorang PNS, ibunya selalu harus meminta ijin untuk urusan apa pun, bahkan untuk urusan belanja ke warung tetangga. Rani memandang ibunya sebagai perempuan dari produk kebudayaan lama, perempuan yang tidak ingin dijadikannya sebagai panutan, apalagi yang jejaknya ia ikuti.
“Halah, alesan. Kamu itu lho dikangenin bapakmu.”
Ayahnya masih tidur, Rani tahu betul itu. Ayahnya tak terlalu peduli pada keberadaan dirinya. Atau, jika peduli pun, ayahnya jarang menunjukkan secara terang-terangan, dan Rani mulai belajar bahwa kebiasaan dan ketidakbisaan ayahnya mengekspresikan kasih sayang sejak ia masih kanak-kanak itulah yang menyebabkan ia mencari kasih sayang dari banyak lelaki ketika ia masih SMA. Daddy issue, bahasa trendy-nya. Ayahnya, juga ibunya, adalah sumber racun, toksik, yang membuat ia harus memyembuhkan diri dari pengalaman-pengalaman buruk yang ia hadirkan dalam hidupnya kalau ia ingin masa depan yang cerah; itulah yang diajarkan Ayu padanya, Ayu yang belakangan sedang keranjingan Yoga dan mengikuti retret penyembuhan di Bali setelah selalu gagal mendapatkan pacar; seorang bule yang memipin retret itu mengatakan Ayu mengalami daddy issue yang berdampak pada kesulitannya mencari pacar. Rani tak paham bagaimana semuanya terkait; Ayu membawa-bawa istilah semesta, dan hukum-hukumnya, dan Rani cuma mengangguk-angguk seolah-olah setuju. Tapi, ketika ia mendengarkan penjelasan Ayu yang sering diabaikan ayahnya, Rani merasa ia juga mengalami masalah yang sama. Kayaknya aku juga punya daddy issue deh, Rani mengingat kalimatnya yang lebih bersifat tebak-tebakkan belaka itu. Lho, emang. Kamu baru nyadar? Indonesia ini fatherless nation lho, makanya nggak heran ya banyak cewek-cewek punya daddy issue. Pokoknya nggak heran dan nggak usah heran lagi, Ayu meyakinkannya sekaligus membuka kesadarannya. Seharian penuh Rani mengecek segala data yang tersedia soal daddy issue, dan ia tiba pada kesimpulan soal dirinya setelah membaca bahwa perempuan yang mengalaminya selalu saja mencari kasih sayang dari lelaki, sehingga rentan dimanipulasi; segera Rani mencocokkan ciri itu dengan pengalamannya semasa SMA. Ia geram-kesal. Ternyata, semua tindakannya yang tak jelas itu berasal dari kurangnya perhatian ayahnya.
“Yaaa... Sekarang kan aku udah si sini. Cuma dua hari ya, Bu. Soalnya aku ada kegiatan di kampus.
Ia masih harus mengambil jarak dari orangtuanya. Kota B adalah puteri yang tertidur, dan kedua orangtuanya ikut tertidur di dalamnya, sedang ia adalah sosok yang tengah berusaha untuk tak jatuh dalam ketidaksadaran yang sama.
(***)
Tak banyak kenang yang ingin Rani singgahi di kota B. Gedung sekolahnya tampak telah di-cat sehingga terlihat baru; Rani yang lewat ketika berjalan-jalan dengan sepeda motor ibunya sengaja berhenti untuk membeli jajan di pinggir jalan. Tukang siomay langganannya dulu masih mengenalinya; wah, masih main ke sini, kangen ya sama sekolahan? Gimana kabar temanmu yang dulu itu, yang akrab itu lho.
Dedes.
Sudah lama ia tak bertukar kabar dengan Dedes. Dedes seperti menghilang ditelan bumi, sibuk olej pekerjaannya. Tak banyak postingan yang Dedes tampilkan di sosial media. Dedes juga jarang membikin status whatsapp. Tapi, dari sebuah postingannya, Rani tahu Dedes akhirnya punya pacar, dan peristiwa Dedes yang sudah punya pacar itu terhitung sebagai sebuah keajaiban bagi Rani. Dedes yang ‘suci’ dan berniat untuk menjaga keperawanannya akhirnya bertemu seorang lelaki untuk menikah akhirnya punya pacar. Pasti Dedes tak bakal tahan jadi perawan. Pasti jebol juga! Sungguh mati Rani ingin tahu lelaki macam apa yang telah memikat Dedes. Sayangnya, Dedes tak banyak pamer tentang pacarnya. Hanya foto profil whatsappnya yang diganti foto tangan dua orang yang sedang bergandengan. Hendak bertanya langsung, Rani enggan. Memang, dulunya, ia dan Dedes bagaikan sepasang yang tak akan tercerai; Rani dan Dedes adalah tubuh dan bayangannya, tapi, banyak hal telah berubah selepas wisuda kelulusan. Tali persahabatan Rani dan Dedes termasuk di dalamnya.
