“Bagaimana e Dera, kau yang bekerja malah pinjam di saya yang pengangguran. Dulu saya bisa bantu, masih ada uang bulanan. Sekarang sudah susah.”
Zaitun Maria memperhatikan Si Hitam yang sibuk berkotek, seolah merengek minta dipindahkan dari dapur. Ia bergerak lekas membuka pintu dapur, membuka terpal kandang ayam bertingkat dan melihat ayam-ayam peliharaan bapaknya yang lain; lima jantan, dua betina, lima belas ayam remaja yang belum bisa ia ketahui apa jenis kelaminnya— untuk memastikan tak ada yang semalam-malaman diguyur hujan karena ada terpal yang bocor. Ayam-ayam peliharaan ayahnya itu meringkuk pada kandang tingkat dua, sementara tanah dibawahnya digenangi air. Ponsel di saku celana pendek Zaitun Maria bergetar, pertanda ada sebuah pesan masuk, dan Zaitun Maria sengaja mengabaikan pesan itu. Ia yakin, pesan yang masuk itu berasal dari Dera. Ia juga yakin, mengabaikan Dera adalah pilihan yang paling jitu-baik. Perasaannya mengatakan, Dera akan menggunakan uang pinjaman untuk hal-hal buruk. Mabuk-mabukkan misalnya. Memang di kampungnya, Dera terhitung sebagai pemuda baik-baik. Tapi, di rantau, siapa tahu? Apalagi, ini bukan kali pertama Dera meminjam uang padanya. Sejak jaman SMA, ada saja alasannya untuk meminjam. Terakhir ia meminjam tiga ratus ribu. Ongkos makan di kapal menuju Kalimantan. Zaitun memberikan, bukan meminjamkan. Tak ada ruginya menolong seseorang yang sedang berusaha memperbaiki nasib. Ia memang tak bisa menolak Dera, namun, kali ini... Zaitun Maria memilih memindahkan Si Hitam ke kandang sekaligus menjernihkan pikirannya.
“Sini kau, pindah ke kandang. Jangan bergerak-gerak kesana kemari juga. Bisa jatuh anak kau. Bagaimana kalau ada kucing suanggi.” Zaitun Maria mengoceh, dan Si Hitam membalas dengan bunyi petak petoknya yang serak itu. Suanggi? Duh! Zaitun tiba-tiba tersadar, ia bicara seperti ibunya.
(***)
Dera membaca pesan itu dengan kepala dingin dan hati yang panas. Biasanya, Zaitun Maria selalu dapat diandalkan. Namun, justru di saat yang genting, perempuan itu malah mempertanyakan keputusan hidupnya. Dera membaca pesan balasan dari Zaitun Maria berulang-ulang, dan memutuskan untuk tidak membalas pesan itu. Zaitun Maria bukan apa-apa, bukan siapa-siapa, hanya seseorang dari kampungnya, seseorang yang meski telah kenal bertahun-tahun, telah karib sejak kencingnya belum lurus, toh tetap saja termasuk dalam orang-orang yang mencurigai keluarganya macam-macam. Berbeda dari Sulaiman, Zaitun Maria pernah menorehkan luka baginya, dan meskipun kisahnya dan Zaitun Maria telah lewat bertahun-tahun lalu, Dera masih menyimpan luka itu di relung rahasia dalam batinnya, relung yang ia beri label: luka yang tak perlu ditengok lagi.
(***)
Malam minggu. Dera yang masih SMA kelas satu lagi-lagi nongkrong bersama Sulaiman dan Niko di pos ronda, di perempatan jalan menuju sekolahnya dan asrama putri yang terletak di seberang jalan. Usia lima belas merupakan usia yang canggung. Sudah bukan remaja, tapi belum layak disebut dewasa. Di malam minggu, anak-anak SMA diberi ijin nongkrong di tempat yang biasanya jadi tempat lelaki dewasa minum-minum sampai pagi. Tak ada tuak, hanya ada kartu dan pisang goreng. Malam itu Dera tak melaut, seperti malam-malam minggu lainnya. Ia minta ijin mengintai murid-murid perempuan yang tinggal di asrama puteri dekat sekolah. Murid-murid perempuan itu berasal dari kampung-kampung lainnya yang tak punya sekolah tingkat SMA. Memindai mana murid perempuan yang sudah punya pacar, mana yang masih jomblo bukan perkara mudah. Ia, dan Niko harus nongkrong berjam-jam, memperhatikan siapa-siapa saja yang lewat dari dan menuju asrama putri, dan dari jauh memperhatikan siapa berjumpa siapa. Setelah memetakan, barulah Dera berencana cari pacar. Bukan pacar sungguhan, tapi pacar-pacaran, sekadar agar ia punya pengalaman dengan perempuan. Sulaiman ikut nimbrung. Ia sudah punya pacar, sudah kawin dengan pacarnya, dan tinggal soal waktu saja dipaksa menikah agar tak jadi aib bagi keluarga. Soal sekolah, Sulaiman sudah menyerah. Ia memilih untuk melaut saja. Mencari uang untuk kebutuhan hidup adalah pilihan yang lebih masuk akal baginya ketimbang menghabiskan waktu di sekolah. Ada perut-perut yang harus diisi; ibu dan adik-adiknya— dan tak ada yang bisa membantu menafkahi kecuali Sulaiman yang sudah cukup umur dan kuat tenaganya itu.
