Anyir laut yang Dera kenali sejak sebelum otaknya mampu memetakan ingatan menemaninya selama tiga hari tiga malam di kapal, dan Dera yang mengalami patah tulang pada kaki kirinya sehingga harus bertopang tongkat penyangga jika kemana-mana itu hanya bisa berteman ponselnya, dan Dedes. Maaf nggak bisa trf, Yang, butuh uang untuk pengobatan dan pulang kampung, kalimat itu ia ketikkan berulang-ulang sebab ia khawatir Dedes tak dapat maklum. Jika Dedes tak dapat maklum, bisa saja perempuan itu lari ke pelukan lelaki lain. Ia tak ingin Dedes lepas. Ia ingin menghabiskan sisa hidupnya bersaa Dedes. Di kota B, atau di kampungnya, atau di mana saja ia bisa mendapatkan pekerjaan layak. Nggak apa-apa, yang penting abang sehat, balas Dedes; Dedes selalu mengetik kalimat yang sama, kalimat yang itu-itu juga, namun, kalimat yang sama dan itu-itu juga itu tak pernah gagal membuat rasa sakit di tubuh Dera dan nelangsa batinnya sedikit terobati.
“Bibi Mae bilang Om Harun sudah ke Puskesmas, tapi batuknya belum sembuh juga. Bronkitis.”
Pagi ke-3 di kapal, matahari baru terbit dan Sulaiman yang ponselnya mendapatkan sinyal baru saja menelepon kerabat di kampung.
“Kau telepon Om Harun juga?”
Dera mengusap-usap matanya.
“Iya. Saya bicara dengan kau punya bibi. Jadi, besok itu kita langsung saja naik bemo ke kampung. Niko yang jemput di pelabuhan.”
“Mereka semua sehat-sehat?”
“Aman.”
Dera mengecek ponselnya. Sebuah pesan masuk dari Dedes. Bang, gimana kabarnya? Ia membalas pesan itu dengan senyum yang merekah di wajahnya. Abang baik-baik saja. Percakapannya dan Dedes terus bergulir, disaksikan Sulaiman yang geleng-geleng kepala melihat betapa cepatnya sebuah senyum terbentuk di wajah seorang lelaki yang terancam pincang seumur hidupnya, dan pulang kampung bermodal uang sejumlah satu juta rupiah saja di tabungannya.
"Perempuan Jawa yang dulu?"