Pada bulan-bulan pertama setelah lulus SMA, ia masih bertukar kabar seminggu sekali, bertemu sebulan sekali. Lama-lama, bertukar kabar tak sempat, bertemu pun cuma tiga bulan sekali. Lama-lama, Dedes menghilang, dan Rani belajar menerima bahwa bertumbuh mensyaratkan pula kehilangan dan keberanian melepas. Dirinya bertumbuh, Dedes pun bertumbuh— dalam pertumbuhan itu, masa lalu bukanlah sesuatu yang harus selalu dipertahankan. Meski demikian, pertanyaan tukang siomay langganannya mengganggu Rani. Di telinga Rani, pertanyaan itu menjelma sebuah ungkapan yang mirip olok-olok: dulu kalian akrab, sekarang kok nggak?
“Des, sibuk nggak? Aku lagi pulang kampung nih. Ketemuan yuk! Sudah lama lho kita nggak ngobrol!”
Rani berusaha mengingat kapan terakhir kali ia bertukar kabar dengan Dedes. Ia tak bisa menemukan ingatan itu. Sudah lama dalam kamus hidupnya bisa berjangka waktu dua bulan, bisa juga enam bulan. Antara dua sampai enam bulan, kira-kira selama itu. Rani berharap Dedes sibuk, sehingga ia tinggal berbasa-basi “Lain kali kalo aku pulang kampung lagi, kita ngobrol ya...” dan ia bisa melanjutkan hidupnya, hidup yang sedang coba ia tata; penataan itu akan ia mulai dengan melongok ke dalam luka batinnya, luka-luka yang ada namun —menurut Ayu— ia sembunyikan ke dalam alam bawah sadarnya.
Centang satu. Dedes sedang tak berada bersama ponselnya; Rani tahu betul hal itu tak mungkin sebab semua orang selalu berada bersama ponselnya, bahkan ketika tidur pun tak ada seorang pun yang tidak tidur ditemani ponsel masing-masing yang stand by entah di dekat bantal atau di meja terdekat dari tempat tidur. Dugaannya bahwa Dedes mungkin sedang tak berada bersama ponselnya hanyalah usahanya untuk menghibur diri sendiri sebab ia terlanjur berharap Dedes segera membalas pesan. Dan, bagaimana jika Dedes sungguh-sungguh tak membalas pesan itu? Rani yakin ia akan merasa lega sekaligus sedih. Lega karena ia tak perlu basa-basi seolah ia sedih karena tak dapat bertemu Dedes. Sedih karena akhirnya pertemanannya dengan Dedes benar-benar berakhir; selesai.
Setengah jam kemudian, Dedes menelepon.
“Ran, maaf ya, nggak bisa. Aku sibuk mau mempersiapkan pernikahan. Kamu nanti kuundang, datang yoooo...”
“Oiya, pasti.”
Rani memutus telepon dengan perasaan lega bercampur sedih. Dugaannya soal hubungan pertemanannya benar; berakhir, selesai, tamat. Ia tahu, ia tak akan menghadiri undangan pernikahan Dedes, bukan saja karena ia merasa Dedes dan dirinya telah bertumbuh dan pertemanan mereka telah berakhir, tapi karena ia merasa pernikahan adslah babak baru bagi Dedes. Babak yang membuat ia bukan lagi Dedes yang dikenali Rani. Satu-satunya hal yang mengganjal di benak Rani adalah usia Dedes yang terlalu muda untuk menikah. Dua puluh. Mengapa buru-buru? Dunia ini perlu dijelajahi dulu sebelum seorang perempuan terkurung dalam sebuah dunia serupa kotak sempit yang diberi label pernikahan. Tiba-tiba saja ia teringat kata-kata salah satu senior KartiniDigital; pernikahan bukanlah solusi untuk masalah-masalahmu, terutama masalah finansial. Pernikahan justru akan membawa masalah-masalah baru yang tak terduga, tantangan yang harus dihadapi.
Rani yakin, Dedes menikah agar ada lelaki yang menafkahinya sebab begitulah pola pikir perempuan-perempuan seusianya yang tak bisa kuliah karena terkendala biaya, dan ia bersyukur bahwa dirinya bukan Dedes, dirinya tak harus mengambil keputusan seperti Dedes; ia perempuan yang merdeka, yang punya privilege memperoleh pendidikan tinggi. Dedes tidak. Maka, siapa bisa menyalahkan kalau Dedes memang mesti menikah? Bahkan tudingannya terhadap Dedes pun terasa tak lebih dari nyinyiran belaka. Jengkel kepada tindakannya menghakimi Dedes, Rani mengirimkan pesan singkat.
"Kasih tahu aku ya kalau ada yang bisa dibantu."
Pesan itu tak berbalas.
(***)