Ada dua perempuan yang diincar Dera. Pertama, Sinta, anak dari kampung di balik bukit. Tubuhnya bongsor, dan ia selalu ramah-genit kepada siapa pun. Saking ramahnya, Sinta dianggap sebagai perempuan yang punya banyak pacar. Namun, Dera telah memata-matai asrama puteri tempat Sinta tinggal. Di malam minggu, ia tak menerima kunjungan lelaki. Mungkin ia punya pacar di kampung, pikir Dera, tapi itu tak penting. Orang jauh biasanya kalah bersaing dengan orang dekat. Yang selalu dirindukan bisa dihempaskan dengan mudahnya oleh yang hadir-nyata setiap hari. Maka, Sinta masuk daftar incarannya, ada di urutan pertama perempuan yang ingin ia pacari karena ia penasaran seperti apa rasanya pacaran. Perempuan kedua, Isnita. Orang padang. Ayahnya punya warung dekat pelabuhan. Isnita anak perempuan paling pendiam dan paling sopan. Ia selalu bawa bekal, dan saat jam istirahat, ketika Dera lewat kelasnya, Isnita selalu sedang menyantap bekal makanannya, sendirian, dengan khusyuk. Isnita —bisa Dera pastikan— jomblo. Tak ada yang berani mendekati murid perempuan yang sedemikian pendiam dan sopan; Dera penasaran apakah Isnita benar-benar pendiam dan sopan, dan ia ingin pacaran dengannya untuk memuaskan rasa ingin tahunya saja.
“Langsung ke asrama, bawa Bengbeng kek Tango kek atau apa kek. Ajak ngobrol orang punya anak. Kau keker dari jauh ini percuma saja. Zonk, orang-orang bilang. Laki-laki lain punya pergerakan ni masif dan terstruktur. Yang lain politik kuat, kau hanya lihat dari jauh.
Niko mengambil rokok dari bungkusan yang sengaja ditaruh Sulaiman di tengah pos ronda itu, menyulut, menghisap, dan menyemburkan asapnya ke wajah Dera yang langsung batuk-batuk. Niko memang gemar bersikap kurang ajar, dan kalau saja Sulaiman yang jadi sasaran asap rokoknya, ia pasti sudah digampar. Beruntung Dera terhitung suka mengalah.
“Woe, kau sama saja. Kau macam iblis yang nasehat setan. Sadar e.”
“Perempuan itu gampang.” Sulaiman mengambil alih pembicaraan. Dari antara teman-temannya, ia memang yang paling berpengalaman soal perempuan. Pacarnya adalah seorang penjaga toko kelontong milik Baba Akong. Usia pacarnya itu lima tahun lebih tua dari Sulaiman, namun ia begitu tergila-gila kepada Sulaiman sampai-sampai rela kawin dengannya, dan rela juga menyumbang sembako untuk keluarga Sulaiman setiap bulannya. Sulaiman juga tak pernah kekurangan jatah rokok selain jatah ciuman setiap harinya. Baba Akong sampai mengatakan Sulaiman pakai ‘obat nona’; jimat untuk membuat pacarnya jadi cinta buta padanya.
“Gampang bagaimana?” Jika Sulaiman yang bicara, Dera percaya. Pencapaian Sulaiman di bidan percintaan sudah terlihat buktinya. Minimal dari satu-dua batang rokok yang ikut ia nikmati tanpa perlu membayar.
“Tinggal kau omong yang enak-enak, kau puji-puji, sudah kena! Mereka tidak peduli yang lain-lain. Selama kau punya kata-kata itu enak di mereka punya telinga, kau aman sudah. Misalnya kau bilang begini... “Nona, saya bukan apa-apa, saya tidak punya apa-apa, tapi kalau sama-sama dengan nona, saya ini orang paling kaya di dunia.” Kalau mereka sudah senyum malu-malu, tinggal kau setel. Siapa yang kau target?”
“Sinta.
“Satu saja?”
“Isnita.”
“Itu baru laki-laki!”
“Niko, kau bagaimana? Jangan hanya duduk bengong begitu. Isap rokok memang enak, tapi isap bibir perempuan lebih bisa bikin kau ketagihan.”
“Zaitun.”
Dera terkejut mendengar nama itu keluar dari mulut Niko.
“Weeee.... Jangan begitu, bangbro. Tidak ada yang lain?”
“Memangnya kenapa?”
“O tidak bisa. Zaitun itu saya punya konco dari SD. Saya tahu kau punya otak mesum itu. Orang punya anak nanti kenapa-kenapa.”