Relung Samudera

Aruna Magda
Chapter #12

Riwayat

Ia lahir bersamaan dengan purnama ke sebelas tahun itu, dan ketika dukun beranak, Mama Ruba, yang menolong persalinannya menangkup kepalanya dengan kedua belah telapak tangannya, perempuan tua yang telah menolong persalinan semua anak di kampung ibunya mengatakan, kencang juga dia dorong badannya sendiri, ini tanda-tanda anak laki-laki tukang jalan. Ibunya yang sedang mengejan bisa merasakan cukup dua dorongan lagi, dua tarik-embus napas, seluruh tubuh anak sulungnya akan berada di luar tubuhnya. Tak ada jeda untuk istirahat. Ketika mendengar "anak laki-laki" dengan segera ia mendorong bayinya keluar, berharap yang terlahir adalah seorang anak perempuan.

Orang-orang, bahkan Mama Ruba, mengatakan bayinya akan berjenis kelamin lelaki, dilihat dari penampilannya yang kusut-gembel selama mengandung; ia malas mandi, jarang menyisir rambut, dan berpakaian kaos gombrong serta celana pendek milik suaminya. Bentuk perutnya pun lancip-runcing, menonjol ke depan. Namun, ia tak yakin betul pada ucapan orang-orang di sekitarnya, termasuk Mama Ruba yang sudah tiga puluh tahun jadi dukun beranak. Siti Hafisa berdoa saban hari, meminta anak perempuan. Ia juga menyiapkan nama hanya untuk anak perempuan: Fatimah.

“Anak laki-laki, ada burungnya.” Mama Ruba mengumumkan dengan suara keras, ditimpali tangis kencang si bayi. Harapan Siti Hafisa untuk mendapatkan anak perempuan lenyap sudah, meski perhitungannya tepat. Dua dorongan saja, dan ia dapat merasakan seluruh tubuh bayinya keluar melalui jalan lahir. “Panggil bapaknya untuk adzan.” Mama Ruba yang dengan sigap sudah membersihkan si jabang bayi berteriak kepada rombingan keluarga Siti Hafisa yang sedang menunggu di ruang tamu rumah; peristiwa kelahiran selalu adalah sebuah perayaan, dan adik-adik perempuan Siti Hafisa telah datang untuk membantu menjerang air, memasak, menyediaan kopi dan panganan untuk para lelaki yang tugasnya berjaga-jaga agar proses kelahiran tak dirintangi apa pun.

Seorang lelaki bertubuh kurus, dengan hidung bangir persis keturunan timur tengah bergegas masuk ke dalam kamar berukuran 3x4 meter persegi. Wajahnya pucat sebab ia takut melihat darah, dan tubuhnya menggigil melihat gumpalan daging yang belakangam diketahuinya sebagai ari-ari. “Kasih adzan dulu, Amir. Habis itu, kubur ari-arinya.” Lelaki itu melakukan segala yang diperintahkan Mama Ruba, bergerak lekas-cepat layaknya seorang nelayan membersihkan isi perut ikan hasil tangkapannya sebelum dibawa ke dapur rumahnya. Ia tak menatap ke mata istrinya, Siti Hafisa, dan perempuan itu langsung tahu bahwa suasana hati suaminya jauh dari sukacita karena mendapatkan seorang anak. Bahkan, ada rasa takut yang menyelinap di sana, takut akan masa depan yang sudah pasti menanti bayi yang baru lahir itu.

Jika bayinya perempuan, lelaki itu, Amir, bakal sumringah. Sayang, bayinya adalah seorang lelaki. Kehadiran bayi lelaki dalam keluarga Amir sama artinya dengan kelahiran penerus kutukan. Kutukan yang dipikul Amir, juga, saudara-saudaranya yang lelaki. Kutukan yang telah mengikuti keluarga Amir selama beratus-ratus tahun, sejak jaman seluruh wilayah pulau tempat tinggalnya masih disebut pedagang Portugis dengan nama Cabo de Flores; Tanjung Bunga.

(***)

Para penjelajah berkulit putih, berambut kuning-merah, berpupil topas mulai mondar-mandir di wilayah pelabuhan, dan pada masa itulah leluhur Amir Syarifudin, Aba, yang telah memasuki usia remaja ditandai oleh perubahan suaranya yang nyaring kanak-kanak menjadi serak-janggal menuju suara berat khas lelaki dewasa, mulai melaut berbekal sampan dan jala yang dibagikan secara cuma-cuma oleh kepala suku L sebagai bekal hidupnya; Aba adalah seorang yatim piatu, kanak-kanak yang ditemukan dalam sampan yang terdampar di tepi pantai perkampungan nelayan itu saat usianya kira-kira dua tahun; tak seorang pun bertanya tentang asal-usulnya, tak seorang pun tertarik mencari tahu darimana Aba berasal. Seluruh warga perkampungan maklum, anak-anak yang dibuang ke lautan mestilah anak-anak yang tak diinginkan kehadirannya, anak-anak hasil perzinahan, atau mungkin anak-anak dari kaum yang diusir dari kampung halamannya bersama orangtua yang tak bisa bertahan hidup di tengah lautan. Karenanya, mencari tahu perkara asal usulnya hanya akan jadi usaha yang tak perlu, buang-buang waktu belaka. Para nelayan ysng melihat anak lelaki itu, pada saat itu juga, bersepakat bahwa kanak-kanak itu adalah rejeki dari laut untuk kampungnya, rejeki yang harus dirawat dan dipelihara bersama. Begitulah, selalu, yang diceritakan kepada Aba soal asal-usulnya, perihal riwayatnya jika ia mulai mengeluhkan kulitnya yang putih-kemerahan dan hidungnya yang mancung, dan pupilnya yang cokelat; kau anak yang datang dari laut, makanya, kau berbeda. Bahkan, namanya, Aba, berasal dari suku kata yang ia ucapkan sendiri berulang-ulang ketika ia ditanyai nama kau siapa?

