Kenapa tidak ketemu saja dulu?
Dera teringat lagi pada ucapan Zaitun Maria. Masuk akal, pikirnya, mengapa ia tak pernah berpikir untuk bertemu saja dulu dengan Dedes? Mengapa ia membuat segala urusannya sendiri jadi lebih rumit? Harus mengumpulkan uang, harus begini, harus begitu. Padahal, cinta seharusnya tak perlu banyak aturan.
“Bro, kayaknya saya harus ke Jawa.”
Niko yang sedang menyetir bemo menatap lurus ke depan. Three Little Birds mengalun dari speaker bemo. Ia bersiul-siul mengikuti irama lagu meski tak paham artinya, senang karena Dera tak terkencing-kencing seperti anak kecil bernama Lius tadi. Kalau Dera sampai terkencing-kencing, pastilah ia yang kebagian tugas mengepel lantai. Ia sayang pada kawannya itu, tapi rasa sayangnya tak lebih besar dari rasa jijiknya ketika berurusan dengan kotoran manusia, kencing atau pun tahi.
“Lasu, baru juga kaki ringan, langsung mau pergi jauh. Kau sudah gila? Kau punya bibi tinggal dengan siapa?”
“Abdul.”
“Eh, bangsat. Orang sudah urus kau sampe tua, lalu kau kasih tinggal dia dengan orang lain. Durhaka kau. Jangan omong lagi, lama-lama saya kasih turun kau di jalan.”
“Kau memang hanya bisa emosi.”
“Bukan begitu. Kau ke Jawa untuk apa? Kerja?”
“Ketemu pacar.”
“Aduh, Tuhan e. Jangan bilang maitua yang kau kenal dari TikTok itu? Ada baiknya sih... Dia buat kau merantau sampai itu ibukota negara yang belum jadi juga kau sudah lihat. Tapiiii...Gara-gara dia juga to kau punya tabungan hanya satu juta saja. Ini saya dengar dari Sulaiman. Mending kau jujur, pasti kau kirim untuk dia to?”
“Iya.”
“Bodoh.”
“Bodoh apanya, itu namanya tanggung jawab.”
“Tanggung jawab itu kalau sudah suami istri. Kalau masih pacaran, belum tanggung jawab. Lagipula, kau yakin dia betul-betul mau dengan kau?”
“Makanya, tidak ada salahnya saya ketemu langsung dulu. Jadi, bisa jelas nanti ke depannya seperti apa.”
“Uang?”
“Ada.”
“Cukup?”