Apa yang bisa membebaskan seorang manusia dari kesedihan? Yang jelas bukan mandi, dan Dedes yang menguyur tubuhnya dengan air dingin untuk menghilangkan gelisah paham betul bahwa tak ada yang bisa menghilangkan kesedihan secara sempurna, total; yang ada hanyalah kesedihan yang coba diobati dengan macam-macam cara, tapi, bahkan sebuah goresan pun pasti meninggalkan bekas pada kulit; bagaimana ia berani berharap kesedihannya hilang? Dedes bahkan tak bisa mensenyapkan suara-suara di dalam benaknya sendiri, suara-suara yang penuh penghakiman, suara yang mengganggu tidur dan bangunnya, suara Rani; kamu nggak bisa apa-apa jadi nggak pantas ada bersama Mas Panca, Mas Panca itu butuh perempuan yang seperti aku. Kamu mengalah saja. Harusnya kamu belajar dari aku! Sialan betul perempuan tidak tahu diri itu, dan Dedes menyesal karena ia mengatakan hal-hal baik tentang Rani kepada Panca; Rani teman yang baik karena royal suka mentraktir, Rani suka kasih contekkan PR, Rani pintar banget soal urusan mengatur ini dan itu, Rani nggak cengeng. Tak sedikit pun ia menaruh curiga, bahkan ketika Panca bertanya terus-terusan tentang Rani. Ia menunjukkan foto-foto dari laman sosmed-nya, dan cuma membalas singkat Mas kan memang nggak nanya tentang masa sekolahku dulu, makanya aku nggak jawab, ketika Panca menggumam “Aku kok baru tahu ya ternyata kamu punya teman cewek, kukira temanmu cowok semua.”
Dedes keluar dari kamar mandi dengan aroma tubuhnya yang dulu, aroma tubuh ketika ia masih menjadi istri, aroma jeruk, aroma yang coba ia hilangkan selama ini. Baginya, mandi dengan sabun yang sama dengan sabun yang ia gunakan selama menikah adalah pertanda bahwa kehancuran pernikahannya itu tak mempengaruhi ia sedikit pun; Dedes ibarat seorang perempuan yang ingin berteriak lantang "Lihatlah, biarpun wangi sabun ini mengingatkanku pada pernikahan yang menyedihkan itu, aku tak apa-apa, aku berani menghadapinya."
Sesungguhnya, Dedes tak punya banyak rencana. Sidang perceraiannya baru memasuki masa mediasi, dan ia harus bertemu dengan Panca sekali lagi untuk merundingkan kemungkinan rujuk. Pada pertemuan pertama, ia dan Panca sama-sama tak hadir. Pada pertemuan ke-dua nanti, Dedes sudah berencana tak akan hadir. Lebih cepat bercerai lebih baik. Ia tak tahan berada di antara Panca dan Rani, tak peduli betapa pun ibunya berusaha mengompori; kamu harus berjuang, kan itu suamimu. Masa suamimu dirampas kamu diam saja? Baginya, tak ada yang merampas dan dirampas. Jika Panca bisa berpindah agama secara sadar untuk menikah, artinya ia bisa juga mengambil keputusan untuk bersama dengan Rani tanpa dipaksa. Dedes tak percaya suaminya, yang bakal jadi mantan itu, adalah lelaki lemah. Panca lelaki dewasa berkemauan kuat yang selalu mau melakukan apa pun untuk mendapatkan keinginannya. Tak ada yang merampas dan dirampas. Panca dan Rani sama-sama mau, sama-sama menikmati hubungan terlarang mereka. Jika ia nekat mempertahankan lelaki yang hati dan tubuhnya sudah bukan untuknya lagi, dirinyalah yang akan menderita. Kamu nggak takut jadi janda? Tanya ibunya. Nggak ada yang menafkahi lho, desak ibunya lagi; perempuan itu tak kalah sedih menyaksikan puterinya dikhianati, tapi, dua telapak