“Kau pikir apa?”
Bibi Mae duduk di seberang Dera. Matanya sembab, wajahnya pucat tirus dan garis-garis keriput di dahinya tampak kian tajam. Pertanyaan yang ia ajukan, dengan suara yang terdengar serak, menikam jantung Dera. Banyak yang Dera pikirkan. Tahlilan yang butuh biaya, masa depan Bibi Mae, dan masa depan dirinya sendiri. Namun, ia tak mungkin bicara jujur dengan bibinya. Kematian Om Harun sudah cukup membuat Bibi Mae hilang akal. Bulan September dikiranya bulan Desember, dan ia bahkan bertanya kepada Dera, apa saja yang perlu disiapkan untuk acara makan malam bersama sambil menunggu pergantian tahun. Kau mau Coca Cola? Bibi mau beli Sprite untuk Om, ujarnya dua hari setelah Dera tiba di rumah. Om Harun, Bibi Mae, dan dirinya memang punya kebiasaan menunggu pergantian tahun bersama-sama dengan cara menonton televisi dan makan enak. Menunya selalu ikan bakar, sambal jeruk nipis dan bakmie goreng. Jika ada rejeki berlebih, Bibi Mae akan memesan bolu panggang, dan membeli Sprite serta Coca Cola. Sprite untuk Om Harun; ini adalah minuman bersoda kesukaan Om Harun sejak ia masih remaja, dan Coca Cola untuk Dera. Bibi Mae sendiri tak suka minum minuman bersoda sehingga ia minum teh botol kemasan (untuk kemudian mengomel karena teh botol kemasan terasa terlalu manis, dan gula adalah sumber segala penyakit). Kenangan itu barangkali muncul untuk menghibur Bibi Mae, dan karena larut di dalamnya, ia pun jadi linglung sendiri. Tenang, Bibi, Om pasti baik-baik saja di sana. Dera tak bisa memikirkan ucapan yang lebih baik lagi, dan cuma berharap Bibi Mae tetap terjaga kewarasannya. Banyak keluarganya yang menghibur dengan ucapan-ucapan yang lebih baik seperti jangan takut Mae, nanti kami sering singgah ke rumah, Mae nanti kau sering-sering nginap di tempat kami saja dariada sendirian, tapi, Dera yang telah dua kali mengalami kedukaan yang sama tahu, ucapan-ucapan itu tak lebih dari basa-basi. Dunia akan kembali berjalan seperti biasanya, dan Bibi Mae akan sendirian. Hanya ada dirinya, dan Abdul yang sudah diminta Bibi Mae untuk tinggal di rumahnya; Dera tak tahu sampai kapan Abdul akan tinggal bersama ia dan bibinya, tapi, Dera tahu, bibinya cuma punya dirinya seorang, bibinya tak bisa ia tinggalkan begitu saja, bibinya adalah tanggungannya. Bibi Mae harus waras agar ia bisa mencari uang tanpa rasa cemas.
“Tidak pikir apa-apa.”
“Oh.”
Hening. Abdul muncul membawa secangkir teh, lantas menaruhnya di atas meja, persis di depan Bibi Mae. “Kaka mau kopi?” Dera mengangguk. Abdul yang baru lulus SMA itu berlalu menuju dapur.
“Kau mau tahu apa kata-kata terakhir kau punya Om?” Bibi Mae menyeruput teh, dan tanpa menunggu jawaban Dera ia melanjutkan ucapannya, “Saya sudah memaafkan semua orang yang omong tentang Siti Hafisa, tentang kita, tentang Dera. Saya sudah tidak marah lagi. Dera...Dera... Anak saya yang paling baik.”
Ketika Abdul membawakan secangkir kopi untuknya, Dera sudah mengelap air matanya, dan Bibi Mae melanjutkan kalimatnya “Dia juga bilang, dia paling bangga dengan kau. Kau selalu bisa tahan semuanya sendiri...”
(***)
Bang, gimana kabarnya?
Dedes mengirimkan pesan. Dera mengabaikannya. Banyak hal yang harus ia urusi, termasuk mencari tukang urut yang bisa dengan lekas mengobati patah tulang. Niko berjanji akan mengantarkannya ke rumah seorang dukun kampung yang bisa membereskan perkara patah tulang kaki itu. Ia harus sembuh dengan lekas, dan minum obat saja bukan jalan keluar yang paling cepat. Gampang. Om Simon namanya, itu kita nanti hanya beli madu satu botol Aqua besar. Dia balurkan madu, lalu dia pijat. Satu-dua hari saja lurus memang kau punya tulang. Ia mengatur janji dengan Niko. Hari Minggu, jam sepuluh. Untuk sementara, urusan makan di rumah ditangani Abdul yang mulai bekerja di tempat pelelangan ikan. Tapi, dalam sebulan-dua bulan, Dera sudah harus bisa bekerja, menggantikan Om Harun sebagai nelayan.
