Malam menyembunyikan ketelanjangan, namun tak dapat menelan segala hingga lenyap. Bau alkohol tertinggal pada boneka anjing yang selama pesta selalu dijaganya agar tak terlepas dari keranjang, dan Rani yang percaya bahwa ia masih berada dalam kondisi tipsy seperti semalam tak bisa tidak menyingkirkan boneka itu, boneka yang tergeletak persis di depan hidungnya. Ia membuang boneka itu ke sembarang arah dengan sekuat tenaga. Terdengar bunyi dari boneka itu yang jatuh menimpa entah apa; bunyi krek krek yang sampai ke telinganya membuat Rani menebak bahwa si boneka mendarat di meja riasnya, menimpa kemasan-kemasan skin care, atau botol parfum. Tak masalah. Nanti akan ia bereskan jika sudah tak tipsy lagi, jika seluruh kesadarannya sudah terkumpul, jika akal sehatnya telah kembali, jika bayangan Panca, Mas Panca, memeluk pinggangnya dan merapatkan tubuhnya untuk melantai telah pergi jauh, lesap oleh waktu.
“Daripada aku dekat-dekat sama cewek lain, iya kan? Nanti jadi masalah kalau ada yang laporan ke Dedes.”
Apakah kalimat Mas Panca cuma dalih? Rani tak bisa menentukan secara pasti. Ada yang bercabang lada ucapan Panca, dan Rani bisa merasakan sesuatu yang lain, sesuatu yang berbeda itu; aku menyerahkam diri untukmu, sekarang, terserah apa yang mau kau lakukan, aku yakin kau mempertimbangkan juga soal Dedes dalam urusan ini, jika tidak... Apa kau benar sahabatnya? Begitulah Rani menerjemahkan kalimat Panca sebelum ia berdansa bebas-lepas dalam pelukan lelaki itu, lelaki yang ikut menggumamkan lirik lagu “I need you baby, to warm my lonely night...” di telinganya.
“Kenapa nggak ngajak Dedes? Kan bisa lebih seru. Pencitraan masih lajang ya?”
Rani tertawa kecil di akhir tanya. Menutupi jengah. Seseorang harus membahasakan yang tersirat, dan itu tugasnya sebagai perempuan, sesama perempuan.
“Nih.” Panca menunjukkan cincin kawin di jari manisnya. Matanya mengerling jenaka. “Kalau pencitraan, cincin dilepas-lah. Aku nggak bodoh.”
“Oh...”
“Kalau sama kamu kan lebih aman, Ran. Kita pernah kenal, kamu temannya Dedes. Aman kan? Tenang aja, nggak bakal ada apa-apa kok.”
Ucapan Panca malah terdengar seperti tantangan bagi Rani. Dalam sekejap, ia jadi kanak-kanak yang malah ingin melakukan apa pun itu yang dilarang, yang terlarang; Panca umpama permen, dan larangannya adalah Rani tak boleh makan permen untuk menjaga kesehatan giginya, tapi, kanak-kanak mana yang setia pada larangan?
(***)
“Eh, waktu SMA, Dedes orangnya kayak gimana?”
Panca memasangkan seatbelt. Tak ada basa-basi yang lebih baik, lebih grounded baginya dari bertanya soal sang istri, Dedes yang lugu dan sederhana, Dedes yang menunggu tanpa banyak bertanya. Tiba di rumah, ia pasti akan bertanya soal Rani kepada Dedes, mencocokkan cerita-cerita yang didengarnya dari Rani.
“Dedes suka jajan cilok di seberang jalan, rumpi. Sukanya ngobrol di kantin sambil makan gorengan. Berdua sama aku. Teman-teman cowok kita buaaanyak. Teman cewek cuma satu. Dimana ada Dedes di situ ada aku. Dedes nggak pernah cerita ya?”
Rani mengelus boneka anjing dalam pelukannya, dan Panca berusaha menahan tawa. Rani tampaknya memang tak lagi sepenuhnya sadar. Boneka disangka anjing beneran. Dielus-elus pula.
“Nggak sih. Paling cerita soal masa kecilnya. Aku jarang dengar dia cerita soal masa SMA-nya. Makanya, aku penasaran nih. Pacarnya banyak?”
“Nggak. Nggak mau pacaran dia. Anak baik dan anak baik-baik. Jadi...”
Kamu dapat perawannya. Rani menahan kata-kata yang sudah hendak ia muntahkan.
“Jadi apa?”
“Mas nggak akan menyesal sama Dedes.”
“Lho, memang aku sudah jadi suaminya dan nggak menyesal. Ran, kamu nyimak pembicaraan ini atau... Wah, untung nih aku nawarin untuk diantar pulang. Gawat lho Ran kalau kamu nekat nungguin temanmu dulu. Bisa teler sendirian di meja. Omonganmu mulai nggak teratur. Stay alert ya, Ran, aku nggak mau nyasar.”
“Aku juga nggak mau nyasar.”
Rani menguap.
(***)
Ada retak pada ingatan Rani. Ia tak ingat siapa yang memulai adegan berciuman, di dalam mobil, satu belokan sebelum masuk gang rumahnya. Tapi, ia ingat, betapa hangat telapak tangan Panca ketika menelusuri tubuhnya. Panca seperti pemahat handal, dan ia batu yang siap menjadi patung; Panca memegang kuas, dan ia kanvas yang menunggu untuk dilukis. Di mobil itu, ia dan Panca berjejalin. Dua yang melebur jadi satu. Melupakan dunia yang berputar teratur, yang memiliki aturan; chaos, kacau, ia masih Rani yang dulu yang ingin merusak tatanan, ia masih si over idealis yang mesti mendapatkan, ia masih KartiniDigital yang mencintai kebebasan.
“Kamu nggak bakalan kenapa-kenapa kan, Ran?”
“Nggak. Ini konsensual.”
“Bahasamu lho, aktivis banget.”
“Maksudku, aku nggak bakal menuntut kamu macam-macam, Mas. Kalau memang kamu juga nggak masalah.”
“Oke. Terus?”
Ada yang retak pada ingatan Rani. Setelahnya, layar gelap. Ia ingat mencium bau alkohol, dan khawatir pada si boneka anjing, kalau-kalau boneka anjingnya tergencet, digencet. Bagaimanapun juga, si boneka telah menemaninya selama pesta, dan ia tak mau kehilangan kenang-kenangan dari pesta itu.