Remah Gundah

Miyak Seya
Chapter #1

1. Resmi

Sinar purnama nampak begitu percaya diri menerangi sekeliling. Awan juga enggan untuk jadi penghalang pesona sang rembulan. Bahkan angin semilir membawa sejuk aroma ladang ikut hadir dalam balutan malam. Sejatinya sekarang semua orang sedang lelap, mungkin karena lelah bekerja seharian. Tapi ada seseorang yang tidak bisa memejamkan mata meski fajar mulai menjelang. Ia melongok di bingkai jendela kamar, bosan pikirannya berkutat dengan ketakutan dan perasaan kecewa. Suasana kini sedikit mendinginkan tubuhnya, bukan perasaan bergejolak miliknya, juga belum cukup untuk mengembalikan keadaan sebaik semula. Nasi sudah menjadi bubur.

Suara pintu terdengar pelan, lalu gemericik air dan suara lantunan berbahasa arab mulai mengoyak keheningan. Cukup sudah, gagal tidur, gagal menenangkan diri dan semoga pernikahan besok juga gagal dilaksanakan. Secuil harapan dari beriak hatinya yang tak terdengar siapapun.

Tubuhnya terlonjak pelan saat pintu di belakang punggungnya terbuka, mengizinkan udara panas rumah mengusir dingin dari jendela. Ia tetap acuh di tempat seolah tidak ada orang yang menantinya di pintu tersebut. Tentu saja ia punya tebakan tentang siapa yang datang, mungkin ibu, bapak atau adik perempuannya.

"Nadya, setelah sholat kamu langsung mandi. Tukang riasnya mungkin datang sebelum jam enam."

Gadis yang dipanggil Nadya tidak mengatakan apapun, berbalik saja tidak. Lagi pula namanya memang sudah hitam dalam segala hal dan bagi siapapun.

"Ibu sudah siapkan makanan untuk sarapan," lalu pintu kembali tertutup.

Nadya berbalik sedikit, tidak ada lagi sosok ibu di sana. Nadya kemudian menutup jendela dan beranjak ke tempat tidur kayu miliknya. Mungkin ini saat terakhir tubuhnya berbaring tenang, jadi ia putuskan untuk menikmati tidur terakhir daripada saran yang ibunya berikan.

"Nadya!"

Grasak-grusuk pintu terdengar menguak cepat. Nadya tidak peduli, malah menarik selimutnya. Matanya terlalu berat untuk diajak patuh, meski matahari memihak ibu yang tanpa perasaan menunjukkan sinarnya dari jendela yang kini terbuka kembali.

"Kamu ini tidak pernah mendengarkan perintah orang tua, malah selalu saja melakukan hal yang sebaliknya diperintahkan."

Ocehan pagi yang membuat Nadya tersenyum dalam selimutnya. Pelan dinampakkan wajah bekas begadang semalam. "Nanti Nadya akan menurut. Hari ini, dengan cara menerima pernikahan dengan laki-laki asing yang belum pernah sekalipun Nadya temui."

"Kalau memang begitu, cepat mandi. Tukang rias sudah menunggu." Ibu melangkah ke pintu, "Dia sudah menghabiskan sarapanmu. Salahkan dirimu sendiri."

Nadya menyaksikan pintu tertutup dengan tatapan diam sejuta makna. Mungkin jadi orang asing memang lebih menyenangkan, tidak perlu lagi berharap mendapatkan perhatian atau kasih sayang tulus.

***

Nadya sedang berurusan dengan Si tukang rias yang merampas sarapan paginya. Nadya diam saja saat perempuan paruh baya tersebut mengutak-atik wajah, rambut dan pakaian yang dikenakannya. Sedikit saja Nadya berkeluh atau menghela napas tanpa perlu, satu patah kalimat perintah terdengar memintanya diam.

"Lain kali jangan membuat masalah lagi. Akhirnya kena juga batunya."

Nadya tidak menghiraukan ucapan tersebut. Sudah cukup besar rasa terimakasih dalam hatinya untuk kalimat-kalimat makian, atau petuah seperti itu. Terdengar seperti, semua orang tahu apa yang terjadi, semua yang dilakukan Nadya dan seolah harapan mereka atas musibah dirinya kini terwujud. Nadya selalu bisa membuat orang disekitarnya kesal, hanya dengan bersenang-senang dan bahagia, orang akan kesal kepadanya dengan sendirinya. Ajaib sekali.

Baru akan menginjakkan kaki di luar kamar, suara gaduh terdengar.

"Itu aku! Aku saja yang menikahinya!"

Nadya kenal suara itu. Begitu mendekat, jelas semuanya terlihat. Seorang pemuda tengah berontak ingin masuk rumah namun dihalau beberapa laki-laki yang lebih tua. Nadya memutar pandangan ke ruang tamu, tempat orang-orang menunggu kehadirannya. Ia lalu mengambil tempat duduk di dekat meja kecil yang dikelilingi mereka.

"Kita langsung mulai saja," kata bapak tersenyum kepada penghulu.

Nadya sekilas melirik pemuda yang tadi membuat kegaduhan, "Biarkan dia masuk."

"Tapi, dia hanya akan mengacau," tolak ibu, didukung anggukan semua orang yang hadir.

Lihat selengkapnya