Aba, remaja tanggung itu, ternyata bukan pelaut yang tangguh. Sesudah hari pertamanya melaut, ia masuk angin; muntah-muntah hingga telapak kaki dan tangannya dingin bak jenazah. Ia baru sembuh setelah dicekoki arak oleh istri kepala suku L; tubuhnya kembali panas, dan telapak tangan dan kakinya hangat-merah. Kali kedua ia pergi melaut, tubuhnya meriang, panas-dingin selama tiga hari berturut-turut. Ia sembuh dengan sendirinya. Warga kampung menyuruhnya berganti pekerjaan. Jadi padagang ikan di pasar barter, atau, memelihara binatang ternak. Tapi, Aba menolak. Satu-satunya pekerjaan lelaki yang ia anggap jantan adalah melaut. Ia bayangkan malam-malam yang akan ia habiskan di atas sampan, menebar jala, dan menunggu hasil tangkapan ditemani arus dan cahaya rembulan; suasana romantis yang dibayang-bayangkannya itu berasal dari mimpi basahnya yang pertama; Aba memimpikan percintaan dengan seorang perempuan di atas sampan yang sedang berayun-ayun, terbuai oleh gelombang lautan. Sinar bulan yang keperakan jatuh di atas tubuh si perempuan. Aba terbius oleh wajah cantik perempuan yang belum pernah dilihatnya itu. Ia yakin, perempuan itu adalah calon istrinya, dan perempuan itu berumah di lautan. Maka, Aba tak mau menyerah. Untuk ketiga kalinya, ia kembali melaut. Ia percaya, takdir menyukai lelaki-lelaki pemberani, dan perempuan cantik dalam mimpinya, perempuan yang bercinta dengannya itu, akan menjumpainya di lautan. Bagaimana caranya, atau darimana sesungguhnya asal muasal perempuan itu, Aba tak peduli. Sama seperti dirinya tak punya asal muasal yang jelas, perempuan itu pun ia bolehkan untuk tidak mempunyai asal muasal yang jelas. Aba hanya percaya, takdir telah memberinya petunjuk, dan menaati petunjuk takdir adalah kunci bertahan hidup.

Untuk ketiga kalinya ia pergi melaut. Bulan sabit. Venus terlihat mengisi bagian yang kosong, bagian dari bulan yang sembunyi sehingga tak tampak bulat penuh. Aba —yang buta soal rasi bintang dan perbintangan, yang adalah nelayan muda yang mengikuti saja arahan para nelayan-nelayan tua untuk mengayuh sampannya ke wilayah teluk di ujung pulau— menganggapnya sebagai pertanda baik. Sementara para nelayan yang lebih berpengalaman menyuruhnya berhati-hati terhadap godaan nitu, hantu laut, yang bisa menyamar menjadi istri. Aba tak peduli pada peringatan itu karena ia belum beristri. Bagaimana mungkin nitu menyamar menjadi sosok yang tak ada? Ia lebih takut tubuhnya yang ringkih itu kembali meriang terkena angin semalam-malaman. Begitulah, Aba pergi melaut tanpa ditemani rasa cemas terhadap nitu, tetapi berkawan bayang-bayang rasa takutnya sendiri karena kondisi tubuhnya yang ringkih, dan perempuan itu pun menghampirinya, perempuan yang pernah ia mimpikan.

Mulanya terdengar kecipak di sekitar sampan. Lalu, sampan kurusnya oleng ke kiri dan ke kanan seperti buaian bayi yang digerakkan oleh tangan seseorang. Belum sempat Aba berteriak, sampan itu didorong menuju bagian teluk yang paling sepi, jauh dari nyala lampu-lampu pelita pada sampan-sampan para nelayan lain. Dalam sepi yang malah membuatnya penasaran, seseorang atau sesuatu, meloncat masuk ke dalam perahu. Seseorang atau sesuatu itu adalah sosok perempuan. Rambutnya merah, dan giginya kilau mutiara yang berderet-deret ketika ia tersenyum terlalu lebar ke arah Aba. Tubuhnya telanjang. Payudaranya tegak menantang. Dan sisik-sisik pada pinggangnya berkilau keemasan. Pupil perempuan itu biru laut, dan ketika pandangannya dan pandangan Aba bertaut, Aba merasa telah memahami rahasia semesta; perempuan itu adalah takdirnya. Maka, Aba tak bertanya kau siapa? Tetapi ia berucap lantang siapa nama-mu, dan apa tujuanmu?

Lihat selengkapnya