PENGUMUMAN
Untuk merayakan Halloween tahun ini, perusahaan mengadakan pesta di Ballroom Hotel Santika, tanggal 31 Oktober, pukul 19.00-24.00 WIB. Semua karyawan diharapkan untuk hadir, memakai kostum yang sesuai dengan tema perayaan "Unleash Your Shadow!"
Ia bukan penyuka pesta. Make up, basa-basi; segala yang serba polesan, serba dipulas membuatnya jengkel-eneg. Apalagi pesta kostum dimana ia harus menjadi sosok yang benar-benar lain dari dirinya yang sehari-hari. Artifisial, imitasi, buatan, tiruan. Itulah kata-kata yang muncul di benak Rani ketika ia memikirkan tentang pesta, pests kostum pula! Dan, kata-kata itu membuatnya cemas. Masih adakah sesuatu yang asli?
Selepas jadi sarjana, Rani ketiban rejeki nomplok. Ia ditawari jadi pegawai di bidang pemasaran sebuah bank swasta nasional di kota B. Hari-harinya diisi pertemuan dengan calon nasabah, sosok-sosok yang dinilai potensial, dianggap bisa jadi sumber pendapatan perusahaan. Bersikap ramah untuk mendapatkan hasil yang sesuai target kerjanya adalah makanan Rani sehari-hari. Ia bayangkan dirinya sendiri sebagai seseorang yang sudah mengoleksi banyak topeng di lemari pakaiannya. Setiap pagi, topeng-topengnya ia pilah dan pilih dengan teliti hingga ia menemukan yang paling pas untuk dikenakannya pada hari itu; mau bertemu Rani yang mana hari ini? Rani yang cekatan-ramah atau yang genit-komunikatif atau yang cerdas-ceria-solutif? Ia selalu dapat memilih topeng mana yang cocok dikenakan pada hari apa, dan topeng mana yang baiknya ditinggalkan untuk hari lainnya saja. Hari Senin selalu berbeda dari Jumat, dan Selasa tak pernah seragam dengan Kamis. Hari Rabu yang berada di tengah-tengah selalu bisa menyesuaikan dengan hari-hari lainnya, karena pada hari Rabu ia cuma berurusan dengan calon nasabah produk deposito dengan target tiga digit angka nilai simpanan. Para calon nasabah dari kalangan tiga digit biasanya tak banyak tingkah sehingga urusannya selalu EsPeJe: Singkat, Padat, Jelas; tak banyak effort, tak banyak usaha, tak banyak pulasan.
Meski bukan penyuka pesta, ia selalu menghadiri setiap undangan yang mampir di meja kerjanya, undangan yang berasal dari nasabahnya; anak si A yang punya tabungan sekian M kawin dengan anak si B yang juga punya tabungan sekian M, si C mengadakan pesta ulang tahun anaknya... Pesta-pesta itu diadakan di ballroom hotel bintang empat atau bintang tiga di kota B. Tak semua pesta yang ia hadiri adalah pesta yang wajar. Ada juga pesta yang nyeleneh. Di awal Oktober, Rani menghadiri resepsi pernikahan dua ekor anjing pudel di ballroom sebuah hotel bintang tiga. Absurd. Aneh. Gila. Tiga kata itu berputar-putar di benaknya. Namun, bukan Rani namanya jika tak bisa menghibur dirinya sendiri dalam pesta teraneh itu. Rani berfokus pada situasi dirinya, dan tiba-tiba saja, ketika ia sedang berusaha menghabiskan potongan steak di piringnya, ia sadar bahwa ia telah menjadi perempuan yang bukan ibunya, ibunya yang sederhana dan tak suka kemana-mana, ibunya yang paling banter hanya ke kondangan di sekitar kompleksnya, ibunya yang tak disuguhi lagu-lagu jazz dan makanan serba internasional, ibunya yang tanpa polesan, tak banyak pulasan.
Dan ia merasakan kekosongan. Ada gelap yang pelan-pelan merayapi jiwanya, menggerogoti segala kenang-harap yang ada di sana, hingga tak tersisa apa pun.
“Harus hadir, ya Ran. Soalnya ini pesta kantor loh. Khusus untuk nasabah-nasabah millenial nih. Banyak nasabahmu juga kan. Kamu nggak mau mingle gitu? You’re single, right?”
Mbak Sulis, manajernya langsung mengingatkan begitu melihat ekspresi Rani yang terlihat tak senang. Lima tahun menjadi manajer bidang pemasaran, setelah bertemu dengan macam-macam orang, ia langsung bisa membaui rencana-rencana ‘jahat’ seseorang hanya dari rautnya saja.
“Single sih single, Mbak. Tapi... kalau mingle di acara kantor, paling-paling dapat duda. Anyway, kan bukan undangan nasabah prioritas tho, Mbak? Bisa lah aku ijin.”
“Nahloh... Justru banyak undangan yang disebar ke nasabah prioritas, jadi kamu itu hemat waktu, bisa catch up sekaligus dengan banyak nasabah prioritas. Jualan tipis-tipis boleh lah yaaaa. Sekali dayung dua-tiga pulau terlampaui.”
“Males, Mbak. Ribet lho dandannya. Pake kostum. Kostum hantu pula. Mbak pake kostum apa?”
“Nah itu. Aku mikirnya mau jadi kunti kan. Hihihihihi...” Mbak Sulis tertawa melengking, menirukan tawa kuntilanak dalam film-film horror. “Tapi, masa manajer pemasaran dandanannya kayak gembel. Kan nggak enak dilihat. Aku jadi Glinda dari The Wizard of Oz aja. Bisa tetap cantik kayak ibu peri. Statusnya sih penyihir."
