Di mata orang-orang yang berpapasan dengannya di sepanjang gang menuju rumah Dedes itu, ia adalah pemuda asing yang jalannya terpincang-pincang, yang lusuh-lesu, yang kumal-kriwil, dan yang tampangnya seperti polisi korup dalam film-film Bollywood. Tapi, bagi Dera, ia adalah seorang pejuang cinta, lelaki sejati, ksatria yang sedang menuju sang puteri yang perlu diajari apa artinya cinta. Sepanjang jalan itu, Dera menganggap semua orang adalah kerabatnya sendiri. Ia tersenyum, menyapa “Selamat soreee... Permisiii.” Hingga para perempuan, ibu-ibu kompleks yang sedang mengobrol santai di teras rumah pak RT mengira ia adalah orang gila. Dera yang tak tahu, dan tak peduli, terus tersenyum ramah. Bahkan, jika mungkin, ia ingin memeluk semua orang yang dijumpainya itu satu per satu. Lihatlah, saya ini lelaki pejuang cinta! Apa masih ada lelaki yang seperti saya? Bermodal ketulusan, cinta sejati, dan pengorbanan, menyeberangi pulau untuk sebuah pembuktian cinta?
Rumah Dedes, persis seperti alamat yang diberikannya, terletak di Gang Kelinci V nomor 19. Dan Dera yang berjalan pelan-pelan; kakinya masih terasa sakit kalau ia melangkah cepat-cepat— menghitung satu demi satu nomor rumah. Tiba di rumah nomor 18, ia berhenti sebentar. Dadanya disesaki haru yang ingin tumpah, dan ia menyeru-memanggil ayah, ibu dan Om Harun-nya, berharap agar orang-orang yang telah ia cintai lebih dulu itu mengirimkan doa dari alam yang berbeda.
Dera menyeret tubuhnya menuju rumah nomor 19. Terlihat sebuah papan nama bertuliskan “Warung Mbok Sum”, dan seorang perempuan muda di awal dua puluhan sedang membersihkan meja-meja. Dari profil wajahnya, Dera tahu, itu Dedes. Ia tak tertipu. Cinta yang dialaminya bukan semu.
(***)
Dedes terus-terusan menunduk, dan ibunya, yang memperkenalkan diri sebagai Bu Sum, memperhatikan Dera berulang-ulang dari kepala hingga kaki dan dari kaki hingga kepala seolah-olah jika ada sesuatu yang aneh dalam diri Dera yang terluput dari pandangannya maka seluruh keluarganya akan mendapat cela sekaligus celaka. Dera terduduk di sofa berwarna hijau daun, kikuk sebab Dedes terus saja membisu. Salahnya sendiri ia tiba-tiba muncul di rumah perempuan itu. Salahnya sendiri ia memperkenalkan diri sebagai pacar Dedes kepada Bu Sum; perempuan itu terperangah, dan saking terkejutnya cuma bisa berkata “Lho, kok iso?” — dan Dera yang tak paham bahasa Jawa mengira perempuan itu terkagum-kagum pada keberaniannya, pada pertaruhan yang ia ambil.
Tapi, Dedes yang mendadak gagu membuat Dera meragu. Pada dirinya lebih dulu, baru kemudian pada kenyataan. Tubuhnya memang berbau tak sedap. Satu hari ia tak sikat gigi, dua hari tak mandi dan bertukar pakaian; kamar mandi di kapal sangat kotor, dan antreannya selalu mengular sehingga Dera memutuskan untuk mandi jika ia sudah tiba di darat. Tiba di pelabuhan kota S, Dera langsung menumpang bus ke terminal, lantas ia langsung menumpang bus antar kota. Karena tak sempat mandi, tubuhnya memang berbau macam-macam; keringat, debu, bekas tumpahan makanan ketika kapal tiba-tiba oleng menghantam ombak besar saat ia makan— tak bisakah Dedes mengerti bahwa ia telah menempuh perjalanan panjang? Sungguh aneh. Betapa ramahnya ia ketika mengobrol lewat video call, ketika berbalas pesan whatsapp, dan betapa kakunya ia ketika bertatap langsung. Apakah semua perempuan seperti ini? Dera tiba-tiba berharap agar Sulaiman dan Niko berada bersamanya saat itu juga, menerjemahkan apa yang terjadi, memberinya petunjuk apa yang harus ia lakukan. Sendirian, Deta benar-benar bingung, tak tahu mesti bersikap seperti apa. Disangkanya Dedes akan bersikap ramah-hangat. Ternyata Dedes dingin-kaku.
“Sampeyan datang darimana?”
Bertanya Bu Sum. Suaranya mengingatkan Dera pada sosok ibunya dan Bibi Mae. Dera tak mengerti arti kata sampeyan, dan ia mengira Bu Sum salah duga soal namanya. Saya bukan sampeyan, Dera menjawab dengan nada yang diaturnya agar terdengar selembut mungkin. Ia menyesuaikan nada bicaranya dengan Bu Sum. Saya dari pulau... Perempuan itu tertawa; tawa halus tetapi menusuk, jenis tawa yang dimaksudkan untuk menyamarkan sikap meremehkan lawan bicara sekaligus untuk menunjukkan sikap meremehkan itu secara terang benderang. Dera tak tahu bagaimana menghadapi sikap yang serba berganda itu; tertawa untuk menyamarkan sekaligus memperjelas olok-olok. Di kampungnya dan di Kalimantan, orang selalu bersikap terus terang, tak berganda.