Dua jam kemudian, Dera membalas pesan Dedes. Abang sibuk ngurusin tahlilan, kamu apa kabar? Centang dua. Bang, sudah mulai jarang nelpon. Dede kangen. Dera mengabaikan pesan tersebut.
(***)
Aduh, Dera, jangan marah, waktu itu saya tidak bisa bantu jadi kita juga tidak ngobrol lagi. Zaitun kebetulan lewat di rumahnya, dan ketika melihat Dera yang sedang duduk sendirian di bawah pohon ketapang, Zaitun Maria mendekat. Saya dengar katanya kau kecelakaan, itu tandanya Tuhan suruh pulang. Pas kau pulang Om Harun juga sudah tidak ada. Jangan pergi lagi, kasihan Bibi. Zaitun Maria bicara cepat, tanpa koma pada setiap kata yang harusnya diberi jeda. Itu pertanda bahwa ia gembira. Hanya ketika melihat wajah Dera yang lesu, barulah Zaitun Maria tersadar, tak seharusnya ia gembira. Harusnya ia ikut sedih. Om Harun, sosok ayah bagi Dera, baru saja meninggal. Bronkitis, kata petugas di puskesmas yang hadir pada saat upacara penguburan. Zaitun Maria hadir pada upacara penguburan yang sepi itu, yang cuma dihadiri kerabat Om Harun, dan beberapa tetangga. Ibunya, Sofia Bernadette juga hadir, dengan alasan mesti mengawasi Zaitun Maria agar tak sembarangan makan dan minum. Zaitun Maria yang jengah akhirnya bertanya juga “Mama kenapa begitu?” Dan, Sofia Bernadette menjitak kepalanya sebelum menjawab “Kau ingat, waktu kelas lima SD, mama pernah mimpi kau dikejar perempuan duyung. Nah, mereka itu, dulu...leluhurnya kawin dengan duyung. Memang bukan Harun dan Mae, tapi... Baru dua hari lalu ada yang bilang, itu Dera. Dia dapat kutukan itu dari bapaknya. Hanya saja kalau orang tinggal satu rumah, sudah pasti mereka jadi sama. Kena kutuk semua. Kau tahu, Om Tinus pernah lihat Mae berubah jadi kucing.” Panas hati Zaitun Maria mendengar omongan ibunya. “Mama bisa percaya mimpi? Om Tinus itu tukang mabuk. Jangan-jangan dia cerita yang dia lihat waktu mabuk. Bagaimana bisa percaya omongan orang yang seperti itu?” Ibunya balik membentak “Heh, bodoh, mimpi itu pertanda. Om Tinus itu mata terang. Indigo. Dia bisa lihat suanggi.” Zaitun Maria dan ibunya saling melempar wajah masam seharian penuh. Sang puteri kesal karena ibunya percaya pada mimpi dan ucapan orang mabuk. Sang ibu jengkel karena puterinya naif dan tolol, menganggap semua orang baik dan baik-baik saja.
“Tidak apa-apa, Itun. Saya juga bikin repot saja. Kau duduk dulu sebentar, kita cerita-cerita. Kau sibuk apa?”
“Tidak ada kesibukan.” Zaitun Maria duduk di kursi yang berhadapan dengan Dera. “Paling nanti ikut tes PNS, atau lamar kerja dimana. Lihat saja. Kau sibuk apa?” Pertanyaan itu terdengar tolol.
“Tidak ada. Hidup saya hancur.”
(***)
Zaitun punya beberapa pilihan, dan kalau saja ia tak mengingat bahwa Dera baru saja kehilangan sosok ayah, ia mungkin akan menghiburnya, mengatakan bahwa Dera adalah sosok yang selalu punya banyak akal, selalu bisa menemukan jalan keluar. Ingat waktu kau tidak punya uang untuk bayar formulir pendaftaran SMA? Kau kerjasama dengan tukang fotokopi untuk dapat satu lembar gratis; kenangan itu muncul dalam ingatan Zaitun. Tapi, ia tak membicarakannya. Dera sedang diselimuti duka, dan Zaitun Maria tiba-tiba saja tahu, tak ada yang bisa ia hadiahkan kepada Dera kecuali keheningan.
(***)
“Baru saja mau usaha, sudah celaka. Baru saja mau memulai sesuatu yang baru, ada yang diambil. Hidup saya sepertinya lebih banyak rintangannya. Macam orang yang kena kutuk.”