Berempat; mereka duduk mengelilingi meja kayu bundar di bawah naungan pohon ketapang, meja yang diletakkan dekat tanggul pembatas ombak; Sulaiman, Niko, Dera dan Zaitun Maria yang jantungnya berdebar tak karu-karuan. Sudah jadi kebiasaan, jika ada yang tiba-tiba mengajak bertemu di luar jam sekolah maka perkaranya adalah asmara. Siapa di antara tiga lelaki itu yang menyimpan rasa untuknya. Jelas bukan Usman. Usman sudah punya pacar. Kalaupun Usman tak punya pacar, Usman tidak mungkin mengganggunya. Zaitun telah belajar, dari hasil pengamatannya sendiri, bahwa bahkan dalam urusan cinta pun manusia terbagi-bagi dalam kelas-kelas. Orang yang putus sekolah seperti Usman biasanya tak akan berani mengajak pacaran perempuan yang masih bersekolah, sama seperti polisi biasanya menikahi PNS, dan nelayan biasanya menikahi pedagang pasar. Tapi, siapa? Hanya Dera dan Niko pilihannya. Niko yang suka iseng atau Dera yang punya banyak akal. Niko yang cengeng atau Dera yang tak lagi tahu caranya bersedih karena sudah terlalu banyak kesedihan dalam hidupnya. Niko yang suka bercanda, atau Dera yang air mukanya keras oleh nasib?
Ia mengharap Dera meski tahu ada perbedaan yang tak mungkin terjembatani antar keduanya; Dera islam, ia Katolik. Dera berasal dari keluarga suanggi, ia berasal dari keluarga baik-baik. Ia berharap. Jika Dera mengajaknya pacaran, maka, ia rela main kucing-kucingan dengan ibunya. Berbohong entah sampai kapan untuk menyelamatkan cinta. Berjuang untuk cinta! Sungguh heroik! Zaitun Maria berusaha untuk terlihat normal, meski hatinya membuncah oleh bahagia, dan karena hatinya membuncah oleh bahagia ia ingin meloncat-loncat kegirangan, atau menari-nari diiringi Boombayah; tak mungkin menari-nari sendirian, maka, duduk manislah Zaitun Maria sambil mengamati laut biru yang menghampar, pulau S yang adalah kerajaan ribuan kelelawar yang hijau-gelap, dan sampan-sampan yang berpenumpang bocah-bocah SD; mondar-mandir sampan-sampan kurus itu, dan sesekali para penumpangnya yang cuma dua-tiga orang menceburkan diri ke laut sebelum berenang sambil menarik san ke daratan hanya untuk mengulang permainan yang sama; bersampan, menceburkan diri ke laut, kembali ke darat, bersampan lagi. Saat kanak-kanak, itulah permainannya bersama Dera dan Tere. Sesekali bersama Niko dan Sulaiman. Itu masa-masa sebelum ibunya melarang ia bergaul dengan Dera. Setelah ada larangan, Zaitun Maria hanya bersampan sesekali bersama Om Rikus, adik ayahnya, dan Tere. Sering ia panas hati melihat Dera dan teman-temannya yang lelaki masih terus bersampan, bahkan sengaja meneriakkan namanya dari pinggir pantai, seolah mengolok-olok ia yang tak boleh bermain gembira lagi. Duduk bersama Sulaiman dan Niko membuat Zaitun Maria mengenang lagi masa kanak-kanaknya yang manis, masa yang belum dirusak prasangka sama sekali.
Melihat sosok Zaitun, Bibi Mae, yang tak menduga bahwa Zaitun akan bergabung dengan tiga anak lelaki konyol yang sudah dianggapnya seperti anak sendiri itu, sampai bertanya dua kali kepadanya, mama sudah kasih ijin? Ia tak ingin terlibat masalah dengan Sofia Bernadette yang berlidah pisau, yang otaknya sudah dicuci cerita-cerita keluarga Amir Syarifudin bahwa ibunda Dera adalah perempuan suanggi yang berniat menghabisi semua anggota keluarga Amir Syarifudin. Telah sekian lama Sofia Bernadette tak lagi berkarib dengannya, bahkan Sofia menghentak-hentakkan kakinya ke tanah ketika berpapasan di pasar seolah-olah dengan menghentak-hentakkan kakinya ke tanah itu ia menolak malapetaka yang tak terlihat yang dikirim padanya oleh Mae yang ikut-ikutan digelari suanggi; malapetaka itu cuma rekaan, hasil cerita-cerita bohong, rekayasa keluarga Amir Syarifudin, namun Sofia Bernadette dan orang-orang lainnya tak peduli. Mereka butuh kambing hitam untuk segala perkara hidup yang dinilai tak masuk akal, dan Siti Hafisa serta keluarganyalah kambing hitam itu.