kakinya kokoh berpijak pada kenyataan. Dedes tak punya pekerjaan, dan anaknya itu hidup di jaman dimana saingannya adalah para sarjana. Dedes bisa saja meneruskan usaha warung kecilnya, tapi, apa iya segala kemudahan hidup yang diperolehnya karena menikah dengan Panca rela ia buang begitu saja? Bagaimana kalau kesulitan hidup membuat Dedes malah stress dan jadi gila. Aku bisa cari duit sendiri, Bu. Jawaban yang diberikan Dedes tak bisa menghentikan laju cemas dalam benak sang ibu. Meski tak ada yang bisa ia lakukan, perempuan itu menggumam lagi, semoga kena batunya orang itu. Orang itu adalah Rani. Biarin ajalah, Bu. Mudah-mudahan aku dapat ganti yang lebih baik. Ibunya yakin tak ada yang lebih baik dari Panca. Bagi perempuan itu, Panca adalah paket komplit menantu yang membanggakan keluarga. Ganteng, hidup serba cukup, mualaf. Tak ada yang kurang dari Panca. Sebaliknya, Dedes bukan apa-apa, bukan siapa-siapa. Mendapatkan Panca ibarat menang lotere, dan hadiah sebesar Panca sudah pasti ingin diambil oleh siapa pun. Sayang, Dedes terlalu bodoh sehingga tak terbersit sedikit pun niat di dalam hatinya untuk merebut Panca kembali. Dedes membiarkan saja ibunya berpendapat. Ibunya tak tahu bahwa ia sempat berjuang untuk menyelamatkan pernikahan itu, dan ia telah lelah menyalahkan dirinya sendiri. Ibunya hanya tahu bahwa tiba-tiba saja Panca selingkuh, dan tiba-tiba saja Panca menggugat cerai. Padahal, tak pernah ada yang tiba-tiba di bawah kolong langit. Segalanya terajut perlahan-lahan, namun, sekali terlanjur menjadi pola yang mengikat, tak mungkin lagi pintalan demi pintalan itu diuraikan kembali tanpa ada yang terluka.
Dedes tak ingin jadi yang terluka. Lagi.
(***)
“Sudah selesai mandi?”
Dedes mengabaikan pesan Dera. Ada banyak hal yang harus ia kerjakan. Setrikaan di rumah menumpuk, dan ia masih harus membantu ibunya mengurusi warung. Dua hari yang lalu, ia sempat ditawari Ci Melan untuk kembali bekerja di toko pakaian. Kamu bantu ngurusin online storeku bisa nggak? Bisa ya? Urusanmu dengan Panca ya urusanmu dengan Panca. Kamu pegawaiku yang paling pinter, paling telaten. Dedes menolaknya dengan alasan mau membantu bisnis ibunya. Namun, alasannya yang sebenarnya adalah ia tak ingin berurusan dengan siapa saja yang terkait dengan Panca. Suka tak suka, Ci Melan adalah kerabatnya. Jika gara-gara Ci Melan ia bertemu Panca, bukan tak mungkin gara-gara Ci Melan pula ia bertemu lagi dengan Panca plus Rani. Kapan ia bisa move on?
Dirinya, Dedes, ibarat rumah yang tertutup, rumah yang pintunya telah dikunci, untuk segala sesuatu yang berkaitan dengan Panca dan Rani, termasuk orang-orang di sekitar mereka, apalagi keluarganya. Bagaimana mungkin dalam gugatan cerainya Panca memasukkan poin “Tidak bisa akur dengan mertua” sebagai salah satu alasan menggugat cerai? Sejak menikah, ia bahkan tak pernah melihat langsung batang hidung ayah dan ibu Panca. Dasar lelaki, kalau sudah kepingin kawin dengan perempuan lain, ada saja alasan yang bisa dikarangnya hanya agar bisa resmi bercerai. Walau Ci Melan bukan ayah atau ibu Panca, kemarahan Dedes ditujukan untuk semua...semua yang punya hubungan darah dengan lelaki yang akan segera sah jadi mantan suaminya itu.