“Nggak bisa gitu, Mbak. Mesti jadi setan lho kita.”
“Bisa kok. Temanya kan yang penting horror. Penyihir kan horror.”
“Penyihir baik ya nggak horror, Mbak. Horor itu kayak Valak, hantu Belanda, Vampir, Kunti, Pocong. Nah, itu...horror.”
“Iya sih... Tapi masa aku jadi Kunti atau Pocong? Kan nggak elegan, Ran. Hantu Indonesia melarat. Buruk rupa lagi! Ih. Mau jadi hantu luar negeri tapi sama aja sih kayaknya. Valak kelihatan melarat gitu. Kamu mau jadi apa?"
“Aku mau ijin bolos, Mbak.”
“Bolos kok pakek ijin. Ijin kok buat bolos. Gimana sih... Rannnn....Ran.... Kamu itu pegawaiku yang... Apa ya? Si paling anak baik-baik. Ngerti nggak? Kamu tuh bisa lho pakai alasan ada urusan keluarga yang mendadak, gerd kambuh, atau apa aja deh. Eh, kamu malah ijin buat bolos. Nggak boleh. Kamu harus hadir. Pikiran deh kostumnya apa. Atau, kamu mau kita pake kostum yang yah...satu tema lah. Jadi Dorothy aja. Gampang lah untuk kostumnya. Bareng aku aja... Beli online. Tiga hari nyampe lah.”
“Oke, Mbak.”
“Nah, gitu dong. Aku whatsapp link kostumnya. Empat ratus ribuan aja loh. Lima ratus kalau ditambah ongkos kirim. Tinggal kamu cari sepatu merahnya, keranjang, sama boneka anjing. Kan nggak mungkin bawa anjing benaran kan yaaa...”
Entah mengapa Rani malah berpikir, betapa lucunya jika ia boleh membawa seekor anjing ke pesta, dan bagaimana jika anjing itu membuat kekacauan? Pasti kelakuan anjing itu bisa ia jadikan alasan untuk cepat-cepat cabut dari tempat pesta.
(***)
Kostumnya datang tepat waktu, dan Rani merasa geli sendiri ketika mencobanya di depan cermin. Hanya dengan berganti kostum, ia tiba-tiba jadi sosok remaja baik-baik, petarung-pejuang yang berusaha kembali ke rumah setelah menjelajah negeri fantasi. Hal ini membuatnya mengenang KartiniDigital. Dalam kajian-kajian KartiniDigital, Dorothy sering dijadikan contoh kisah yang berpihak pada perempuan. Dorothy adalah perempuan dan Dorothy adalah pahlawan. Rani membaca kisahnya dua kali, menonton filmnya sekali, dan tak bisa tidak bersimpati pada tokoh-tokoh yang berpetualang bersama Dorothy, terutama manusia jerami yang tak punya otak itu. Ia sering membayangkan, betapa sulitnya hidup jika seseorang tak punya otak, tak mampu berpikir bagaimana caranya untuk menaklukkan hidup, tak punya strategi. Orang yang tak punya strategi bahkan tak membutuhkan medan perang untuk jadi kalah. Mereka telah kalah sejak awal. Sebaliknya, ia tak bisa bersimpati kepada manusia kaleng yang menginginkan hati. Buat apa? Perasaan sering hanya membawa masalah saja. Terutama kalau salah diarahkan. Rasa sedih, misalnya, bisa membuat seseorang enggan melakukan apa pun. Rasa marah bisa membuat seseorang nekat melakukan perbuatan buruk hanya untuk membalas dendam. Segala yang terkait rasa sering hanya membawa sengsara saja. Rasa dapat dimanipulasi lewat kata-kata, aroma, sikap tubuh, tetapi otak sulit untuk ditipu. Sekali otak membuat kalkulasi berdasarkan pertimbangan logis, otak tak akan berubah lagi. Sedangkan rasa... Makan Indomie pun bisa bikin senang.
Rani mencoba kostum itu lengkap dengan sepatu merahnya. Warna merah sepatunya memang tak persis seperti gambaran dalam film. Sepatunya burgundy. Tapi, tak apa. Yang penting, warna sepatunya tetap ada dalam spektrum warna merah. Lagi-lagi, saat memperhatikan bayangannya di cermin, Rani mengingat masa-masa ketika ia masih aktif di KartiniDigital. Ada kajian tentang simbolisme dalam sebuah pertemuan, dan sepatu merah dianggap sebagai simbol perlawanan; sebuah dongeng Eropa bercerita tentang anak perempuan bersepatu merah yang tak dapat berhenti menari karena mengenakan sepatu merah. Rani tak bisa mengingat isi dongeng dengan persis, tapi ia ingat, Ayu mengatakan sepatu merah adalah lambang pemberontakan karena anak perempuan itu dikutuk untuk tak henti-hentinya menari. Menari adalah kegiatan yang menyenangkan, perempuan dilarang bersenang-senang— ucapan Ayu masih diingatnya meskipun Ayu sudah pindah ke Amerika Serikat untuk mengejar gelar S2-nya.
Segalanya serba sesuai untuk Rani. Ia hanya tinggal memoles dan memulas dirinya agar bisa tampil layak pada pesta kostum itu. Unleash Your Inner Shadow, temanya.
“Harusnya sih jadi setan.” Pikir Rani. Tapi, jika manager pemasaran memilih kostum demi kepentingan untuk tetap tampil cantik, maka ia pun harus menyesuaikan. Mengenakan kostum kunti atau pocong, sama seperti kata Mbak Sulis, bukanlah pilihan elegan.
(***)
“Mau ke mana, Mas? Kok dandanannya aneh gitu?”