“Sampeyan itu artinya saudara. Jadi, Ibuk itu tadi bertanya, saudara darimana? Dari jauh tho ternyata. Des, ini beneran pacarmu?
Dedes terdiam. Ia mencuri pandang ke arah Dera, lantas membuang muka ke arah sebaliknya dengan lekas.
“Nggak. Cuma deket aja.”
Jika ada kalimat yang paling dibenci Dera melebihi apa pun, melebihi fitnah yang sudah ia terima, maka kalimat itu adalah kalimat penyangkalan Dedes. Penyangkalan Dedes membuat ia naik darah. Perut Dera yang sudah keroncongan karena ia belum makan siang membuat ia tak bisa mengontrol emosinya.
“Eh, kau omong apa? Seenaknya kau menyangkal. Buka hape. Tunjukkan bukti chat. Bu, anak ibu ini berbohong."
Wajah Dedes memutih-pucat. Bu Sum gemetaran. Belum oernah ia menghadapi lelaki yang marah-marah dengan suara keras-lantang di ruang tamu rumahnya. Lelaki berwajah sangat pula. Bagaimana kalau lelaki itu memukulnya? Memukul Dedes. Panik, Bu Sum mengirimkan pesan singkat untuk suaminya. "Cepat pulang, Pak. Ada tamu marah-marah. Sekalian laporin pak RT. Aku takut."
Sementara itu, Dedes mencuri pandang ke arah Dera. Lelaki yang sedang terduduk marah di sofa ruang tamunya itu tak tampan, ia hanya baik hati dan royal, maka Dedes meladeninya. Tapi, saat ia bertemu muka dengan Dera, Dedes hilang selera. Memang ketika video call tampang lelaki itu sama tak sedap dipandang, tapi, itu hanya video call; Dedes selalu dapat melihat ke arah lain ketika ngobrol, dengan alasan ia ngantuk atau sedang mengawasi pelanggan warung ibunya yang sedang makan. Kalau berhadapan langsung... Lelaki itu, Dera, bukan tipenya. Dari Panca, ia malah pacaran dengan si buruk rupa yang bau badannya tak sedap dan menusuk hidung? Celaka jika dunia sampai tahu.
“Bang, kita selesaikan ini baik-baik. Tunggu bapak saya datang. Abang jangan ngamuk-ngamuk. Saya kan takut."
Kata-kata Dedes membuat Dera merasa dirinya jahat karena telah bicara dengan suara keras, dan dirinya bersalah karena membuat perempuan yang dicintainya jadi ketakutan, di rumahnya sendiri.
(***)
Setengah jam berlalu. Tak seorang pun bicara lagi di ruangan itu. Seorang pembeli yang datang untuk makan diusir Bu Sum dengan nada lembut “Maaf, Pak, sudah tutup.” semata-mata karena perempuan itu tak mau meninggalkan anak perempuannya sendirian. Seekor lalat lewat, berdengung dan hinggap di bibir Dera. Dera menepuk bibirnya, namun lalat itu terbang dengan cepat. Tak seorang pun menawarkan ia makan atau minum. Sungguh aneh, pikir Dera. Di kampungnya, ketika ada orang asing yang bertamu, orang itu selalu disuguhi minum dan wajib diajak makan; ajakan itu bukan basa-basi, melainkan undangan, dan tamu wajib untuk tak menolak. Sedangkan di tanah asing tempatnya datang sebagai tamu asing, ia tak ditawari air putih barang segelas saja. Dera memperhatikan foto-foto pada dinding ruang tamu. Terdapat foto akad pernikahan. Kepala Dera seolah dihantam balok besar tak kasat mata ketika ia menyadari perempuan dalam foto itu adalah Dedes.
"Dede sudah menikah? Kenapa tidak bilang?"
Dedes yang sejak tadk menatap ponselnya, sibuk mengetik seolah sedang berbalas pesan, mengangkat wajah.
"Saya...itu mantan suami. Calon mantan suami tepatnya. Perceraian lagi diurus di pengadilan agama."
Bu Sum duduk dengan manis, sesekali memandangnya, sesekali memandang ke luar pintu. Kupingnya sigap mengikuti percakapan itu.
"Kenapa Dede tidak jujur?"
Dedes rupanya penipu, pikir Dera.
"Abang tidak bertanya. Jadi, saya tidak cerita.
Sialan. Sudah penipu, pandai berkelit pula.
"Lalu sekarang bagaimana?"
"Begini, Bang. Kita kan cuma deket, bukan pacaran. Abang pulang kampung aja. Percuma abang di sini. Dedes nggak mau pacaran sama abang. Kalo deket itu kan biasa."
"Kalau begitu, Dede haru kembalikan uang abang. Abang butuh duit untuk tiket. Duit abang sudah habis untuk rumah sakit, pulang kampung dari Kalimantan. Paman abang pun meninggal."