Memjawab Bibi Mae, Zaitun mengangguk. Mama yang suruh saya ke sini, ucap Zaitun tenang, meski jawabannya tak sepenuhnya benar. Kalau ibunya tahu tak ada rapat kelas siang itu, ibunya akan melarangnya nongkrong. Tapi, karena ia meyakinkan ibunya bahwa dirinya memang harus mengikuti rapat kelas untuk mengatur acara perpisahan bersama murid-murid kelas tiga, maka ibunya memberi ijin, dibarengi sederet peringatan; jangan makan dan minum di rumah mereka, semua orang sudah tahu mereka seperti itu, banyak orang yang omong soal saudara perempuannya Harun. Keluarganya suaminya sendiri bilang dia perempuan suanggi. Adik-adik kandungnya juga omong yang sama. Hati-hati. Jangan makan dan minum di rumah mereka. Bilang saja kau sudah kenyang.
“Saya punya saudari ini tumben mau duduk-duduk di sini. Biasanya susah to, keluar rumah saja jarang e. Kamu tipu apa, Niko?”
Sulaiman menghisap rokok. Ia sedang coba membaca situasi. Niko jahil, dan Sulaiman yakin ia sedang iseng saja ketika menyebut nama Zaitun pada malam sebelumnya.
“Kamu tiga lebih baik jujur ada urusan apa. Mimpi apa coba, tiba-tiba saja Niko bilang lagi ada rapat kelas. Tuhan saja yang tahu, itu alasan bodoh. Kamu ada perlu apa?”
Zaitun Maria terlihat resah-gugup, Sulaiman memperhatikan tingkahnya yang aneh. Hening. Niko ikut-ikutan menyulut rokok. Sejurus kemudian, setelah mengembuskan asap rokok dengan lekas, ia bicara dengan nada jahil yang langsung dikenali Sulaiman.
“Dera naksir Sinta. Kau tahu Sinta kan? Anak kelas sebelah. Nah...kami ajak kau kesini maksudnya supaya kau jadi jembatan. Kami malu. Urusan begini paling bagus kalau yang omong itu sesama perempuan."
“Heh, enak saja. Kalian pikir saya tidak punya urusan lain yang lebih penting ka?”
Zaitun Maria bicara cepat-cepat. Setengah teriak, setengah membentak. Rautnya jadi culas-manyun. Giliran Sulaiman terbahak-bahak sambil mengirimkan tatapan bermakna “Bangsat kau!” ke arah Niko. Ia paham apa yang sedang dilakukan temannya yang jahil itu.
“Jangan percaya, Niko omong kosong itu. Dia yang suka kau. Dia minta saya jadi jembatan.”
Dera terdengar panik. Dilihatnya gelagat Zaitun Maria menunjukkan tanda-tanda bahwa ia telah marah; matanya melotot, bibirnya manyun dan kakinya mulai bergerak cepat seolah ia sedang mengayuh pedal tak kasat mata.
“Kamu pikir saya ini ada di sini untuk kamu tendang macam bola? Tadi Dera, sekarang Niko. Sedikit lagi kalo geser ke kau, Sulaiman, saya lempar kamu tiga pake batu supaya kepala bocor.”
Pecah amarah Zaitun Maria karena merasa dirinya sedang dipermainkan.
“Saya tidak ikut-ikutan. Saya datang untuk makan saja. Sisanya saya mau bawa pulang.”
(***)
Zaitun tak makan. Ia mengatakan perutnya sudah kenyang. Lantas, ia berpamitan. Jangan pulang sendiri, kata Dera. Dera, kau harus antar dia pulang, timpal Niko. Iya, karena kau tadi yang minta ijin, sambung Sulaiman. Cuma sepuluh menit jalan ke rumah, saya bisa sendiri, nada bicara Zaitun Maria masih tinggi. Tadi saya yang ijin, biar saya antar kau pulang supaya kau punya bapa dan mama tidak pikir yang aneh-aneh, tanpa menunggu persetujuan Zaitun Maria, Dera melangkah. Ayo, atau kau masih mau ribut dengan mereka dua, ujar Dera ketika Zaitun Maria tak cepat melangkah mengikutinya. Sulaiman dan Niko bertukar tatapan, tatapan yang berarti dua manusia ini saling cinta, tapi sama-sama tak sadar.
(***)
Perjalanan selama sepuluh menit pun bisa terasa seperti selamanya jika ada canggung yang tak terbahasakan. Dera hendak meluruskan perkara Sinta, namun, ia merasa tak perlu. Sementara, Zaitun Maria merasa dirinya sedang dipermainkan, diolok-olok oleh teman-temannya sendiri karena tak punya pacar. Memang, Zaitun Maria sadar betul, ia tak cantik. Ia tak punya kulit putih, dan hidung mancung, dan rambut lurus. Kulitnya sawo matang, rambutnya keriting, dan hidungnya sering dibilang hidung jambu oleh adiknya, Tere. Jika ia jadi Dera atau Niko, ia tak akan memilih dirinya sendiri untuk dijadikan pacar. Tapi, itu tak berarti bahwa ia pantas diolok-olok dengan cara demikian.