Dari balik jendela dapur rumah orang tuanya, Zaitun Maria mengamati pemandangan yang serba muram. Langit abu-abu. Laut terlihat tenang-sepi. Tak ada satu pun kapal nelayan lalu lalang seperti biasanya. Hanya ada daun-daun nyiur yang lepas oleh angin kencang, hanyut terbawa ombak, mengambang pada permukaan laut seperti angan-angan yang patah atau cita-cita yang tak kesampaian, dan Zaitun Maria yang masih menahan kantuk dapat merasakan suasana muram di sekitarnya mempengaruhi juga suasana hatinya. Ia jadi ingin kembali meringkuk di balik selimut, mendengarkan lagu-lagu bernuansa sendu. Barangkali lagu-lagu Norah Jones yang tersimpan di ponselnya, atau, lagu-lagu Ambon yang mendayu-merayu. Apa pun untuk merayakan perginya angin kencang dan hujan deras yang membuatnya susah tidur.
Semalam-malaman terjadi badai, dan sejak petang telah terlihat tanda-tandanya; senja belum turun namun langit telah merah, dan terdengar suara ratusan burung-burung gagak melintasi perkampungan, menuju wilayah perbukitan di utara. Burung-burung gagak itulah penanda utama datangnya badai; burung-burung gagak itu tinggal di pulau S, pulau tak berpenghuni yang bundar-telur, sepuluh menit bersampan dari tepi laut, dan hanya jika burung-burung gagak itu telah menginderai gelagat terjadinya badai maka burung-burung itu ramai-ramai terbang sambil berkoak-koak menuju wilayah perbukitan tak berpenghuni di barat daya. Sebelum senja turun, dan langit kelam-gelap, angin kencang telah bertiup, menggoyang-goyangkan dedaunan pohon-pohon nyiur sehingga pohon-pohon nyiur yang tumbuh berdekat-dekatan itu terlihat seperti serombongan penari tarian perang yang tengah asyik meliuk-liuk mengikuti alunan musik yang menghentak-hentak. Ayah Zaitun bergegas mengumpulkan daun-daun kering ke dalam karung. Tadinya, ia ingin membakar daun-daun tersebut. Asap dari pembakaran sampah niscaya dapat mengusir nitu, hantu laut yang jahil terhadap manusia. Namun, rencananya ia ubah sesuai kondisi alam. Daun-daun yang ditaruh di dalam karung itu bisa dibakar kapan-kapan, saat cuaca sudah kembali cerah. Ibu Zaitun bergegas masak untuk makan malam, dan adik Zaitun, Tere, disuruhnya untuk menyiapkan keperluan makan malam di ruang tamu yang merangkap ruang keluarga. Zaitun kebagian tugas mengandangkan ayam-ayam, dan menutup kandang dengan terpal. Jika hujan, ayam-ayam peliharaan ayahnya tetap aman.
“Induk hitam yang anaknya ada tujuh itu, masukkan ke dalam dos. Dia tempatnya nanti di dapur.”
Ayahnya memberi komando. Sigap, Zaitun menghitung memanggil Si Hitam —ayam betina itu tiba-tiba jadi penurut— masuk ke dalam kardus Indomie yang telah dilapisi kain-kain perca; ibunya pastilah yang menggunting kain-kain itu sebab Zaitun mengenali guntingan kaos partai ayahnya dijadikan alas pada kardus.
“Hitung dulu itu jumlah anaknya pas atau tidak. Kau punya bapa tidak mau kurung itu ayam. Ada kucing suanggi di sekitar sini. Kucing makan atau tidak, kita tidak tahu.”
Si Hitam berkotek-kotek, petak petok seolah menimpali perkataan ibu Zaitun. Tere tertawa, dan hasilnya...kepalanya dijitak centong nasi.
“Kau punya mama itu tidak jelas betul dia. Tidak tahu khawatirnya karena apa. Ayam ada baik-baik saja, tapi dia pusing pikir kucing. Kucing saja dia bilang kucing suanggi.”
Zaitun Maria menghitung lagi jumlah anak-anak ayam. Tujuh. Seluruhnya hitam. Genap, Zaitun Maria membatin. Ganjil yang genap karena angka tujuh adalah angka ganjil tapi jumlah anak ayamnya pas, genap, genap yang berarti tak ada yang kurang.
“E...laki-laki e... Kau tidak tahu ka ada kucing suanggi. Itu kucing keliaran dari rumah ke rumah, ambil orang punya ikan, persis manusia saja. Jangan bilang kau baru tahu juga ada suanggi yang bisa berubah jadi kucing. Kucing, anjing, ular, tokek, semuanya mereka bisa. Namanya juga turunan setan. Namanya juga orang pake ilmu hitam. Ilmu setan.”